Tasawuf/Akhlak

Tetap Produktif Beramal di Tengah Munculnya Prediksi Kiamat

Jumat, 2 Agustus 2024 | 18:00 WIB

Tetap Produktif Beramal di Tengah Munculnya Prediksi Kiamat

Petani bekerja di sawah. (Foto: NU Online/Freepik)

Prediksi waktu terjadinya kiamat, yang dilakukan segelintir orang di setiap masa, berakhir dengan kegagalan. Sejarah mencatat, pemuka agama hingga saintis kerap meramal prediksi kiamat. Prediksi suku Maya tahun 2012 dan ilmuwan India akhir-akhir ini misalnya, menjadi contoh ramalan kiamat yang gagal.


Britanica mencatat, ramalan kiamat yang pernah diprediksi menggambarkan bumi akan hancur dengan berbagai bencana seperti banjir, jatuhnya komet, hingga kebakaran besar. Tanda-tanda tersebut mirip dengan deskripsi kiamat dalam versi Islam.


Sabda Nabi saw yang tercantum dalam Shahih Muslim tentang tanda-tanda kiamat merupakan salah satu deskripsi yang detail dalam menggambarkan akhir zaman. Teksnya yaitu:


عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ أَسِيدٍ الْغِفَارِيِّ قَالَ اطَّلَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ  


Artinya: “Dari Hudzaifah bin Asid Al Ghifari berkata, Rasulullah saw menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu. Ia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab, ‘Kami membicarakan kiamat.’ Ia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dābbah), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam AS, Ya'juj dan Ma'juj, tiga gerhana; gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka,” (HR Muslim)


Hadits ini memaparkan tanda-tanda kiamat dengan sangat spesifik, meskipun kita belum tahu apakah sepuluh peristiwa tersebut bermakna literal atau metaforis. Boleh jadi, masing-masing tanda tersebut memiliki eksistensi yang tidak empiris.


Kemudian, hal yang menarik dari sebuah ramalan kehancuran dunia adalah motif yang perlu diselidiki lebih lanjut serta implikasi sikap manusia terhadap prediksi tersebut. Misalnya, terdapat teori Degradasi Lingkungan Himalaya yang meramalkan kehancuran lingkungan pada akhir milenium lalu, yang kemungkinan besar mengancam jutaan umat manusia. Ramalan tersebut tampak seperti prediksi kiamat pada umumnya.


Namun faktanya, teori tersebut tidak menjadi kenyataan. Tor H Aase, seorang profesor bidang geografi di University of Bergen, Norwegia, mencatat fakta hutan di Nepal menjadi lebih rimbun sejak pertama kali dihuni. Ia mengutip bahwa antara tahun 1978 - 1992, kegiatan kehutanan masyarakat di dataran rendah telah memberikan dampak positif pada hutan lokal dan stabilitas keseluruhan sistem penggunaan lahan.


Ahli geografi tersebut memperhitungkan, bahwa mungkin saja teori kiamat yang diciptakan memiliki motif politis, yaitu supaya warga sekitar bahu-membahu membangun lingkungan menjadi lebih aman, sehingga teori tersebut gagal terjadi. (Tor H Aase, Are doomsday scenarios best seen as failed predictions or political detonators?, [The Geographical Journal of Nepal, 2017], hal. 1-11).


Tetap produktif sebagai bentuk kesiapan menghadapi kiamat

Sejarah mencatat, seiring umur yang sudah lanjut usia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri dinasti pertama pasca kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya. Ia pun akhirnya memulai untuk bercocok tanam dengan menanam kurma.


Datang seseorang bertanya tentang kegiatan yang dilakukannya. “Aku menanam pohon ini tanpa berharap untuk memanennya. Hanya saja, aku terinspirasi dari perkataan al-Asadi, ‘Bukanlah seorang pemuda apabila tidak bermanfaat dan tidak meninggalkan jejak di bumi’,” ungkap Mu’awiyah kepada penanya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid XI, hak. 78).


Sikap Mu’awiyah ini patut dicontoh. Meskipun sudah lanjut usia, akan tetapi semangat produktivitas untuk mempermudah generasi selanjutnya tetap hidup dalam jiwanya. Tumbuhan yang ditanamnya adalah bibit kurma, dalam bahasa Arab biasa disebut dengan “fasîlah”.


Fasîlah atau bibit kurma yang ditanam tidak langsung jadi sehari dua hari, akan tetapi membutuhkan waktu hingga tahunan untuk dapat menuai hasil panennya. Setelah tahunan tumbuh dan berhasil dipanen, maka selanjutnya pemilik pohon tinggal memetik buahnya saja. Lantas, apa kaitan antara fasîlah dengan hari kiamat?


Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dua hadits terkait dengan produktivitas yang mesti berlanjut meskipun tanda-tanda kiamat telah hadir di depan mata. Berikut riwayatnya:


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ قَامَتْ عَلَى أَحَدِكُمُ الْقِيَامَةُ ، وَفِي يَدِهِ فَسِيلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا. (رواه أحمد)


Artinya: “Rasulullah saw bersabda: ‘Jika kiamat telah tiba dan pada salah satu dari kalian sedang menggenggam bibit pohon [kurma], maka tanamlah’.” (HR Ahmad).


Al-Munawi menyimpulkan terdapat perintah untuk terus menanam pohon walaupun telah muncul tanda-tanda kiamat. Senada dengan al-Munawi, Al-Haitsami menyebutkan andai nanti Dajjal sudah muncul, jika masih menyimpan bibit untuk ditanam, maka lebih baik ditanam terlebih dahulu. Boleh jadi setelah itu masih ada kehidupan manusia lainnya yang dapat memanfaatkan tanaman tersebut. 


Pendapat Al-Haitsami agar seseorang tetap menanam pohon tepatnya bukan ketika bumi sedang hancur porak poranda di hari kiamat. Akan tetapi, karena tanda-tanda kiamat tidak datang sekaligus, namun berproses, maka anjuran untuk produktif dan bermanfaat tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid XI, hak. 78).


Musa Syahin Lasyin juga menyebut, berdasarkan hadits ini kita tahu bahwa Rasulullah memerintahkan agar manusia menciptakan kemanfaatan yang tidak hanya dapat dinikmati di masa kini, namun kemanfaatan yang berkelanjutan. Ia memaparkan:


فالإنسان عندما يغرس النخلة لن يأكل منها، وإنما ليأكل منها أولاده وأحفاده كما أكل هو من غرس أجداده


Jadi, ketika seseorang menanam pohon kurma, dia mungkin tidak akan menuai manfaatnya secara langsung, tetapi anak-anak dan cucunya yang akan memetik hasilnya, sebagaimana dia sendiri menikmati hasil dari tanaman yang ditanam oleh nenek moyangnya. (Musa Syahin Lasyin, Al-Manhalul Hadits, [Beirut: Darul Madar al-Islami, 2002], jilid II, hal. 276).


Kesimpulannya, ramalan kiamat yang disebut secara definitif hanyalah cerminan dari ketidakpastian. Hal terpenting adalah bagaimana manusia merespons isu tersebut dengan cara yang produktif dan bermanfaat. 


Paparan hadits Nabi saw dalam tulisan ini mengajarkan kita bahwa produktivitas beramal dan berbuat baik serta bermanfaat untuk generasi selanjutnya adalah bentuk persiapan terbaik dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti. Wallahu a’lam.
 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta