Mengenal Tarekat Samaniyah: Pendiri, Ajaran, dan Adabnya
Kamis, 17 Oktober 2024 | 21:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Tarekat Samaniyah merupakan tarekat pertama yang mendapatkan pengikut secara massal di Nusantara.
"Riwayat tentang keramat-keramat Syekh Samman, terutama pertolongan supranaturalnya kepada penganut yang terjepit, agaknya, menambah daya tarik tarekat Sammaniyah bagi kalangan awam," kata Martin van Bruinessen. (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, [2020], halaman 386).
Ia menjelaskan analisis tersebut dalam buku yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Menurut Martin, keajaiban dan kisah karamah Syekh Samman dapat ditemukan dalam buku kecil berjudul Manaqibal Wali As-Syahir bi Muhammad Samman. Buku kecil ini berisi beberapa kisah tentang keajaiban sang Mursyid tarekat Saman.
Di antara kisah keajaiban Syekh Samman di Manaqib adalh mampu menolong saat kesusahan, hanya dengan memanggil namanya, "Ya Samman". Simak kisahnya:
"Dan setengah dari perkataan tuan Syekh Muhammad Samman ra; aku berkata seperti yang dikata oleh Sidi Abu Qadir Al-Jilani; "Barang siapa menyeru aku "Ya Samman" tiga kali, niscaya hadirlah dengan lekas aku menolong akan kesusahan dunya bagi orang yang menyeru itu."
Faktor lain, kata Martin, di balik berbondong-bondongnya masyarakat Nusantara masuk ke Tarekat Saman, karena ratib dan dzikir kerasnya, dan penuh semangat. Dzikir ini dilakukan dengan repetisi dan ritme yang teratur, memadukan suara, dan gerakan tubuh. Tidak jarang, suasana yang tercipta membawa jamaah pada keadaan ekstase, mereka merasakan kedekatan spiritual yang intens dengan Allah.
Hal unik yang membuat orang tertarik bergabung dengan tarekat Saman adalah perkembangan dzikir dan ratib Tarekat Samaniyah di berbagai daerah di Indonesia, yang telah menjadi salah satu bentuk hiburan rakyat, yaitu Tari Saman. Tarian ini menggabungkan elemen seni dengan gerakan dzikir yang dinamis, sehingga menciptakan perpaduan antara aspek keagamaan dan keindahan tarian yang menawan.
Tari Saman biasanya ditampilkan pada acara-acara adat, pesta pernikahan, atau peringatan hari-hari besar Islam, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. "Tarekat ini mengesankan sebagai ekspresi agama rakyat dan berbeda dengan pola keagamaan para ulama fiqih," tutur Martin (halaman 386).
Dengan begitu, Tarekat Samaniyah bukan sekadar sebuah tarekat yang menjalankan ritual-ritual ibadah, tetapi telah menjadi bagian dari kebudayaan lokal yang mengintegrasikan unsur agama dengan seni dan tradisi lokal. Inilah yang membuat tarekat ini bertahan dan terus berkembang di berbagai daerah, bahkan hingga ke pelosok Nusantara.
Sekilas Sejarah Tarekat Sammaniyah
Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman Al-Madani As-Syafi'i al-Qadiri Al-Quraisyi, yang lebih dikenal dengan nama Syekh Samman, tokoh di balik berdirinya Tarekat Samaniyah. Syekh Samman, salah satu tokoh sufi terkemuka pada abad ke-18. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 1132 H (1719 M).
Syekh Samman memiliki silsilah keturunan yang terhormat,. Ia berasal dari suku Quraisy yang juga merupakan suku Nabi Muhammad saw. Karena itu, ia dikenal sebagai seorang Sayid—gelar yang disematkan kepada mereka yang memiliki hubungan darah dengan Rasulullah saw—.
Dalam kitab Hikayat Syaikh Muhammad Samman yang ditulis oleh Muhyiddin bin Syihabuddin, dijelaskan, penyebutan “Al-Quraisyi” pada nama Syekh Samman menunjukkan silsilah keluarga beliau yang berasal dari suku Quraisy. Suku ini adalah salah satu suku Arab yang hijrah dari Makkah ke Madinah bersama Nabi Muhammad saw. (Halaman 405).
Secara keilmuwan, Syekh Samman tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, tetapi juga sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu keislaman; fiqih, hadits, dan tafsir. Ia menimba ilmu dari berbagai guru besar pada masanya yang ahli di bidang fiqih maupun tasawuf.
Salah satu sumber yang hampir sezaman dengannya, yaitu Sulaiman Al-Ahdal dalam karyanya An-Nafs Al-Yamani, menyebutkan lima guru Syekh Samman dalam fiqih yaitu; Muhammad Ad-Daqqaq, Sayyid Ali Al-'Aththar, Ali Al-Kurdi, 'Abdul Wahhab At-Thanthawi (di Makkah), dan Sa'id Hillal Al-Makki. Dari para ulama ini, Syekh Samman mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti fiqih dan ushul fiqih, yang nantinya membentuk dasar pemahamannya yang luas dalam berbagai aspek keislaman. (Halaman 370).
Namun, keistimewaan Syekh Samman yang sesungguhnya terlihat dalam perhatiannya terhadap ilmu tasawuf dan tauhid. Di bidang ini, gurunya yang paling menonjol adalah Mustafa bin Kamaluddin Al-Bakri, seorang sufi besar dari Damaskus yang juga merupakan Syekh Tarekat Khalwatiyah.
Mustafa Al-Bakri dikenal sebagai penulis produktif yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan dalam kajian tasawuf. Hubungan antara Syekh Samman dan Mustafa Al-Bakri memperlihatkan kedalaman spiritualitas dan keilmuan yang diwariskan dalam jalur tarekat ini. Selain itu, Syekh Samman juga dikatakan pernah belajar dengan dua syekh tarekat Khalwatiyah lainnya saat berkunjung ke Mesir pada tahun 1760, yaitu Muhammad bin Salim Al-Hifnawi dan Mahmud Al-Kurdi. (Halaman 370).
Sementara itu, Ahmad Purwadaksi, dalam buku Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman; Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, mengungkapkan bahwa Syekh Samman menganut tarekat Qadiriyah sepanjang hidupnya. Menariknya, tarekat yang dianutnya bukanlah satu-satunya; ia juga mengamalkan lima tarekat lain, yaitu Naqsyabandiyah, Syaziliyah, Adiliyah, dan Khalwatiyah.
Ia menerima tarekat Qadiriah dari seorang Syekh bernama Syekh Tahir, dan ayahnya juga merupakan penganut tarekat yang sama. Selain itu, ia mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiah dari gurunya, Sayyid Mustafa bin Kamaluddin Al-Baket, yang hidup antara tahun 1688 hingga 1749. ([2004], halaman 319).
Akan tetapi, dari lima tarekat yang diikutinya, Syekh Samman lebih mendalami Tarekat Qadiriyah dan Khalwatiyah. Ia secara konsisten mengamalkan dzikir dan wirid yang terkait dengan kedua tarekat tersebut, serta menjalani 'uzlah. Berkat ketekunan dan dedikasinya dalam berdzikir dan melakukan 'uzlah, Syekh Samman berhasil mencapai kasyf dan ma'rifat. (Halaman 320).
Tarekat Samaniyah di Nusantara
Di Nusantara, tarekat Samaniyah mulai menyebar luas pada abad ke-18 dan 19 melalui jalur perdagangan, ziarah, dan dakwah yang dilakukan oleh ulama-ulama yang pernah berguru kepada Syekh Samman di Madinah. Salah satu tokoh penting yang berperan dalam penyebaran tarekat ini di Nusantara adalah Syekh Abdusshamad Al-Falimbani, seorang ulama asal Palembang yang merupakan murid langsung dari Syekh Samman.
Semasa hidupnya, ia aktif menyebarkan ajaran tarekat ini di Sumatera dan Jawa, serta menjadi perantara utama dalam menghubungkan komunitas muslim Nusantara dengan pusat tasawuf di Timur Tengah.
Terkait perjumpaan Syekh Abdussamad Al-Palimbani dengan Syekh Samman, ada kisah menarik. Martin van Bruinessen, di buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat mengungkapkan kisah ini, berdasarkan wawancara dengan KH M Zen Syukri, seorang Mursyid Sammaniyah dari Palembang.
Alkisah, Syekh Abdussamad berencana melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Akan tetapi, dalam perjalanan menuntut ilmu ke Al-Azhar, Syekh Abdussamad singgah di Jeddah. Di kota tersebut, ia mengalami pertemuan yang tak terlupakan.
Seusai shalat di masjid, ia memperhatikan seorang pria yang berdzikir dengan cara yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya lisannya yang menyebut nama Allah, tetapi seluruh tubuhnya seakan bergetar seiring lantunan dzikir, seolah digerakkan oleh kekuatan Ilahi. Keingintahuan membuatnya mendekati dan berkenalan dengan pria tersebut. (Martin: 377).
Setelah berkenalan, pria tersebut diketahui sebagai Syekh Shiddiq, seorang pengikut Tarekat Sammaniyah. Syekh Abdussamad memohon kepada Syekh Shiddiq untuk diajari dzikir Tarekat Sammaniyah. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Syekh Shiddiq yang memberikan talqin dzikir tersebut kepada Syekh Abdussamad, sehingga memulai proses pembelajaran spiritual yang mendalam.
Tak lama setelah itu, Al-Falimbani memutuskan untuk bertemu langsung dengan Syekh Samman. Dalam kesempatan itu, Syekh Shiddiq memperkenalkan Syekh Abdussamad kepada Syekh Samman di Madinah.
Setelah menjalani proses pembelajaran yang panjang, Syekh Abdussamad akhirnya menerima ijazah untuk menyebarkan ajaran Tarekat Sammaniyah di Nusantara. Dengan izin tersebut, beliau berperan penting dalam memperkenalkan tarekat ini ke berbagai daerah di Indonesia, yang menyebabkan perkembangan pesat Tarekat Sammaniyah di tanah air. (Halaman 388).
Michael Laffan dalam buku The Makings of Indonesian Islam Orientalism and the Narration of a Sufi Past, mencatat, sosok Syekh Abdussamad Al-Falimbani, ulama besar Nusantara pada abad ke-18 yang dikenal karena keilmuannya dan kontribusinya dalam penyebaran ajaran tasawuf di kepulauan Melayu. Ia berperan dalam membangun hubungan antara dunia Melayu dengan pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah. (2011: halaman 28).
Perjumpaannya dengan Syekh Samman di Madinah antara tahun 1767 dan 1772 merupakan titik balik yang sangat penting. Syekh Samman adalah seorang sufi besar yang terkenal dengan ajaran-ajarannya yang menekankan dzikir, kesucian hati, dan pentingnya peran mursyid dalam membimbing murid-muridnya. Tarekat Sammaniyah yang didirikannya juga menekankan hubungan spiritual yang erat antara guru dan murid, serta pentingnya memperkuat ikatan batin melalui praktik-praktik tasawuf yang intens.
Abdussamad Al-Falimbani belajar langsung di bawah bimbingan Syekh Samman, membaca kitab Fathur Rahman yang merupakan salah satu rujukan utama dalam tarekat ini. Ia tidak hanya menguasai ajaran tersebut, tetapi juga turut berperan dalam menyebarkannya ke dunia Melayu.
Pengaruh tarekat Samaniyah ini kemudian menyebar luas, tidak hanya di Palembang, tetapi juga di Banten, Banjar, dan berbagai kerajaan Melayu lainnya. Bahkan, pengaruh tarekat ini turut membawa perubahan signifikan di istana-istana Melayu yang sebelumnya didominasi oleh ajaran Tarekat Satthariyah.
