Syariah

Adab Berwisata Religi ke Masjid Megah

Sen, 30 Januari 2023 | 18:00 WIB

Adab Berwisata Religi ke Masjid Megah

Masjid megah. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Belakang ini sedang ramai orang berwisata religi ke masjid megah. Namun, sepertinya tak disadari bahwa mereka sedang berwisata ke masjid. Sehingga tak sedikit dari mereka yang melupakan kehormatannya.


Bahkan, ada yang berani yang berperilaku yang tak selayaknya dilakukan di masjid. Pertanyaannya, bagaimana seorang Muslim menjaga kehormatan masjid yang menjadi tempat wisata? Bagaimana adab memasuki masjid?


masjid merupakan tempat yang dimuliakan Allah dan dikhususkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia termasuk syiar-Nya yang dibangun atas dasar takwa dan harus selalu dimakmurkan oleh orang-orang yang beriman. Belakangan, cukup banyak masjid yang dibangun dengan megah, sehingga menarik banyak pengunjung. 


Pada dasarnya, membangun masjid adalah hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan selama memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, seperti dibangun sebagai sarana beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai sarana bisnis atau komersil, bersumber dari dana yang halal, menghadap kiblat, didasari oleh ketakwaan kepada Allah, ikhlas mengharap ridha-Nya, berdiri—sebaiknya—di atas tanah wakaf, setelah berdiri dijaga kehormatannya, dan seterusnya.


Kemudian, berkunjung atau berwisata ke masjid megah tentu dipandang mubah, bahkan baik selama diiringi niat memakmurkan masjid yang dikunjungi, serta tidak lalai menjaga hak-hak dan kehormatannya.


Kendati ada suatu hadits yang melarang bepergian selain kepada tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa, menurut An-Nawawi dan jumhur ulama, bukan berarti bepergian selain ke tiga masjid itu diharamkan, tapi justru menunjukkan keutamaan tiga masjid tersebut.


Selain niat memakmurkan masjid, pengunjung masjid tentunya harus tetap menjaga kehormatan dan kesucian masjid sebagai “rumah” Allah.  Tidak ada salahnya menikmati keindahan dan kemegahan masjid, namun niat beribadah dan meraih keutamaan-keutamaan beribadah di masjid, juga tidak kalah penting.


Oleh sebab itu, Rasulullah saw. telah memberikan sejumlah tuntunan bagaimana cara menghormati dan menjaga kesucian masjid, mulai dari masuk, saat berada di dalam, hingga keluar lagi dari masjid.


1. Sebelum masuk masjid, hendaknya kita sudah dalam keadaan bersih dari hadas, najis, dan kotoran, baik yang melekat pada badan, pakaian, maupun mulut.


2. Sebaiknya mempergunakan pakaian yang bersih, putih, bagus, sopan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,” (Q.S. al-A’raf [7]: 31).


Apabila tidak ada pakaian putih, maka kenakanlah pakaian polos, tidak bertulisan, dan tak bercorak karena dikhawatirkan bisa mengurangi kekhusyukan shalat orang yang melihatnya.


Sayangnya ketika niat berwisata, anjuran ini seringkali terabaikan. Namun setidaknya pengunjung bisa memahami bahwa tempat yang dikunjunginya adalah masjid alias “rumah” Allah. Sehingga, ia diharuskan mengenakan pakaian yang sopan dan memelihara aurat.


3. Saat memasuki masjid sebaiknya menggunakan wewangian dan menghindari sebelumnya makan makanan yang beraroma tidak sedap, seperti petai, jengkol, bawang dan sebagainya. Rasulullah saw pernah menyatakan dalam salah satu hadisnya, “Siapa saja yang makan pohon (tanaman) ini, maka janganlah dia mendatangi masjid.” Maksudnya adalah bawang putih.


4. Saat akan memasuki masjid, hendaknya mendahulukan kaki kanan seraya membaca doa berikut:


بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ


Artinya, “ Dengan menyebut asma Allah, salam sejahtera semoga tetap terlimpah kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu rahmat untukku.”


Sementara, pada saat akan keluar, hendaknya mendahulukan kaki kiri sambil membaca doa berikut:


بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ


Artinya, “Dengan menyebut asma Allah, salam sejahtera semoga tetap terlimpah kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu rahmat untukku.”


5. Berniatlah untuk itikaf atau berdiam diri di masjid dan semata-mata mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai sebuah ibadah, tentunya tidak sah apabila tidak diniati. Maka, begitu masuk masjid, hendaknya kita langsung berniat itikaf.


نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى


Artinya, “Aku berniat itikaf di masjid ini karena Allah.”


6. Setelah berniat itikaf, hendaknya kita tidak langsung duduk kecuali setelah menunaikan dua rakaat tahiyyatul masjid. Namun, bila kita dalam keadaan tidak berwudhu, atau dalam keadaan berwudhu, tetapi tidak sempat menunaikannya karena, maka cukuplah membaca empat kalimat berikut ini:


سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ


Kalimat itu dibaca tiga kali atau empat kali. Keutamaan membaca keempatnya menandingi dua rakaat shalat sunat. Walhasil, setelah berada di masjid, meskipun termasuk masjid wisata, kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Justru, manfaatkanlah kesempatan sebaik-baiknya dengan berbagai amaliah ibadah, baik yang fardu maupun yang sunat, seperti berdoa, berzikir, bertafakur, membaca Al-Quran, dan sebagainya. (Lihat: Abu Thalib al-Maki, Qutul Qulub, Beirut: Darul-Kutub], 2005, halaman 45).


7. Tidak mengotori masjid, seperti membuang sampah, ludah, dahak, dan sejenisnya. Bahkan, larangan orang yang junub berdiam di masjid atau larangan wanita haid atau nifas berdiam atau melintas di masjid—dalam pandangan as-Syafi’i—salah satunya untuk menghormati dan menjaga kesucian masjid.


Memang tidak ada larangan makan di dalam masjid selama mampu menjaga kebersihannya. Namun, sekiranya bisa mengotori dan mengurangi kehormatan masjid, maka makannya jauh di luar area masjid saja.


8. Saat berada di masjid atau di lingkungan masjid, jagalah sikap yang tak terpuji, seperti berkata kasar, berteriak, bersenda gurau, sibuk bermain telepon seluler yang tidak ada hubungannya dengan ibadah, dan sebagainya. Jangankan bicara bertindak tak pantas, berbicara urusan dunia, urusan dagang. Termasuk berbicara urusan barang yang hilang pun oleh Rasulullah saw dilarang, bahkan pelakunya didoakan tidak mendapat keuntungan.


Terlebih jika pengunjung menyamakan masjid wisata seperti tempat wisata pada umumnya, sehingga merasa tidak merasa bersalah walaupun bersuara keras, teriak-teriak, menyalakan musik, menari, dan sejenisnya. Hal itu tentu sudah keluar dari etika orang yang ada di masjid.


9. Setelah kita kembali berada di luar masjid, hati kita hendaknya selalu bergantung padanya. Sebab, di antara tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari Kiamat. (Lihat: As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, [Damaskus: Daru Ibni Katsir], 2000, halaman 93).


Demikianlah jawaban Kami mengenai adab menjaga kehormatan masjid, baik masjid secara umum maupun masjid megah yang banyak dikunjungi masyarakat. Wallahu ‘alam. 


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.