Tasawuf/Akhlak

Tips Mencapai Khauf dan Raja Menurut Imam Al-Muhasibi

Sab, 4 Maret 2023 | 09:00 WIB

Tips Mencapai Khauf dan Raja Menurut Imam Al-Muhasibi

Khauf dan Raja' atau Takut dan harap. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Salah satu yang memotivasi kita dalam beramal baik adalah raja’ atau berharap kepada Allah. Sebaliknya, yang membuat kita berusaha meninggalkan perbuatan dosa adalah khauf atau rasa takut kita kepada Allah. 


Pada dasarnya, di saat beramal baik, kita tidak bisa memastikan apakah amal kita diterima di Allah atau tidak. Begitu pula di saat berbuat dosa, kemudian bertobat, apakah kita mendapat ampunan atau tidak.    


Pertanyaannya, lantas bagaimana cara kita raja’ atau berharap kepada Allah dan khauf atau merasa takut kepada-Nya? Dalam kondisi apa kita boleh raja’ dan harus khauf kepada-Nya? 


Dalam kaitan ini, al-Muhasibi dalam Adabun-Nufus mengemukakan bahwa raja’ sendiri adalah berharap kepada Allah akan diterimanya suatu amal dan besarnya pembalasan. Di sisi lain, ia merasa takut jika amalnya ditolak atau ada yang merusak balasannya.    


Ini baru tingkatan raja’ yang paling rendah dari seorang hamba pada saat dirinya beramal. Sebab, tingkatan raja’ yang tertinggi, bukan berharap pahala atau surga, melainkan hanya berharap ridha-Nya, dimana dengan ridha-Nya, di mana pun hamba ditempatkan pasti akan meraih kebahagiaan. Namun, tak mungkin Allah menempatkan hamba-Nya di tempat yang dipersiapkan untuk mengadili hamba-hamba yang bermaksiat. 


Lebih lanjut al-Muhasibi menyebutkan bahwa orang-orang yang raja’ atau orang yang berharap pada Allah ada tiga. Yang pertama adalah: 


رجل عمل حَسَنَة وَهُوَ صَادِق فِي عَملهَا مخلص فِيهَا يُرِيد الله بهَا وَيطْلب ثَوَابه فَهُوَ يَرْجُو قبُولهَا وثوابها وَمَعَهُ الاشفاق فِيهَا


Artinya, “Pertama, orang yang beramal baik. Ia bersungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Tulus dalam menjalankannya. Ia semata mengharap rida-Nya dan memohon balasan-Nya. Mengharap penerimaan dan balasan amalnya. Melalui amal itu, ia juga berharap kasih sayang-Nya.” (Lihat: al-Muhasibi, Adabun-Nufus, Juz I, halaman 68). 


Jenis orang raja’ yang kedua adalah:


وَرجل عمل سَيِّئَة ثمَّ تَابَ مِنْهَا الى الله فَهُوَ يَرْجُو قبُول تَوْبَته وثوابها ويرجو الْعَفو عَنْهَا وَالْمَغْفِرَة لَهَا وَمَعَهُ الاشفاق الا يُعَاقِبهُ عَلَيْهَا


Artinya, “Orang yang beramal buruk lalu bertobat kepada Allah. Kemudian ia berharap tobatnya diterima, berharap balasan tobatnya, serta berharap ampunan dan magfirah. Selain itu, ia berharap kasih sayang Allah agar tidak menghukum dirinya.” 


Jenis orang raja yang ketiga adalah:


فَهُوَ الرجل يتمادى فِي الذُّنُوب وَفِيمَا لَا يُحِبهُ لنَفسِهِ وَلَا يحب ان يلقى الله بِهِ ويرجو الْمَغْفِرَة من غير تَوْبَة وَهُوَ مَعَ ذَلِك غير تائب مِنْهَا وَلَا مقلع عَنْهَا وَهُوَ مَعَ ذَلِك يَرْجُو


Artinya, “Orang yang bergelimang dosa dan perkara-perkara yang tak diinginkan untuk dirinya; ia juga tidak menginginkan Allah menimpakan dirinya pada perkara-perkara tersebut, namun ia masih berharap ampunan tanpa melakukan tobat. Ia tidak bertobat dari dosa yang diperbuatnya. Tidak pula melepas diri dari perbuatan dosanya. Meski demikian ia tetap berharap pada Allah.”


Disampaikan oleh al-Muhasibi, tipe orang berharap yang ketiga adalah orang yang tertipu. Harapan, cita-cita, dan keinginannya penuh dengan kepalsuan. (Lihat: al-Muhasibi, halaman 68).


Orang yang bersikap seperti ini sama dengan orang yang memutus kasih sayang Allah dari hatinya. Sebaliknya, ia terus-menerus berpaling dari-Nya. Ia tenang berada di sisi makar Allah. Ia merasa nyaman dengan penyegeraan siksaan-Nya. Makanya, ia disebut orang yang tertipu dan terpedaya.


Karena itu, di saat beramal baik atau bertobat, kita berharap rahmat, ridha dan ampunan Allah. Bahkan, di saat berbuat baik pun, mestinya kita merasa khauf (takut) jika amal baik kita ditolak atau tidak dicintai Allah. Terlebih jika kita sedang berbuat dosa dan kemaksiatan. Walhasil, khauf (takut) kita kepada Allah harus lebih besar daripada raja’ (harapan) kita. Sebab, sekalipun beramal baik, kita mengetahui apakah amal kita ada dalam rida-Nya atau murka-Nya. Wallahu ‘alam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.