Syekh Abdussamad Al-Falimbani dikenal sebagai seorang intelektual yang aktif menulis dan berinteraksi dengan komunitas Muslim di Nusantara. Meski sebagian besar hidupnya dihabiskan di Tanah Hijaz (Makkah dan Madinah), pengaruh pemikirannya tetap kuat di tanah kelahirannya. Karya-karyanya yang terkenal, seperti Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin, menekankan pentingnya spiritualitas dan akhlak dalam kehidupan Muslim, serta memberikan bimbingan praktis bagi para pengikut tarekat.
Selain Al-Falimbani, ada satu nama yang tak bisa dipisahkan dengan penyebaran tarekat Sammaniyah di Nusantara, yaitu Muhammad Arsyad Al-Banjari (wafat 1812). Keduanya pernah belajar langsung dari Syekh Samman di Madinah dan keduanya memainkan peran penting dalam mengarahkan pengadilan-pengadilan Melayu ke arah tulisan-tulisan Al-Ghazali dan para penafsir Mesirnya.
Muhammad Arsyad juga terkenal karena karya tulisnya yang menjadi rujukan utama dalam hukum Islam di Nusantara, yaitu Sabilul Muhtadin (Jalan Orang-orang yang Terpandu). Karya ini merupakan perluasan dari kitab Shirathul Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniri. Atas instruksi dari kerajaan, Muhammad Arsyad menulis kitab ini untuk memberikan panduan yang lebih komprehensif mengenai hukum-hukum fiqih yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Meskipun ia menempatkan dirinya dalam jalur para muhaqqiqin (peneliti dan penafsir hukum Islam), berbeda dengan Abdussamad Al-Falimbani, Muhammad Arsyad tidak merujuk pada ajaran-ajaran tokoh seperti Ibrahim Al-Kurani, Syamsuddin Sumatrani, atau Al-Burhanpuri. Sebaliknya, ia lebih memilih pendekatan yang moderat dengan merujuk pada ulama Mesir yang tenang seperti Jalaluddin As-Suyuti dan As-Sya’rani.
Pilihan Muhammad Arsyad untuk lebih merujuk kepada ulama Mesir ini menunjukkan kecenderungannya terhadap ajaran yang lebih seimbang dan tidak terlalu kontroversial. Imam As-Suyuti dan As-Sya’rani, misalnya, dikenal sebagai ulama yang menekankan pentingnya moderasi dan harmonisasi antara tasawuf dan fiqih.
Ini tampak sebagai langkah strategis untuk memastikan ajaran-ajarannya dapat diterima oleh berbagai kalangan, baik oleh kaum tradisionalis maupun pembaru. Sikap moderat ini mungkin pula dipengaruhi oleh situasi sosial-politik di Banjar saat itu, di mana konflik antara aliran-aliran keagamaan dapat berdampak pada stabilitas kerajaan.
Lebih lanjut, Micheal Laffan juga mengungkap fakta bahwa salah satu momen penting dalam sejarah hidup Syekh Arsyad ialah kampanyenya melawan Abdul Hamid Abulung, seorang penganut ajaran Wujudiyah, yang dianggap menyimpang oleh para ulama Sunni saat itu. Wujudiyah adalah ajaran yang menekankan pada penyatuan eksistensi antara manusia dengan Tuhan.
Menurut kepercayaan masyarakat Banjar, Abulung adalah murid dari Muhammad Nafis Al-Banjari, seorang ulama yang tinggal di Mekkah. Ajaran Abulung menyatakan bahwa “tidak ada yang ada kecuali Dia ... Dia adalah aku dan aku adalah Dia,” yang dianggap berbahaya karena mendekati ajaran panteisme yang dianggap menyimpang. Akibat ajarannya ini, ia dieksekusi atas perintah Sultan Tamjid Allah. (Halaman 30).
Satu lagi ulama asal Kalimantan Selatan yang menganut dan menyebarkan tarekat Sammaniyah. Ia adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari. Ia menulis karya yang sangat populer berjudul Al-Durrun Nafis, atau biasa disebut Darrun Nafis, sebuah teks tasawuf yang membahas konsep wahdatul wujud. Kitab ini masih sering dicetak ulang hingga kini dan menjadi referensi penting dalam kajian tasawuf di wilayah tersebut.
Kitab Al-Durrun Nafis diselesaikan sekitar tahun 1200 Hijriah atau 1785 Masehi di Makkah, sepuluh tahun setelah wafatnya Syekh Samman. Dalam kitab tersebut, Nafis menyebut beberapa nama guru yang sama dengan yang disebutkan oleh Abdussamad, salah seorang ulama besar pada masa itu. Ia juga mengaku telah menggabungkan diri ke dalam berbagai tarekat seperti Qadiriyah, Syatthariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan Samaniyah.
Salah satu guru yang dikaguminya adalah Shiddiq bin 'Umar Khan, seorang khalifah dari Syekh Samman, yang juga pernah menjadi guru pertama Abdussamad dalam tarekat Sammaniyah. Muhammad Nafis hidup pada masa yang sama dengan dua tokoh ulama besar lainnya, yakni Abdussamad dan Muhammad Arsyad Al-Banjari, namun ia lebih muda dari keduanya.
Meskipun hidup sezaman, Nafis tampaknya tidak pernah belajar langsung kepada Syekh Samman, karena ia tidak menyebutnya dengan gelar "Syaikhuna" sebagaimana yang biasa digunakan untuk guru-guru lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena ia baru tiba di Hijaz setelah tahun 1775, yang berarti setelah wafatnya Syekh Samman. (Martin van Bruinessen: 380).
Ajaran Tarekat Samaniyah
Salah satu kitab yang membahas ajaran tarekat Samman ini adalah Kitab An-Nafahatul Ilahiyah, yang ditulis oleh Syekh Samman. Kitab ini berisi berbagai panduan dan tata cara bagi murid untuk menapaki jalan tarekat serta menggapai ma'rifatullah.
Di antara ajaran tarekat Samaniyah sebagai berikut:
Ajaran pertama, tobat. Dalam tarekat Samaniyah, tobat dipandang sebagai langkah awal yang sangat penting bagi setiap murid. Syekh Samman menjelaskan bahwa taubat bukan sekadar permintaan maaf secara lisan, melainkan sebuah proses yang mencakup penyesalan mendalam, tekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa, dan memperbaiki hubungan dengan Allah serta sesama makhluk. (An-Nafahatul Ilahiyah, halaman 6).
Dalam tarekat Samanniyah, tobat dianggap sebagai pondasi spiritual yang harus kokoh, karena tanpa taubat yang tulus, perjalanan spiritual seorang murid tidak akan mencapai kesempurnaan. Karena itu, murid-murid diajak untuk membersihkan hati dan jiwa dari segala noda dosa sebelum melangkah lebih jauh ke tingkat ibadah dan dzikir yang lebih tinggi.
Perintah tobat ini termaktub dalam surat Tahrim ayat 8:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya."
Ada juga dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إلى اللهِ، فإنِّي أَتُوبُ في اليَومِ إلَيْهِ مِئَةَ مَرَّةٍ
Artinya, "Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari." (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut Syekh Samman ada tiga syarat utama dalam proses tobat. Pertama, mengingat betapa buruknya dosa yang telah dilakukan. Langkah ini mengharuskan seseorang untuk merenungi tindakan-tindakan yang salah dan melawan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. (Halaman 7).
Sejatinya, perbuatan dosa, sekecil apa pun, adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah yang telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kesadaran ini akan membawa salik pada rasa penyesalan yang mendalam dan membangkitkan keinginan untuk memperbaiki diri.
