Pedoman Wirid (Amalan) tanpa Petunjuk Guru (Mursyid) bagi Ibnu Athaillah
Jum, 13 Oktober 2017 | 02:05 WIB
Kita tidak perlu heran dengan perbedaan jenis wirid orang lain. Kita juga tidak perlu mempengaruhi apalagi merendahkan wirid orang lain. Perbedaan ini menunjukkan keragaman yang Allah SWT kehendaki sebagaimana disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.
Artinya, “Jenis amalan tiap orang bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan.”
Kita perlu sekali menjaga adab terhadap wirid orang lain. Untuk sebagian orang, wirid ditentukan oleh guru mereka. Di sini kita harus menghargai wirid orang lain. Tetapi untuk sebagian orang, wirid ditentukan oleh suasana batin yang bersangkutan. Kita juga perlu menghargai wirid mereka yang didasarkan pada suasana batinnya sebagai dijelaskan Syekh Syarqawi berikut ini.
Artinya, “(Jenis amalan tiap orang) hamba-hamba Allah yang beramal (bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan), yaitu inspirasi yang menghasilkan suasana-suasana tertentu di hati mereka yang menuntut kecenderungan mereka pada sebuah amalan atau wirid tertentu. Inspirasi itu kadang disebut juga keadaan sebagai nanti diterangkan, yaitu di mana kau menemukan sebagian murid menyibukkan diri dengan shalat sebagai wiridnya, sebagian lain sibuk mengamalkan puasa sebagai wiridnya, dan seterusnya. Sebab dari semua itu adalah perbedaan inspirasi ilahi kepada mereka yang menuntut kecenderungan si fulan untuk wirid ini, si fulan untuk wirid itu, dan seterusnya. Jika tidak dalam bimbingan salah seorang mursyid, seseorang seyogianya mengamalkan sebuah wirid tertentu sesuai kecenderungan inspirasinya. Tetapi mereka yang berada di bawah bimbingan seorang mursyid tidak boleh mengamalkan wirid tertentu tanpa izin dan kehendak mursyidnya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, halaman 11).
Sementara Syekh Ahmad Zarruq menangkap dua pengertian berbeda soal hikmah ini. Pengertian pertama adalah pengertian seperti dijelaskan di atas, yaitu jenis wirid seseorang diinspirasi oleh suasana batinnya. Sedangkan untuk pengertian kedua, wirid seseorang harus sesuai dengan tuntutan riil lapangan, yaitu kondisi sulit menuntut seseorang untuk bersabar dan kondisi lapang menuntut orang bersyukur.
Artinya, “Buat saya, pengertian ‘bermacam-macam’ itu berwarna-warni. ‘Amalan’ sendiri merupakan ungkapan atas gerakan fisik. ‘Keadaan’ adalah ungkapan atas gerakan batin sehingga gerakan fisik seseorang mengikuti suasana batinnya. Kalau memang demikian, seseorang tidak perlu fokus pada ketiadaan wirid ketika wirid uzur untuk dilakukan karena sudah ada suasana batinnya. Ini yang dituntut dalam Kitab Tanbih…
Yang saya pribadi pahami bahwa kata ‘amalan’ merujuk pada gerakan fisik dan batin. Sedangkan ‘keadaan’ merupakan ungkapan dari perubahan riil, yaitu kaya-fakir, mulia-hina, sejahtera-bala, dan seterusnya yang berdampak padanya sebuah hukum sehingga amalan tiap-tiap orang berlainan karena perbedaan tuntutan riil terkait dirinya. Setiap keadaan riil menuntut amalan tersendiri dan orang tertentu secara khusus sehingga keadaan itu saling menggantikan. Keluputan keadaan riil yang menuntut amalan syukur atas sejahtera, akan disusul dengan keadaan riil yang menuntut sabar atas sebuah bala, dan seterusnya. Kekurangan dalam amalan fisik dapat disempurnakan dengan amalan batin... Ketika ditawarkan pilihan pangkat nabi yang raja atau nabi yang rakyat jelata, Rasulullah SAW menjawab, ‘Tuhanku, hamba memilih lapar sehari dan kenyang di hari sesudahnya agar saat lapar hamba merendakan diri di hadapan Paduka dan saat kenyang hamba dapat memuji dan bersyukur kepada Paduka.’ Di sini Rasulullah SAW tidak mengutamakan salah satu keadaan dibanding lainnya, tetapi memerhatikan penghambaan kepada Allah pada segala keadaan karena penghambaan inilah yang menjadi tujuan hidup. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita. Amiiin,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 23).
Penjelasan Syekh Zarruq ini sejalan dengan firman Allah pada Surat Ad-Dzariyat berikut ini.
Artinya, “Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku,” (Surat Ad-Dzariyat ayat 56).
Dengan penjelasan itu, Syekh Zarruq ingin mengatakan bahwa kondisi riil setiap orang bersifat khusus dan menuntut amal yang khusus pula sehingga dalam kondisi apapun setiap orang tetap menjaga penghambaan kepada Allah dalam bentuk ibadah yang terus berubah seiring perubahan kondisi. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Orang yang Dianjurkan Membuka Kain Kafan pada Pipi Jenazah saat Pemakaman
2
Khutbah Jumat: Pahala Surga bagi Orang yang Bisa Menahan Amarah
3
Timnas Indonesia VS Uzbekistan Malam Ini, Tentukan Tiket ke Olimpiade Paris 2024
4
Dua WNI Ini Gowes Sepeda 8 Bulan Demi Nonton Timnas Indonesia di Piala Asia U-23
5
Piala Asia U-23, PBNU Gelar Nobar Timnas Indonesia vs Uzbekistan Terbuka untuk Umum
6
Indonesia vs Uzbekistan U23: Keseruan Nobar di PBNU
Terkini
Lihat Semua