Tasawuf/Akhlak

Mengenal Tasawuf Amali dan Falsafi (2)

Kam, 19 Januari 2023 | 18:00 WIB

Mengenal Tasawuf Amali dan Falsafi (2)

Orang sering mempertentangkan tasawuf falsafi da tasawuf amali yang sebenarnya tidak saling bertentangan. (Ilustrasi: reviversgaleria.com).

Seperti yang dikemukakan pada tulisan sebelumnya, tasawuf amali bertitik tolak dari ilmu yang diyakini harus diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kaidah yang dibangun di dalamnya adalah ilmu amaliah dan amal ilmiah. Nama lain dari tasawuf amali adalah tasawuf qur’ani, tasawuf sunni, tasawuf akhlaqi, dan tasawuf salafi.


Sementara tasawuf falsafi adalah tasawuf yang memadukan dua disiplin ilmu: tasawuf dan filsafat. Tasawuf menekankan unsur-unsur dzauq, yakni emosi atau rasa, sedangkan filsafat menekankan unsur ‘aql, yakni rasio atau intelek. Dalam praktikna, tasawuf menekankan olah rasa, sedangkan filsafat menekankan olah rasio. Tokoh-tokoh pengusung tasawuf falsafi ini antara lain Ibnu Sab’in, as-Sahrawardi, Ibnu ‘Arabi, al-‘Afif, al-Hallaj, dan yang lainnya.  (Lihat: Yusuf Muhammad al-Ghafish, Syarh al-Washiyah al-Kubra, juz IX, halaman 9).


Filsafat sendiri dibangun di atas empat pilar: (1) pemikiran yang mendalam hingga akar; (2) substansi atau hakikat sesuatu; (3) pemikiran yang masuk akal atau rasional; (4) pemikiran yang sistematis dan metodologis.


Keempat pilar pemikiran filsafat tersebut dipadukan dengan kecintaan kepada kebenaran, yang merupakan hasil pemikiran, kesetiaan atau loyalitas dan komitmen terhadap kebenaran. Singkatnya, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang memadukan kepekaan emosi dan kejernihan ruhani pada satu sisi dengan ketajaman pemikiran filosofis pada sisi yang lain dalam menjelaskan tema-tema tasawuf seperti konsep tentang jiwa, Tuhan, dan manusia, terutama tentang hubungan manusia dengan Allah. Dengan kata lain, tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju tingkat yang lebih tinggi. (Lihat: Alwi Syihab, Islam Sufistik, [Bandung: Mizan], 2001, halaman 120).     


Dalam tasawuf falsafi, ada beberapa tema popular yang menjadi pembahasan utama, seperti ittihad, hulul, dan wahdatul wujud yang insya Allah akan dijelaskan di sini secara singkat.


Ittihad

Secara bahasa, ittihad berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Sementara dalam istilah tasawuf, ittihad adalah pengalaman puncak spiritual sufi ketika merasa dekat dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, serta mengenal Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa ‘bersatu’ dengan-Nya. (LIhat: az-Jurjani, at-Ta’rifat, [Beirut: Darul Kutub], juz 1, halaman 8)


Salah seorang sufi yang mendapat pengalaman itttihad ini adalah Abu Yazid al-Busthami. Pengalaman ittihad yang dirasakan oleh al-Busthami diawali terlebih dahulu oleh pengalaman fana dan baqa. Secara bahasa, fana adalah ‘hancur’, lenyap,’ atau ‘hilang’, sedangkan baqa artinya ‘tetap,’ ‘kekal,’ dan ‘abadi.’


Jadi, fana merupakan keadaan spiritual seorang sufi ketika kesadaran tentang diri dan lingkungannya lenyap sementara waktu, sedangkan baqa adalah keadaan spiritual sufi ketika dirinya merasa tetap bersama Allah.


Saat mengalami fana dan baqa, Abu Yazid mendapatkan sejumlah pengalaman sebagai berikut:


Pertama, mukasyafah di mana hijab yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah menjadi tersingkap.


Kedua, dalam keadaan mukasyafah, Abu Yazid kemudian mengalami musyahadah atau menyaksikan beberapa keagungan Allah.


Ketiga, dalam keadaan musyahadah, Abu Yazid mengenal Allah secara langsung yang dalam tasawuf dikenal dengan istilah ma’rifah.


Keempat, dalam keadaan ma’rifah, Abu Yazid terpesona atas keindahan Allah hingga ia merasa kekal dengan-Nya. Hanya saja, menurut al-Ghazali, pengalaman seperti yang dialami Abu Yazid ini bisa besar bahayanya jika diterima secara mentah oleh kalangan awam yang lemah ketauhidannya. Untuk itu, perlu penjelasan yang memadai tentangnya. (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah], juz I, halaman 36).


Hulul

Secara bahasa hulul berasal dari kata kerja halla-yahullu yang berarti ‘menempati’, ‘menjelma’, atau ‘inkarnasi’. Dalam tasawuf filosofis, hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi ketika demikian dekat dengan Allah, bersahabat, mengenal, dan dikenal Allah, mencintai dan dicintai-Nya. Kemudian, Allah memilih sufi itu, menempati dirinya, dan menjelma pada diri sufi tersebut.


Dengan kata lain, ketika hulul benar-benar terjadi pada diri seorang sufi, menurut pandangan al-Hallaj sebagai salah seorang yang memperkenalkan konsep hulul, pada hakikatnya telah terjadi empat proses: (1) Tuhan turun mendekati sufi tersebut; (2) Tuhan telah memilih sufi tersebut untuk dijadikan tempat hulul; (3) Tuhan menjelma pada diri sufi; (4) Tuhan menyatu dengan sufi tersebut. (Lihat: Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta: Transpustaka, 133).


Secara filosofis, hulul dibangun atas landasan teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari perkataan ilah (tuhan) yang berarti keilahian atau ketuhanan. Kemudian nasut berasal dari kata nas (manusia) yang berarti memiliki sifat kemanusiaan. Dalam pandangan al-Hallaj, Tuhan memiliki lahut dan nasut. Demikian pula manusia memiliki lahut dan nasut. Lahut Tuhan adalah zat Allah yang ghaibul ghuyub, sedangkan nasut Tuhan adalah roh Allah yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Lahut manusia adalah roh Allah yang ditiupkan kepada manusia; sedangkan nasut manusia ialah sifat kemanusiaan manusia. (Lihat: Abdul Aziz bin Hamd, Minhatul-Qarib al-Mujib, juz I, halaman 158).


Masih menurut al-Hallaj, hulul dimungkinkan terjadi di antara nasut Allah dengan lahut manusia, yakni antara roh Allah dengan ruh manusia, karena roh manusia berasal dari roh Allah, sebagaimana dalam Al-Quran:


فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ


Artinya, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, menghormati Adam," (QS. al-Hijr [15]: 29).


Wahdatul Wujud

Wahdatul wujud terdiri dari dua kata, yakni wahdat dan al-wujud. Secara bahasa wahdat berarti satu atau kesatuan, sedangkan al-wujud berarti wujud atau keberadaan. Jadi, wahdatul wujud secara bahasa adalah kesatuan wujud. Wahdatul wujud merupakan hasil dari perenungan tasawuf Ibnu ‘Arabi tentang wujud Allah dalam hubungannya dengan wujud alam. Pada tataran hakikat, wujud alam itu tidak ada, karena yang ada hanya wujud Allah. Dengan demikian, hakikat alam itu tidak ada (‘adam), karena wujud alam tergantung pada wujud Allah. Sekalipun disebut ada, wujud alam bersifat nisbi, sedangkan wujud Allah bersifat mutlak atau absolut. (Lihat: Misykatul Anwar, juz I, halaman 14).


Hanya saja, konsep wahdatul wujud ini diperdebatkan di kalangan para ulama tauhid yang meyakini bahwa Allah memiliki wujud dan alam juga memiliki wujud. Dengan kata lain, wujud Allah dengan wujud alam bukan satu wujud. Namun demikian, ulama tauhid sepakat bahwa wujud Allah itu absolut, sementara wujud alam itu nisbi, artinya ada karena ada yang mengadakan. Wallahu ’alam.


Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.