Kedua, mengingat betapa kerasnya hukuman Allah serta beratnya kemurkaan dan kemarahan-Nya yang tidak akan mampu ditahan manusia. Mengingat hukuman ini bukanlah bertujuan untuk menakut-nakuti, melainkan agar manusia memahami realitas dari akibat perbuatan buruknya.
Hukuman Allah tidak dapat dihindari atau diringankan oleh kekuatan manusia. Kemurkaan-Nya melampaui semua bentuk kemarahan yang bisa dibayangkan oleh akal. Ketika seseorang mengingat betapa beratnya murka Allah, ia akan terdorong untuk menghindari segala bentuk dosa dan memohon ampunan dengan sepenuh hati.
Ketiga, menyadari kelemahan diri sendiri dan betapa terbatasnya kemampuan untuk menahan azab. Manusia diciptakan dengan fisik dan jiwa yang lemah. Jika seseorang tidak mampu menahan panasnya matahari di dunia, pukulan dari seorang manusia biasa, atau bahkan gigitan seekor semut kecil, bagaimana mungkin ia mampu menahan panasnya api neraka Jahanam?
Dalam berbagai riwayat disebutkan, api neraka memiliki panas yang seribu kali lipat lebih dahsyat dibandingkan api dunia. Di dalamnya, terdapat ular-ular besar dengan tubuh seperti leher unta, serta kalajengking yang seukuran bagal. Semua ini diciptakan bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menggambarkan realitas yang harus dihadapi oleh mereka yang tidak bertaubat. (Halaman 8).
Ajaran kedua tarekat Samaniyah adalah memiliki mursyid. Seorang murid (salik) yang berkeinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan masuk dalam tarekat harus mengikuti langkah awal yang diajarkan oleh para mursyid. Langkah tersebut mencakup dua hal: pertama, keterikatan secara lahiriah atau formal; kedua, keterikatan secara maknawi atau batiniah. Dua aspek ini menjadi fondasi penting dalam perjalanan spiritual seorang murid.
Keterikatan lahiriah terjadi ketika seorang murid mengambil baiat dari seorang mursyid, yakni guru spiritual dalam tarekat, serta menerima ajaran dzikir. Setelah mengambil baiat, murid diharuskan untuk melaksanakan perintah yang diberikan oleh mursyid tanpa kelalaian, baik saat berada di rumah maupun dalam perjalanan.
Ketaatan kepada perintah mursyid akan memberikan perlindungan bagi murid. Meskipun secara fisik mungkin terpisah, hubungan batin antara murid dan mursyid tetap terjaga, dan wasiat dari mursyid harus dijadikan sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan yang mungkin muncul.
Keterikatan maknawi terjadi ketika seorang murid mengikatkan diri dengan baiat dan menerima ajaran dzikir, disertai dengan kebersamaan dan pelayanan kepada mursyid. Hal ini dilakukan untuk memahami makna baiat dan mendapatkan hak warisan spiritual dari mursyid. Jika seorang murid tulus dalam niatnya, ia akan dipandang seperti anak kandung yang mewarisi penuh dari mursyid.
واستاذ العاملين سيدى السيد (محمد) الغوث . قدس الله سره العزيز . في . في كتابه الدرجات (اعلم) ان أول الشروط في حق المريد السالك وأول سبيل له خيرة المرشد. فبذلك يكون بلوغ المريد
Artinya, "Dan Sang Syekh yang menjadi guru semua pengamal, Sayyidi Sayyid Muhammad Al-Ghaus–semoga Allah mengagungkan rahasianya–, mengatakan dalam kitab Ad-Darajat: "Ketahuilah bahwa syarat pertama bagi seorang murid yang menempuh jalan spiritual dan cara pertamanya adalah pilihan dari sang pembimbing."
Ajaran ketiga, baiat. Syekh Samman, mengatakan bahwa baiat, pada hakikatnya, adalah sebuah sarana untuk mencapai makna spiritual yang lebih dalam, yaitu keyakinan penuh di awal perjalanan spiritual seseorang, dengan tujuan akhirnya adalah penglihatan batin.
