Tasawuf/Akhlak

Asal-usul Istilah Tasawuf 

Sel, 20 September 2022 | 19:00 WIB

Asal-usul Istilah Tasawuf 

Tasawuf berasal dari shaff  yang berarti ‘barisan’, sekaligus barisan dalam arti persaudaraan dan solidaritas mereka. (Ilustrasi: reviversgalleria.com)

Pengetian tasawuf dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari sudut pandang asal-usul kata atau etimologi, dan kedua dari sudut pandang terminologi. Dari sudut pandang etimologi, menurut guru besar tasawuf UIN Jakarta, Prof. Asep Usman Ismail, istilah tasawuf berasal dari salah satu atau perpaduan beberapa teori berikut. 


Pertama, istilah tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti suci, bersih, jernih, atau bening. Teori ini didasarkan pada prinsip bahwa esensi tasawuf terletak pada usaha, perjuangan, dan proses menyucikan batin, jiwa, atau nafs, bahkan kesucian jiwa itu sendiri merupakan salah satu tujuan bertawasuf. (Lihat: Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta: Transpustaka, 66-70). 


Kedua, istilah tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti ‘barisan’. Teori ini dilandaskan pada dua fenomena kehidupan para sufi. Yang pertama kehidupan para sufi yang senantiasa datang lebih awal dan memilih barisan pertama dalam shalat berjamaah. Para sufi bukan hanya shalat wajib, tetapi mewajibkan diri melakukan shalat wajib berjamaah di masjid.


Kedisiplinan mereka memperhatikan tempat, waktu, dan cara shalat wajib mendorong mereka datang paling awal dan menempati barisan terdepan. Dari sini muncul teori etimologi yang menyimpulkan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shaff  yang berarti ‘barisan’, sekaligus barisan dalam arti persaudaraan, solidaritas, kedisiplinan, dan keteraturan di antara mereka. Keteraturan dalam diri mereka itu salah satunya dilandasi oleh firman Allah yang mengatakan: 


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ


Artinya,“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. Mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang terususun kokoh,” (QS. QS Ash-Shaff [61]: 4).


Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata shafwah  yang berarti ‘pilihan’. Teori etimologi ini berdasarkan keyakinan para pengamat bahwa para sufi diyakini sebagai kelompok orang-orang terpilih di antara hamba-hamba Allah karena kesucian jiwa dan kedekatan mereka dengan Sang Pencipta.


Dengan kesucian dan kedekatannya itu, para sufi memiliki kekuatan spiritual untuk menjalani hidup tulus, ikhlas, pasrah, dan berserah kepada Sang Khaliq. Mereka menjadi teladan dan panutan umat. 


Keempat, istilah tasawuf berasal dari kata shuffah  yang secara bahasa berarti tempat duduk yang terbuat dari kayu atau batu. Teori ini mendasarkan pandangannya pada fakta sejarah peradaban Islam pada masa Nabi Muhammad saw. terutama berkenaan dengan Masjid Nabawi di Madinah.


Di masjid ini ada kelompok yang disebut dengan Ahlu-Shuffah, yaitu para sahabat yang kehilangan harta dan keluarga, tetapi tekun beribadah, hidup sederhana dan tidur di atas shuffah. Tujuan mereka tidur di atas shuffah agar tidak terlalu nyenyak dan mudah bangun untuk bertahajud serta mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Kehidupan mereka digambarkan dalam salah satu ayat Al-Quran: 


تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ


Artinya,“Lambung mereka jauh dari tempat tidur, mereka berdoa kepada Tuhannya, dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,” (QS. as-Sajdah [32]: 16). 


Selain sebagai kelompok papa, mereka juga senantiasa hidup sederhana dan menjaga kehormatan diri dari meminta-minta. Hidup mereka justru dijamin oleh uang negara yang diambil dari dana umat. Kehidupan mereka inilah disebutkan para pengamat tasawuf sebagai embrio kehidupan para sufi. 


Kelima, istilah tasawuf berasal dari kata theosofi yang berasal dari bahasa Yunani theo yang berarti ‘tuhan’ dan shopos yang berarti ‘hikmah’. Jadi theosofi berarti hikmah ilahihah atau kearifan tuhan. Teori ini dikemukakan oleh G.V.H. Hammar dan Jurji Zaidan. Menurut keduanya, ada hubungan antara istilah tasawuf dalam Arab dengan istilah theosofi dalam bahasa Yunani, yakni sama-sama membicarakan tentang manusia yang merindukan kearifan Tuhan. 


Keenam, kata tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti ‘bulu domba’. Teori ini didasarkan pada peristiwa sejarah awal abad kedua di Timur Tengah. Para petapa dari kalangan Yahudi dan Nasrani biasa memakai pakaian dari bulu domba atau wol kasar yang dijadikan mantel atau jubah. Pakaian ini bermakna simbolik dari kefakiran, kerendahan hati, dan kesederhanaan. Yang menggunakan pakaian itu ada yang berasal dari kalangan miskin, ada pula dari kalangan berada.


Sikap mereka ini kemudian menjadi inspirasi gerakan asketis atau zuhud yang digagas oleh Hasan al-Bashri. Bahkan, gerakan zuhud sendiri digagas Hasan al-Bashri di Bashrah sebagai upaya protes terhadap kemewahan penguasa bani Umayah di Damaskus. Para penguasa diharapkan bisa sadar untuk kembali meneladani akhlak Rasulullah dan para sahabat. Jauh dari tindakan korup dan memiliki semangat keislaman yang kuat. 


Hasilnya, gerakan zuhud cukup berhasil menyadarkan kaum Muslimin dari bahaya hidup mewah, tetapi menurut Asep Usman, gerakan ini terlanjur dikenal sebagai gerakan menolak dunia. Pakaian wol yang menunjukkan kesederhanaan terkadung memberi kesan bahwa tasawuf adalah gerakan spiritual yang menjauhi kekuasaan dan kemewahan. Padahal, gerakan zuhud merupakan awal perkembangan tasawuf. 


Tasawuf sendiri bukan berarti menolak dunia, melainkan menyadarkan manusia bahwa dunia adalah modal atau bekal hidup di akhirat. Kehidupan yang kekal bukan di dunia, tetapi di akhirat. Karena itu, jangan sampai salah menadang dunia. Sebab, dunia bukan akhirat dari kehidupan, tetapi sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dan abadi. 


Demikianlah beberapa teori tentang asal-usul istilah tasawuf. Wallahu ‘alam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.