Tasawuf/Akhlak

Cara Membedakan Hati yang Sehat dan yang Sakit

Sel, 24 Maret 2020 | 02:00 WIB

Cara Membedakan Hati yang Sehat dan yang Sakit

Diagosalah diri sendiri, masuk kategori manakah hati kita?

Hati seorang hamba terkadang sehat, sakit, sakit parah, bahkan mati. Parahnya lagi, sakit dan matinya hati adakalanya tidak diketahui pemiliknya. Itu akibat si pemilik tidak tahu tanda-tanda sehat, sakit, dan matinya. Maka dari itu, penting sekali kita mengetahui tanda-tanda tersebut.

 

Adapun dalil sehat, sakit, dan matinya adalah sebagai berikut:

 

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (sehat), (QS Asy-Syu‘ara [26]: 88-89).

 

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta, (QS Al-Baqarah [2]: 10).

 

Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat, (QS Al-Baqarah [2]: 7).

 

Ketahuilah, hati yang sakit tak akan merasakan perihnya kemaksiatan, tak menyadari pedihnya kebodohan, dan tak menghiraukan batilnya aqidah. Tak hanya itu, hati yang sakit begitu “alergi” terhadap pahitnya obat. Sehingga ia lebih memilih bertahannya penyakit dibanding dengan pahitnya obat.

 

Sebaliknya, hati yang sehat akan merasakan sakitnya hal-hal tercela yang datang kepadanya, menyadari pedihnya kebodohan, dan mendeteksi penyakit dan aqidah yang batil. Sebaliknya, hati yang sehat adalah hati yang mudah menerima obat dan berusaha menyingkirkan penyakit.

 

Selanjutnya, di antara tanda-tanda hati yang sakit adalah berpaling dari makanan yang bermanfaat kepada makanan yang membahayakan, dari obat yang menyehatkan kepada obat yang mencelakakan. Sebaliknya, hati yang sehat adalah hati yang mementingkan obat yang menyehatkan walaupun pahit daripada harus bertahan dalam perihnya penyakit. Sesungguhnya, sebaik-baiknya makanan bagi hati adalah keimanan, dan sebaik-baiknya obat adalah Al-Qur’an.

 

 

Tanda hati yang sehat berikutnya adalah bergerak meninggalkan dunia dan menuju akhirat. Walau tinggal di dunia, ia menempatkan diri sebagai ahli dan peraih akhirat. Sementara di dunia, ia tinggal seperti yang asing. Mengambil dunia hanya sekadar memenuhi kebutuhan, bukan memenuhi keinginan, lalu bersiap kembali kepada negeri kepulangan yang abadi. Hal ini sesuai dengan tutur ucap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil memegangi bagian tubuhnya:

 

يَا عَبْدَ اللَّهِ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ، وَاعْدُدْ نَفْسَكَ مَعَ الْمَوْتَى

 

Artinya, “Wahai Abdullah, jadilah kalian di dunia seperti orang asing atau seperti orang yang melintasi perjalanan. Lalu persiapkanlah dirimu menghadap kematian!” (HR. Ahmad).

 

Sebaliknya, hati yang sakit adalah hati yang mementingkan urusan dunia, mengikuti keinginan nafsu, lupa akhirat saking betahnya di dunia, sehingga seolah-olah akan terus hidup di dunia selamanya.

 

Kemudian, tanda hati yang sehat adalah selalu mengingatkan pemiliknya, hingga berpulang kepada Allah, rendah hati di hadapan-Nya, bergantung kepadanya seperti bergantungnya seorang pecinta kepada kekasihnya. Dengan mencintainya, dia merasa tak perlu mencintai kepada yang lain, tak perlu mengingat yang lain, tak perlu melayani yang lain. Kendati harus mencintai, mengingat, dan melayani sesuatu, maka dia mencinta, mengingat, dan melayani karena Allah.

 

Tanda hati yang sehat berikutnya adalah ketika melewatkan satu kebaikan atau satu ketaatan, ia akan menyesal melebihi penyesalan karena melewatkan dan kehilangan harta.

 

Hati yang sehat juga selalu merindukan kebaikan dan kemuliaan akhirat layaknya orang yang lapar dan haus merindukan makanan dan minuman. Ia merasa senang saat mengabdi dan melayani Allah. Sehingga apa pun yang datang dari-Nya, selalu diterimanya dengan sabar dan penghambaan.

 

Kaitan dengan ini, Yahya ibn Mu‘adz pernah berkata, “Orang yang senang melayani Allah, maka apa pun dan siapa pun akan senang melayaninya. Orang yang senang hatinya dengan Allah, maka segala sesuatu akan senang melihat kepadanya.”

 

Selain itu, perhatian hati yang sehat hanya satu, yaitu selalu bersama Allah dalam ketaatan. Takut kehilangan waktu bersama-Nya. Ia takut waktunya terbuang percuma.

 

Tatkala datang waktu shalat, hilanglah perhatiannya terhadap dunia karena ingin segera memasuki ketenangan, kenikmatan, dan kekhusyuan di dalamnnya. Tidak pernah lalai mengingat Allah, tidak pernah bosan menghamba kepada-Nya, tidak pernah bersahabat kecuali dengan orang yang mampu menunjukkan dan mengingatkan dirinya kepada Allah.

 

Perhatiannya tertuju kepada cara memperbaiki amal dan menunaikan sebaik-baiknya amal. Setelah itu, ia menyusulnya dengan keikhlasan di dalamnya. Tidak pernah sungkan meminta nasihat. Tak ragu berbuat baik dan taklid kepada orang-orang saleh. Ia melihat segala sesuatu sebagai pemberian dan karunia Allah, sementara melihat dirinya penuh dengan kelalaian dalam memenuhi hak-hak-Nya.

 

Adapun perkara yang merusak kesehatan hati setidaknya ada empat: banyak bicara yang tak berguna, banyak melihat yang tidak halal, banyak makan walaupun makanan yang halal, dan banyak bergaul dengan lingkungan yang tidak baik.

 

Sementara perkara yang dapat menghidupkan dan menyehatkan hati adalah membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, bershalawat, memperbanyak istigfar, menunaikan shalat malam, banyak bergaul dengan orang-orang saleh, dan sebagainya. (Lihat: Syekh Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafsi, [Al-Iskandariyyah: Darul ‘Aqidah], 1993, hal. 21-46).

 

Penulis: M. Tatam

Editor: Mahbib