Dalam konteks ini, baiat bertujuan untuk membantu seseorang mencapai kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan, sehingga tidak ada sesuatu yang dapat memalingkan fokusnya kepada selain Tuhan. Melalui baiat, seorang murid diarahkan untuk mencapai pemahaman bahwa hanya ada satu tujuan hakiki, yaitu Allah, dan segalanya harus dikembalikan kepada Allah semata.
الحقيقية وسيلة إلى حصول هذا المعنى بطريق اليقين ابتداء والمعاينة غايتها وفى الطريق ليس وراء ذلك الواحد الحقيقي شي حتى يرده اليه و يقبل على غيره . والواحد مشهود في كل واحد ، وموجد بل واجد
Artinya, "Dan (baiat) yang sebenarnya adalah sarana untuk mencapai makna ini dengan cara kepastian pada awalnya, dan penglihatan adalah tujuannya. Di jalan ini, tidak ada yang lebih dari yang satu yang hakiki sehingga dapat mengembalikannya kepada-Nya dan berpaling kepada selain-Nya. Yang satu itu dapat disaksikan dalam setiap yang satu, dan ia menciptakan bahkan ada." (Halaman 3).
Adapun tata cara baiat dalam tarekat Samaniyah sebagai berikut:
Pertama, seorang murid yang meletakkan kedua tangannya di antara kedua tangan mursyid, jika ia seorang laki-laki. Namun, jika murid tersebut adalah seorang wanita, ada ketentuan khusus terkait komunikasi dan perintah yang disampaikan, biasanya melalui perantara seperti kain atau air. (An-Nafahatul Ilahiyah, 13).
Dalam hal ini, murid tidak bersentuhan langsung dengan yekh, melainkan menggunakan perantara tersebut sebagai simbol bahwa baiat dilakukan dengan tetap menjaga adab dan etika yang sesuai. Sang syekh melingkarkan kedua tangannya sebagai tanda penerimaan dan perlindungan secara lahir maupun batin bagi murid, yang tidak hanya berlaku di dunia, tetapi juga di akhirat.
Kedua, selain metode tersebut, terdapat pula cara lain baiat, yaitu syekh/mursyid meletakkan kedua tangannya di antara kedua tangan murid. Cara ini melambangkan bahwa sang murid berjanji untuk sepenuhnya menaati semua perintah mursyid tanpa ada keraguan atau niat untuk mengingkari perjanjian tersebut.
Hal ini juga menunjukkan bahwa syekh adalah pelindung bagi murid yang akan senantiasa membimbing dan menjaganya dari kesesatan serta marabahaya. Ikatan ini hanya bisa terputus jika murid sendiri yang memutuskan untuk menentang atau berpaling dari ajaran tarekat yang telah dia ikrarkan.
Ketiga, ada lagi tata cara baiat yang lain, yang saat ini dipraktikkan di wilayah-wilayah Arab. Ketika seseorang ingin berbaiat, jika ia melakukannya sendirian, ia meletakkan tangannya yang terbuka di bawah tangan sang mursyid. Jika ada orang lain yang turut berbaiat, maka tangannya diletakkan di bawah tangan orang yang ingin berbaiat tersebut. Sementara apabila ada banyak orang yang berbaiat secara bersama-sama, tangan sang syekh akan diletakkan di atas tangan-tangan mereka.
Setelah itu, syekh akan membaca ayat surat Al-Fath ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad saw), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Sebab itu, siapa yang melanggar janji (setia itu), maka sesungguhnya (akibat buruk dari) pelanggaran itu hanya akan menimpa dirinya sendiri. Siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan menganugerahinya pahala yang besar."
