Bahtsul Masail

Hukum Membuat Tempat Parkir di Lantai Bawah Masjid 

Rab, 28 Desember 2022 | 20:00 WIB

Hukum Membuat Tempat Parkir di Lantai Bawah Masjid 

Tempat parkir di halaman basement masjid dikaji secara fiqih. (Ilustrasi: nu online/freepik).

Assalamu 'alaikum wr wb.

Mohon bertanya kepada Redaktur NU Online tentang renovasi masjid. Kebetulan masjid di tempat kami ada di pinggir jalan raya dan membutuhkan tempat parkir, mengingat banyak orang yang singgah shalat di masjid kami. Keterbatasan tanah masjid menjadi kendala.


Lalu muncul ide untuk merenovasi masjid dengan menggali tanah masjid untuk dijadikan area parkir. Namun demikian sampai sekarang masih terjadi silang pendapat atas ide ini dari sisi hukum fiqihnya. Bolehkah hal itu dilakukan atau tidak? Terimakasih sebelumnya. Wassalamu 'alaikum wr wb. (Ahmad Muarif - Kebumen)


Jawaban

Wa'alaikumus salam wr wb.

Penanya yang terhormat, merenovasi masjid merupakan perbuatan yang sangat baik karena akan membuat masjid menjadi lebih baik dan lebih nyaman digunakan beribadah bagi para jamaah. Terlebih masjid di pinggir jalan raya yang juga jadi persinggahan orang-orang yang lewat. 


Namun demikian, mengingat bangunan masjid biasanya merupakan amal jariyah dari para jamaah, maka hendaknya sisi keberlangsungan jariyah ini juga perlu diperhatikan. Rasulullah saw bersabda:


إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقةٍ جَاريَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ


Artinya, “Ketika manusia mati maka amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).


Dari hadits ini dipahami bahwa wakaf, tidak hanya masjid, tidak boleh dipindahmilikkan, baik dengan cara dihibahkan, dijual, maupun diubah-ubah bentuknya. Karenanya para ulama memberi 3 syarat ketat untuk pengubahan bentuk fisik wakaf, yaitu:

1. pengubahannya hanya sedikit sehingga tidak mengubah nama aslinya;


2. tanpa menghilangkan wujud barang wakaf sedikitpun, hanya memindah satu bagian ke bagian lain; dan


3. dalam pengubahan fisik wakat terdapat kemasalahatan yang kembali padanya. (Abu Bakar ibn Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiyah I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 179). 


Demikian ditegaskan oleh Imam As-Subki yang diamini oleh para ulama mazhab Syafi'i lainnya, meskipun ada pula ulama lain yang membolehkan renovasi masjid secara mutlak tanpa syarat-syarat tersebut, seperti Imam Ibnu 'Ujail dan Imam Abu Syukail. 


ومن القائلين بالجواز العلامة (أحمد بن حجر الهيتمي) فقد استظهر في فتاويه رأي القائلين بجواز تغيير الوقف للمصلحة حيث بقي الإسم ونقل مثله عــن الخادم وابن الرفعة والقفال. ومنهم الإمام إبن عجيل والإمام أبو شكيل فقد أطلقا الجواز ولم يقيداه بشيء بل نقل بعضهم عنهما عدم التقييد 


Artinya, “Di antara ulama yang membolehkan renovasi wakaf adalah Al-'Allamah Ahmad bin Hajar Al-Haitami, yang dalam kitab kumpulan fatwanya menilai kuat pendapat ulama yang membolehkan pengubahan fisik barang wakaf secara karena kemaslahatan sekira tidak berubah nama. Pendapat serupa juga dikutip dari kitab Al-Khadim, Ibnur Rif'ah dan Imam Al-Qaffal. Di antara ulama yang membolehkan ada Imam Ibnu 'Ujail dan Imam Abu Syukail. Mereka berdua membolehkannya secara mutlak tanpa membatasinya dengan syarat apapun. Bahkan sebagian ulama mengutip keterangan dari mereka berdua hal itu diperbolehkan tanpa harus memenuhi syarat-syarat tersebut.” (Alawi bin Abdillah bin Husain, An-Nashul Warid fi Hukmi Tajdidil Masajid, halaman 13.)


Pendapat Sandingan dari Mazhab Hanbali

Berkaitan dengan pertanyaan, bolehkah merenovasi masjid dengan menggali tanah 


masjid untuk dijadikan area parkir, ada kasus serupa yang dibahas dalam mazhab Hanbali. Yaitu pendapat Imam Ahmad yang diriwayatkan Abu Dawud tentang masjid yang jamaahnya menginginkan merenovasinya ke atas, sedangkan bagian bawah dijadikan, tempat penampungan air dan pertokoan, namun sebagian yang jamaah lain menolaknya. Maka dalam hal ini yang dimenangkan adalah suara mayoritas jamaah. 


Dalam kasus ini ulama mazhab Hanbali berbeda pemahaman, (1) apakah yang dimaksud Imam Ahmad adalah masjid yang sedang akan dibangun dan para jamaah berbeda pendapat mau dibangun bagaimana; (2) atau memang masjid yang sudah terbangun dan para jamaah hendak merenovasinya? 


Al-Qadhi Abu Ya'la (wafat 458 H) menyatakan bahwa maksudnya adalah masjid yang baru akan dibangun dimana para jamaahnya menginginkan bangunan masjid ditinggikan dari tanah dan bawahnya dibuat penampungan air untuk keperluan mereka. 


Menurut Ibnu Qudamah, pendapat ini adalah lebih sahih, lebih benar, meskipun sekilas tidak sesuai dengan lahiriah riwayat pendapat Imam Ahmad. Sebab, masjid tidak boleh dipindah, diganti-ganti, dijual, dijadikan tempat penampungan air, dan pertokoan, kecuali memang masjid tersebut sudah tidak bisa digunakan. Kebutuhan tempat penampungan air dan pertokoan tidak boleh mengganggu fungsi masjid. Maka masjid tidak boleh direnovasi  untuk kepentingan seperti itu.


Andaikan boleh menjadikan bagian bawah masjid menjadi tempat penampungan air atau pertokoan karena kebutuhan para jamaah ini, maka semestinya boleh juga merobohkan masjid dan mengubahnya menjadi tempat penampungan air dan pertokoan dan mengganti atau masjid ke tempat lain. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Beirut, Darul Fik: 1405 H), juz VI, halaman 254).


Namun begitu, menurut Syekh Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi (wafat 772 H), pendapat Al-Qadhi Abu Ya'la dan ulama semisal yang menyatakan kasus itu dalam masjid yang baru mau dibangun, adalah pendapat yang terlalu jauh dari teks riwayat Imam Ahmad. Syekh Az-Zarkasyi menegaskan:


وحمل كلام أحمد على مسجد أراد أهله إنشاءه ابتداء، واختلفوا كيف يعمل. وفي هذا التأويل بعد من اللفظ.


Artinya, “Dan Al-Qadhi Abu Ya'la mengarahkan ucapan Imam Ahmad pada kasus masjid yang baru mau dibangun oleh para jamaahnya dan mereka berbeda pendapat dalam membangunnya. Pemahaman seperti ini jauh dari redaksi tekstual ucapan Imam Ahmad.” (Alawi bin Abdillah bin Husain, An-Nashul Warid fi Hukmi Tajdidil Masajid, halaman 13.)


Simpulan, walhasil, apakah boleh merenovasi masjid dengan menggali tanah masjid untuk dijadikan area parkir?


Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Bila kita mengikuti pendapat yang membolehkan, itu pun harus disertai sikap kehati-hatian agar amal jariyah jamaah terdahulu dari masjid yang akan direnovasi tetap terjaga keberlangsungannya.


Selain itu, musyawarah mufakat atau suara mayoritas jamaah harus diperhatikan secara bijak dalam mengambil keputusan untuk merenovasi masjid. Wallahu a'lam.


Demikian jawaban ini, kami sampaikan. Semoga bermanfaat. 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online