Tasawuf/Akhlak

Larangan Memotong Pembicaraan Orang Lain

Rab, 9 Oktober 2019 | 14:15 WIB

Larangan Memotong Pembicaraan Orang Lain

Dalam berkomunikasi, ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan.

Bagian dari adab berbicara adalah tidak memotong pembicaraan orang lain tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitab beliau berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 83) sebagai berikut:
 
 واصغ إلى حديث من حدثك ولا تقطعن على أحد كلامه إلا إن كان من الكلام الذي يسخط الله كالغيبة، واحذر المداخلة في الكلام، ولا تظهر لمن حدثك حديثاً تعرفه أنك تعرفه؛ فإن ذلك مما يوحش الجليس، وإذا حدثك إنسان بكلام أو حكى لك حكاية على غير الوجه المنقول فلا تقل له ليس كما تقول ولكنه كذا وكذا، فإن تعلق ذلك بأمر الدين فعرفه الصواب برفق. 
 
Artinya,”Dengarkan orang lain yang berbicara kepadamu, dan jangan sekali-kali kamu putus pembicaraan itu, kecuali mengandung ucapan yang mendatangkan murka Allah, seperti ghibah (menggunjing), misalnya. Apabila seseorang sedang membicarakan sesuatu padamu, sedangkan engkau telah mengetahuinya sebelumnya, ,jangan tunjukkan bahwa engkau telah mengetahuinya. Yang demikian itu dapat membuatnya tersinggung. Ketika seseorang berbicara kepadamu tentang hal yang tidak sebenarnya, janganlah engkau mengatakan padanya: ’Berita itu tidak seperti yang engkau katakan, tetapi “begini”... dan “begini”... Dan jika berita itu berkaitan dengan masalah keagamaan, tunjukkan kepadanya bagaimana sebenarnya secara halus sehingga tidak menyinggung perasaannya.”
 
Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
 
Pertama, memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara kepada kita tidak dibenarkan. Setiap orang memilki hak untuk didengarkan sehingga hak dia untuk berbicara tidak bisa dipangkas begitu saja tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan secara syar’i seperti menggunjing. Menggunjing dilarang di dalam ajaran Islam. Al-Qur’an mengibaratkan menggunjing orang lain sebagai memakan bangkai saudaranya sendiri yang telah mati sebagaimana disebutkan dalam penggalan Surat al-Hujurat, ayat 12, berikut ini:
 
.وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمُ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَنْ يَأكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
 
Artinya,”Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan merasa jijik.”
 
Namun demikian, memotong pembicaraan orang lain bisa saja diperbolehkan meskipun ia tidak menggunjing asalkan sebelumnya sudah mengajukan izin dan diberikan. Sebagai contoh, seorang murid bermaksud menyela pembicaraan guru karena ada sesuatu yang ingin ditanyakan dengan sebelumnya memohon maaf. Jika guru memberikan ijin, maka apa yang dilakukan murid tersebut tidak salah. 
 
Kedua, kita hendaknya tidak menghentikan pembicaraan seseorang hanya karena kita sudah tahu apa yang akan dia ceritakan. Misalnya seseorang bercerita tentang megahnya bangunan Masjid Istiqlal di Jakarta. Kita tidak berminat mendengarkan cerita itu karena kita sendiri sudah pernah berkunjung ke sana. Lalu kita memintanya berhenti bercerita tentang Masjid Istiqlal. Sikap demikian tidak baik atau tercela karena bisa membuat orang yang bercerita itu menjadi malu dan bahkan mungkin tersinggung.
 
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: 
 
إذا قلتَ للناسِ أَنصِتوا و هم يتكلَّمون ، فقد ألْغَيْتَ على نفسِك
 
Artinya,“Jika engkau mengatakan ‘diamlah!’ kepada orang-orang ketika mereka tengah berbicara, sungguh engkau mencela dirimu sendiri” (HR. Ahmad).
 
Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan toleransi dan apresiasi terhadap orang lain dengan membiarkannya bercerita sesuai dengan apa yang dia ketahui. Jangan-jangan apa yang kita ketahui tentang Masjid Istiqlal di Jakarta sudah berbeda keadaannya dengan apa yang dia ceritakan. Justru di sinilah kita bisa memberikan tanggapan tentang masjid terbesar se Asia Tenggara itu sesuai yang kita ketahui sehingga memunculkan diskusi menarik bagi kedua belah pihak. 
 
 
Ketiga, jika seseorang bercerita kepada kita tentang suatu peristiwa tidak persis sama dengan keadaan yang sebenarnya, kita tidak harus melakukan penyangkalan secara frontal. Hal ini berlaku untuk hal-hal yang memang tidak prinsipil. Misalnya, seseorang bercerita tentang sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jalan Sudirman antara sebuah sepeda motor dan sebuah mobil. Lalu ia mengatakan peristiwa itu terjadi pada jam 09.00 pagi. 
 
Kebetulan kita juga mengetahui peristiwa itu dan tahu persis pada pukul berapa kecelakaan itu terjadi. Jika kita tahu bahwa peristiwa itu terjadi pada pukul 09.10, kita tidak perlu secara frontal apalagi marah-marah menyangkal soal waktu kejadian sebab secara substansial pukul 09.00 dan pukul 09.10 adalah sama, yakni pagi hari. Apalagi jika orang yang bercerita itu lebih menekankan tentang peristiwanya dan bukan tentang waktu kejadiannya serta tidak ada maksud berbohong, maka hal yang tidak prinsipil ini bisa kita toleransi.
 
Lain persoalannya dengan hal-hal penting yang menyangkut urusan keagamaan, seperti fiqih. Jika ada seseorang mengatakan kepada kita bahwa shalat Shubuh bisa dilakukan sebanyak 1 rakaat, maka kita harus meluruskan dengan mengatakan hal yang sebenarnya karena ini menyangkut sesuatu yang haq dan bersifat qath’i. Kita harus memberikan tanggapan kepada orang itu secara baik dan bijak bahwa jumlah rakaat Shubuh adalah 2 saja, tidak bisa lebih dan tidak bisa kurang karena shalat di pagi hari ini tidak bisa diringkas (qashar) sebagaimana shalat Maghrib. 
 
Dalam kaitan dengan hoaks, jika seseorang bercerita tentang suatu peristiwa yang kita tahu itu tidak benar sama sekali dan sangat membahayakan kerukunan dan perdamaian bersama, maka kita pun harus menyampaikan bahwa hal itu hanyalah hoaks dan memintanya untuk tidak menyebarkannya. Hoaks bisa sama dengan fitnah. 
 
Ketiga poin di atas merupakan adab berbicara sebagaimana dinasihatkan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Intinya adalah dalam berkomunikasi secara lisan dengan orang lain ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan tanpa memotong pembicaraan pihak lawan bicara kecuali dalam hal-hal yang memang dibenarkan secara syar’i. 
 
 
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Unversitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.