Setelah membaca ayat tersebut, sang syekh kemudian menyuruh kepada orang yang berbaiat membaca ini:
رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا. وَبِالإِسْلَامِ دِينًا. وَبِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نَبِيًّا. وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً وَبِسَيِّدِي الشَّيْخِ شَيْخًا وَمُرْبِيًا وَدَلِيلًا وَبِالْفُقَرَاءِ التَّابِعِينَ إِخْوَانًا لِي مَا لَهُمْ وَعَلَيَّ مَا عَلَيْهِمْ. الطَّاعَةُ تَجْمَعُنَا وَالْمَعْصِيَةُ تُفَرِّقُنَا
Artinya, "Aku rela bahwa Allah sebagai Tuhan-ku, dan Islam sebagai agamaku, dan Sayyidina Muhammad sebagai Nabiku, dan Al-Qur'an sebagai imamku, dan Ka'bah sebagai kiblatku, dan Syekhku sebagai mursyidku, pembimbingku, dan petunjukku, serta para fakir (salik) yang mengikuti sebagai saudaraku, bagiku apa yang bermanfaat bagi mereka, dan apa yang membahayakan mereka menjadi tanggung jawabku. Ketaatan menyatukan kita, dan kemaksiatan akan memisahkan kita."
Ajaran keempat, adab salik dan mursyid. Ahmad Purwadaksi, dalam Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman, mencatat dalam Tarekat Samaniyah, hubungan antara salik (murid) dan mursyid (guru spiritual) dianggap sebagai hubungan yang sangat khusus dan penuh penghormatan.
Seorang mursyid dalam tarekat ini memiliki peran yang serupa dengan Nabi Muhammad saw. bagi para sahabatnya, di mana mursyid tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual yang menunjukkan jalan menuju ma'rifatullah. (Halaman 357).
Hubungan ini dibangun di atas dasar cinta, kepercayaan, dan ketaatan. Kkarena itu, seorang salik diharapkan untuk memiliki sikap patuh yang tinggi terhadap mursyidnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 2, yang mana para sahabat dilarang mengangkat suara melebihi suara Nabi Muhammad saw sebagai bentuk penghormatan.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya." (QS Al-Hujurat: 2).
Menurut Ibnu Arabi dalam naskahnya At-Tadbiratul Ilahiyat fi Islahil Mamlakatil Insaniyat, seorang salik harus bersikap seolah-olah dirinya adalah mayat yang berada di tangan orang yang sedang memandikan jenazah, artinya harus tunduk sepenuhnya tanpa perlawanan atau keraguan terhadap mursyidnya.
Salik tidak boleh menyimpan prasangka buruk terhadap mursyid meskipun ia melihat tindakan yang tampaknya tidak sejalan dengan syariat. Sikap ini menandakan bahwa mursyid dipandang sebagai pembimbing yang telah mencapai tingkat spiritual lebih tinggi dan memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang rahasia-rahasia ketuhanan.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang salik juga harus menunjukkan sikap rendah hati dan menghormati kedudukan mursyid. Contohnya, ia tidak boleh duduk di tempat yang biasanya digunakan oleh mursyidnya, tidak boleh mengenakan pakaian yang serupa, dan harus selalu mematuhi perintah mursyidnya tanpa pertanyaan.
Posisi ini menunjukkan bahwa mursyid adalah perantara antara salik dan Allah, sehingga sikap penghormatan yang mendalam menjadi hal yang mutlak dalam hubungan mereka. Dengan sikap yang demikian, diharapkan salik dapat menghilangkan ego dan nafsunya, sehingga terbuka jalannya untuk mencapai kesucian batin serta kedekatan dengan Allah melalui bimbingan mursyid. (Halaman 358).
Tarekat Samaniyah termasuk tarekat yang mu'tabarah di dunia Islam. Sejatinya, dalam dunia yang sering kali penuh dengan gejolak dan ketidakpastian, ajaran tarekat ini mengingatkan kita akan pentingnya hubungan kita dengan Allah dan sesama. Melalui praktik dzikir, pengembangan akhlak, dan kesederhanaan, tarekat ini mengajak kita untuk menelusuri jalan menuju kedamaian batin dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman Tinggal di Parung Bogor
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua