Tasawuf/Akhlak

Pengertian Tawakal menurut Imam al-Qusyairi

Jum, 24 September 2021 | 13:45 WIB

Pengertian Tawakal menurut Imam al-Qusyairi

Tawakal adalah konsep penting dalam kajian tasawuf. (Ilustrasi)

Tawakal adalah salah satu bahasan penting dalam ilmu tasawuf. Banyak ulama memberikan definisi tentang konsep tawakal ini, di antaranya adalah Syekh Abu Qasim al-Qusyairi, seorang tokoh sufi besar dari abad keempat hijriah. Beliau sangat terkenal dengan dua karya tulisnya dalam fan ilmu tasawuf yang berjudul Lathaif al-Isyarat dan Risalah al-Qusyairiyyah. Abu Qasim al-Qusyairi lahir di Naisabur pada tahun 376 Hijriah dan wafat pada tahun 465 Hijriah.
 

Jasa besar Abu Qasim al-Qusyairi dalam ilmu tasawuf adalah memetakan definisi maqamat (tingkatan-tingkatan spiritual) dan ahwal (kondisi spritirual) dengan sangat tepat. Para ulama tasawuf memuji Abu Qasim al-Qusyairi sebagai tokoh pertama yang membahas hubungan antara syariat dan tasawuf jauh sebelum Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali membahasnya dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

 

 

Menurut Imam Abu Qasim al-Qusyairi, tawakal adalah memasrahkan setiap perkara kepada Allah. Beliau berpendapat bahwa pasrah kepada Allah bermakna memilih menjadikan Allah sebagai Dzat yang memutuskan hasil dari setiap perkara yang dihadapi seorang hamba. Syekh Abu Qasim al-Qusyairi juga menukil pendapat Sahal bin Abdullah, “Awal dari derajat tawakal adalah ketika seorang hamba merasakan kepasrahan kepada Allah bagaikan seonggok jenazah di depan orang yang memandikannya yang dapat dibolak-balik dengan mudah sesuai keinginan orang yang memandikannya”.
 

Pada masa Syekh Abu Qasim al-Qusyairi, umat Islam sedang berada dalam carut-marut mengenai kekuasaan dan kekayaan yang berujung perebutan harta duniawi. Akibatnya, sebagian umat Islam menjadi sangat apatis dengan kekayaan dan jabatan. Mereka pun memilih meninggalkan kewajiban bekerja serta memilih menyendiri beribadah dengan dalih tawakal kepada Allah. Dampaknya, sebagian umat Islam yang lain pun menjadi apatis dengan kehadiran kelompok sufi yang mereka anggap sebagai kaum pemalas dan kurang produktif dalam ranah sosial.
 

Di sinilah Syekh Abu Qasim al-Qusyairi memberikan penjelasan yang mencerahkan dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah,
 

واعلم أن التوكل محله القلب والحركة بالظاهر لا تنافي التوكل بالقلب بعد ما تحقق العبد أن التقدير من قبل الله وإن تعثر شئ فبتقديره وإن اتفق شئ فبتيسيره

 

“Ketahuilah bahwa tawakal bertempat di dalam hati, dan usaha lahiriah tidaklah merusak sifat tawakal dalam hati selama sang hamba meyakini bahwa takdir datang dari sisi Allah. Apabila suatu perkara terasa sulit maka hal tersebut datang dari takdir Allah. Dan apabila suatu perkara selaras dengan keinginannya maka hal tersebut datang dari pertolongan Allah.”
 

Pada dasarnya ajaran tasawuf tidak pernah mengajarkan untuk bermalas-malasan dalam bekerja. Abu Qasim al-Qusyairi juga menukil pendapat Sahal bin Abdullah,
 

التوكل حال النبي والكسب سنته فمن بقي على حاله فلا يتركن سنته

 

“Sifat tawakal adalah keadaan Nabi Muhammad dan bekerja adalah jalan yang ditempuh Nabi Muhammad. Barang siapa yang meneladani keadaan Nabi (dengan menetapi sifat tawakal) maka jangan sampai ia meninggalkan sunah Nabi (dengan tetap bekerja).”
 

Justru para ulama tasawuf mengajarkan para pengikutnya untuk giat bekerja dan beribadah. Karena pada dasarnya seorang yang meninggalkan kewajiban bekerja maka ia telah menganiaya dirinya sendiri serta orang-orang yang ditanggungnya. Sebagaimana Abu Ali Ar-Ruzbari mengatakan,

 

إذا قال الفقير بعد خمسة أيام أنا جائع فألزموه السوق ومروه بالعمل والكسب

 

“Ketika seorang fakir miskin mengatakan 'Aku lapar' setelah lima hari maka tetapkanlah ia di pasar dan perintahkan ia untuk berusaha dan bekerja.”

 

 

Syarat Tawakal

Ada dua syarat tawakal menurut Abu Qasim al-Qusyairi, yaitu:
 

Pertama, memilih bersandar kepada Allah dalam segala keadaan dan kondisi. Ia tidak bergantung kepada selain Allah. Ia tidak meminta perlindungan kepada selain Allah. Abu Qasim al-Qusyairi menyerupakan seorang yang sungguh-sungguh tawakal kepada Allah dengan seorang bayi yang tidak mengenali apa pun kecuali kasih sayang dan perhatian ibunya. Beliau mengatakan, “Barang siapa yang ridha menjadikan Allah sebagai tempat berpasrah maka Allah berikan pahala kepadanya, Allah realisasikan cita-citanya, Allah perlakukan ia dengan lembut dalam setiap urusannya, dan tunjukkan ia menuju jalan kesuksesan”.
 

Kedua, berpegang teguh menaati setiap perintah Allah, ikhlas dalam beribadah serta menjauhi setiap larangan Allah. Abu Qasim al-Qusyairi mengatakan, “Barang siapa yang berserah diri kepada Allah maka ia harus menyerahkan dirinya untuk taat kepada Allah dan ia harus menjaga dirinya dari durhaka kepada Allah dalam setiap waktu”.
 

Walhasil, tawakal tidak sekadar ucapan lisan tetapi harus dihayati sebagai pegangan hidup di dunia. Abu Qasim al-Qusyairi menyatakan dalam Lathaif al-Isyarat,

 

التوكل تحقق في العقيدة، وتخلق بإقامة الشريعة وتوثق بالمقسوم من القضية وتملق بين يديه بحسن العبودية

 

“Tawakal menjadi kebenaran dalam akidah, menjadi budi pekerti dengan mendirikan perintah syariat, merasa yakin dengan pembagian yang Allah berikan, dan mendekat kepada Allah dengan amal ibadah yag baik.”
 

Imam Abu Qasim al-Qusyairi menekankan bahwa sifat tawakal akan mendatangkan ketenangan dalam hati seorang hamba. Tidak ada sedikit pun kekhawatiran di hati sang hamba karena ia yakin bahwa seluruh yang akan menimpanya berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Sebagaimana beliau mengatakan dalam kitab Lathaif al-Isyarat,
 

من عرف أن الرازق هو الله خف عن قلبه هم العيال إن كثروا

 


“Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki maka menjadi ringanlah kesedihan di hati sang hamba karena banyaknya keluarga yang ia tanggung” (Abu Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, [Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah], 2007).


Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo