Tasawuf/Akhlak

Petunjuk Rasulullah bagi Kehidupan Manusia Modern

Sen, 8 Mei 2023 | 16:35 WIB

Petunjuk Rasulullah bagi Kehidupan Manusia Modern

Ilustrasi: manusia - masa depan - maju (freepik).

Kehidupan manusia modern abad ini mengalami kemajuan yang luar biasa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mengantarkan manusia pada perubahan perilaku hidup yang sangat signifikan. Namun bersamaan itu justru manusia modern seolah kehilangan jati diri, tak mengerti arah dan tujuan sebenarnya mengapa mereka diciptakan dan dilahirkan di dunia fana.
 

Masalah-masalah sosial banyak dilahirkan di era modern, seperti bergesernya nilai-nilai kemanusiaan yang semakin individualis, hedonis, dan materialistis. Berkaitan krisis nilai inilah, Islam mengingatkan "sangkan paraning dumadi" (awal dan akhir penciptaan manusia). Artinya dari mana mereka diciptakan, untuk berbuat apa, dan kemana mereka akan kembali.
 

Allah swt dengan tegas menyatakan dalam Al-Qur'an: 

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 

Artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
 kepada-Ku.” (QS Ad-Dzariyat: 56).

 
Syekh Abul Abbas Ahmad bin Yusuf AsySyaibani Al-Kawasyi, dalam kitab Tafsir Kabirnya—seperti dikutip oleh Ibnu Allan dalam Dalilul Falihin—mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan makhluk dan tidak mengutus para Rasul secara main-main, akan tetapi mereka semua diciptakan karena tujuan yang sangat besar dan mulia, yaitu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. (Ibnu Allan, Dalilul Faihin, [Beirut,Darul Ma'rifah: 2004], juz I, halaman 33).

Lebih lanjut dalam ayat berikutnya Allah menegaskan: 
 

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ

 

Artinya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.” (QS Ad-Dzariyat: 57).
 

Manusia diciptakan bukan untuk mengumpulkan harta sebanyak-sebanyaknya, dan bukan diciptakan hanya untuk bersenang-senang. Ini sangat jelas bahwa manusia diciptakan di dunia hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk menyembah Allah swt. Karenya, wajib bagi manusia untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah. Karena dunia hanya rumah sementara yang tidak kekal dan abadi.
 

Allah menjelaskan, bagaimana dunia berubah dan menghilang dengan sangat cepat melalui firman-Nya: 
 

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

 

Artinya, “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir. Demikianlah hakikat kehidupan dunia yang berubah sangat cepat, silih berganti tanpa dapat dihindari. Maka manusia yang cerdas adalah mereka yang menjadikan kehidupan dunia ini sebagai ladang ibadah dan amal untuk bekal di akhiratnya. (QS Yunus: 24).
 

Imam An-Nawawi dalam mukadimah Kitab Riyadhus Shalihin mengutip syair Arab yang mengatakan:
 

اِنَّ لِلهِ عِبَادًا فُطَانَا # طَلَقُوْا الدُّنْيَا وَخَافُوْا الْفِتَنَا
نَظَرُوْا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا # اَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا
جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوْا # صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيْهَا سُفُنَا

 

Artinya, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba cerdas, mereka meninggalkan dunia dan takut akan fitnahnya.

Ketika mereka melihat dan mengetahui, bahwa dunia bukanlah tempat hidup abadi, 

maka mereka menjadikan dunia bagaikan lautan, dan amal-amal saleh sebagai perahu layarnya. (An-nawawi, Riyadhus Shalihin pada Dalilul Falihin, [Beirut, Darul Ma'rifah: 2004], juz I, halaman 37-38). 
 

Syair ini memberi perumpamaan bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara. Sebagai hamba yang cerdas dan mengetahui hakikat ini, mereka menjadikan dunia ibarat lautan samudera dan amal salih sebagai kapal kendaraan menuju ke kehidupan abadi, yaitu kehidupan akhirat.
 

Rasulullah saw pernah berpesan kepada sahabat Abdullah bin Umar: 
 

عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. (رواه البخاري)
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra: “Rasulullah saw memegang kedua pundakku seraya berpesan: “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau pengembara.” (HR Al-Bukhari). 
 

Dari ulasan-ulasan di atas diketahui, sesungguhnya hakikat kehidupan dunia hanyalah sementara. Ibarat musafir berhenti dan istirahat sejenak di bawah rindangnya pohon, kemudian meninggalkannya.
 

Sudah semestinya kita merajut kembali amal-amal saleh,  baik amal sosial maupun amal spiritual, agar krisis-krisis nilai seperti sifat individualis, hedonis, dan materealistis dalam kehidupan modern dapat dihilangkan, atau setidaknya dapat diminimalisir dari diri kita. Semoga Allah menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang terus beribadah dan beramal saleh, yang terus mengembangkan layar melewati lautan dunia dengan selamat. Sekali layar terkembang, surut kita berpantang. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Zuhad Abdillah, Alumni Pondok Pesantren Tremas Pacitan.