Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Sikap Insanul Kamil Hadapi Pujian Manusia Menurut Ibnu Athaillah

Ahad, 15 Oktober 2017 | 11:04 WIB

Sikap Insanul Kamil Hadapi Pujian Manusia Menurut Ibnu Athaillah

(Copyright istickphoto.com)

Pujian orang lain terhadap kita semacam permen, manis tapi bisa bikin sariawan. Pujian manusia bisa meruntuhkan atau meningkatkan martabat seseorang di sisi Allah. Tetapi pujian hanya menghasilkan rasa malu bagi mereka yang merasa tidak pantas menerima pujian tersebut.

المؤمن إذا مدح استحى من الله أن يثنى عليه بوصف لا يشهد من نفسه

Artinya, “Orang beriman itu ketika dipuji akan malu kepada Allah karena memujinya dengan sifat yang dia tak lihat pada dirinya.”

Orang beriman memandang Allah dalam segala keadaan. Ia menanggap pujian orang lain itu ditujukan untuk Allah karena ia hanya hanya tempat penampakan sifat-sifat-Nya yang terpuji.

المؤمن مظهر تجلى اسمه المؤمن وهو المصدق بجميع أنبياء الله وبما جاؤوا به من أنبيائه التى منها تحقيق وجوب الإيمان بها، وجب إيقان معيته تعالى مع كل شيء وإحاطته به علما وقدرة ونظرا، فإذا مدح بين يديه بما ليس فيه أو منه استحيى من أن يثنى عليه بوصف كائن فيه من الله لا يشهده من نفسه كما تقدم بيانه في الكلمة التي قبلها، وهو إما لشهوده منها ضده أو بعضه أو هو ولكن يشهد أن الله فيها أوجده، فتفطن لنقد الرجال ولا تكن به من الجهال.

Artinya, “Orang beriman itu tempat manisfestasi asma-Nya bernama ‘al-mukmin’ yang membenarkan semua para nabi dan kabar yang mereka sampaikan di mana salah satunya adalah realisasi kewajiban keimanan. Kebersamaan Allah dengan segala sesuatu wajib diyakini sebagaimana juga cakupan ilmu, kuasa, dan pandangan-Nya atas segalanya. Kalau dipuji di hadapannya dengan sifat yang tak ada pada dirinya atau berasal dari dirinya, ia malu karena ia dipuji dengan sifat yang berasal dari Allah, bukan sifat yang ia lihat dari dirinya sebagaimana penjelasan pada kalimat sebelumnya. Bisa jadi ia memandang lawanan dari sifat terpuji itu, sebagiannya, atau memang sifat terpuji itu sendiri. Tetapi ia melihat bahwa Allah menjadikan sifat terpuji itu pada dirinya. Pahamilah ini dengan mengamati perilaku orang-orang beriman yang hakiki (insanul kamil). Janganlah kau jadi orang yang jahil,” (Lihat Syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan pertama, 2008 M, halaman 100-101).

Menurut Syekh Zarruq, mereka yang malu atas pujian orang lain bukan sembarangan orang beriman. Mereka yang malu adalah Mukminul kamil, orang beriman yang sempurna. Makin dipuji, mereka semakin sempurna.

قلت: مراده المؤمن الكامل... قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن إذا مدح ربا الإيمان الحديث. فالمدح لا يذم من حيث ذاته ولا يحمد من حيث ذاته، فلذلك قد يكون موصلا للكمال أو موصلا للنقص أو غير موصل لشيء منهما.

Artinya, “Menurut saya, orang beriman yang dimaksud adalah Mukmin yang sempurna... Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang beriman ketika dipuji imannya akan tumbuh-kembang...’ Dari substansinya, pujian itu sendiri tidak tercela dan tidak terpuji karenanya pujian itu dapat mengantarkan seseorang pada kesempurnaan, kekurangan, atau sesuatu selain keduanya,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 124).

Apakah senang tidak boleh ketika dipuji orang lain? Boleh saja. Kesenangan itu dapat menambahkan pahala di sisi Allah. Yang tidak boleh adalah tertipu saat dipuji oleh orang lain sehingga ia menganggap dirinya memang berhak atas pujian tersebut dengan melupakan Allah sebagai zat yang berhak sebagai disinggung Syekh Ibnu Ajibah berikut ini.

ولا يضرك مدحك بما تفعل ان لم تقصد التعرض للمدح ففي الحديث عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال أتدرون من المؤمن قالوا الله ورسوله أعلم قال الذي لا يموت حتى يملأ مسامعه مما يحب ولو أن رجلا عمل بطاعة الله في جوف بيت إلى سبعين بيتاً على كل بيت باب من حديد لألبسه الله رداء عمله حتى يتحدث الناس بذلك ويزيدون قيل يا رسول الله كيف يزيدون قال المؤمن يحب ما زاد في عمله الحديث وفي حديث آخر قيل يا رسول الله الرجل يعمل العمل خفية ثم يتحدث الناس به فيفرح فقال عليه السلام له الأجر مرتين أجر العمل وأجر الفرح فإن مدح بما ليس فيه واغتر بذلك فهو جاهل بربه

Artinya, “Pujian atas suatu amalmu tidak masalah buatmu jika kamu tak meniatkannya untuk pujian. Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, ‘Tahukah kalian siapa orang beriman itu?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.' ‘(Mereka) adalah orang yang belum meninggal sebelum ucapan yang mereka sukai (pujian) memenuhi telinga mereka. Seandainya salah seorang beramal untuk Allah di sebuah kamar yang berada di dalam rumah sampai 70 lapisan di mana setiap rumah terdiri dari satu pintu besi, niscaya Allah memakaikannya pakaian amal-Nya sampai orang-orang membicarakannya dan mereka bertambah.’ ‘Apa maksudnya mereka bertambah ya rasulullah?’ ‘Orang beriman itu menyukai suatu tambahan dalam amalnya...’ lain riwayat Rasulullah bersabda, ‘Ya rasulullah, seseorang beramal secara tersembunyi kepada Allah, lalu orang banyak membicarakannya, tetapi ia senang?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ia menerima dua pahala, satu pahala amal, kedua pahala senang.’ Tetapi ketika seseorang dipuji dengan sesuatu yang tidak ada padanya, lalu terpedaya dengan pujian itu, maka ia jahil terhadap perilaku Allah,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 212).

Simpulannya, orang beriman bukan takut dipuji atau tidak boleh senang ketika dipuji. Orang beriman adalah mereka yang memandang Allah saat orang lain memujinya karena Allah yang berhak menerima pujian itu. Semoga Allah menambah kebaikan kepada mereka. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)