Syariah

Aturan Fiqih ketika Kita Meragukan Kesucian Air

Rab, 8 November 2017 | 01:30 WIB

Aturan Fiqih ketika Kita Meragukan Kesucian Air

Ilustrasi (via Pepperrr.net)

Di dalam fiqih air merupakan sarana utama dalam melakukan akitivitas thaharah atau bersuci. Pun air menjadi sarana yang sangat penting dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari seperti minum, mencuci, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Hanya saja untuk kebutuhan-kebutuhan itu fiqih mengatur diharuskannya menggunakan air yang jelas kesuciannya.
 
Tidak jarang dalam keseharian ketika menggunakan air—terlebih bagi mereka yang benar-benar memperhatikan hukum fiqih—ada keragu-raguan di dalam hati perihal apakah air yang akan dipakai benar-benar dalam keadaan suci atau sudah menjadi najis karena satu dan lain hal.
 
Abu Ishak As-Syairozi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sempat menuliskan permasalahan ini berikut keputusan hukumnya. Beliau menuturkan empat perilaku orang ketika berhadapan dengan air berkaitan dengan keyakinannya perihal suci tidaknya air yang akan ia gunakan. Beliau menyebutkan:
 
إذا تيقن طهارة الماء وشك في نجاسته توضأ به لأن الأصل بقاؤه على الطهارةوإن تيقن نجاسته وشك في طهارته لم يتوضأ به لأن الأصل بقاؤه على النجاسة وإن لم يتيقن طهارته ولا نجاسته توضأ به لأن الأصل طهارته فإن وجده متغيراً ولم يعلم بأي شيء تغير توضأ به لأنه يجوز ان يكون تغيره بطول المكث  
 
Artinya: “Bila seseorang meyakini sucinya air dan meragukan kenajisannya maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asal air itu adalah tetap pada kesuciannya. Bila ia meyakini najisnya air dan meragukan kesuciannya maka ia tidak bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asal air itu adalah tetap pada kenajisannya. Sedangkan bila ia tidak meyakini kesucian dan juga najisnya air maka ia bisa berwudlu dengan air tersebut karena hukum asal air itu adalah suci. Dan bila ia menemukan air telah berubah sifatnya namun tidak mengetahui apa yang menyebabkan perubahan tersebut maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena bisa jadi perubahan itu dikarenakan lamanya air itu berdiam. (lihat Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, (Beirut: Darul Fikr, 2005), juz 1, hal. 14).
 
Apa yang disampaikan As-Syairazi di atas oleh Imam Nawawi diberi sedikit penjelasan di dalam kitab Al-Majmu’ sehingga memberi gambaran yang lebih memudahkan untuk dipahami. Di bawah ini penulis sampaikan penjelasan tersebut dengan contoh kasus sebagai berikut:
 
Pertama, pada awalnya seseorang mengetahui dan meyakini bahwa airnya suci karena ia mengambilnya dari air yang berjumlah banyak yang mencapai atau lebih dari dua qullah, misalnya. Kemudian ia ragu-ragu air tersebut telah berubah jadi najis atau tidak. Pada kondisi seperti ini maka air tersebut dihukumi tetap suci dan orang tersebut bisa menggunakannya untuk berwudlu atau keperluan lain.
 
Untuk lebih jelasnya kasus pertama ini bisa digambarkan sebagai berikut:
 
Seumpama Anda memiliki satu ember air yang sejak dari awal Anda tahu dan yakin betul bahwa air tersebut dalam keadaan suci. Beberapa waktu Anda meninggalkan air itu dan saat kembali lagi ternyata Anda mendapati anak kecil anda telah selesai buang air kecing dengan berdiri persis di sebelah ember tempat air tersebut. Secara kasat mata memang air kencingnya terlihat berada di luar dan di samping ember. Namun ada keraguan di dalam hati Anda kalau-kalau ada sebagian air kecing yang masuk ke dalam ember karena cipratan atau mungkin saat kencing anak Anda bergerak yang menjadikan air kencingnya ada sebagian yang mengarah dan masuk ke ember. Pada posisi demikian Anda masih bisa menggunakan air tersebut untuk berbagai keperluan termasuk bersuci. Ini disebabkan air tersebut dihukumi tetap suci sebagaimana keyakinan Anda di awal. Sedangkan kenajisannya hanyalah sebuah keraguan yang tidak terbuktikan.
 
Kedua, pada awalnya seseorang mengetahui bahwa air tersebut adalah najis, kemudian—karena satu dan lain hal—ia meragukan apakah air itu sudah menjadi suci atau belum. Ini bisa saja terjadi umpamanya bila sebelumnya air najis tersebut volumenya kurang dari dua qullah dan telah terkena najis. Lalu ia menuangkan air hingga volumenya bertambah namun ia ragu-ragu apakah dengan dituangkannya air volume air tersebut kini telah mencapai dua qullah atau belum. Bila telah mencapai dua qullah maka air yang awalnya berstatus najis tersebut telah berubah menjadi suci. Namun bila tuangan air tersebut tidak membuat volumenya menjadi dua qullah maka air tersebut masih pada status najisnya.
 
Dalam posisi demikian maka air tersebut masih dihukumi tetap najis sebagaimana yang diketahui pada awalnya, karena kemungkinan berubahnya air itu menjadi suci dengan adanya penambahan volume masih merupakan keragu-raguan dengan tidak adanya kepastian telah mencapai dua qullah atau tidak.
 
(Penjelasan tentang air dua qullah bisa dibaca pada artikel: Empat Macam Air dan Hukumnya untuk Bersuci)
 
Ketiga, sejak dari awal seseorang tidak mengetahui suci atau najisnya air di suatu tempat. Kemudian—katakanlah saat akan menggunakan air itu—ia ragu-ragu apakah air tersebut suci atau najis. Dalam keadaan ini air tersebut dihukumi suci karena memang pada dasarnya status air itu adalah suci. Bahwa kemudian air itu bisa menjadi najis bila jelas-jelas ada barang najis yang mengenainya. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada kepastian ada tidaknya barang najis yang mengenai air tersebut. Dengan demikian maka air itu dihukumi suci sehingga dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan lainnya.
 
Keempat, bila seseorang mendapati ada air di suatu tempat yang telah berubah sifatnya namun ia tidak tahu pasti apa yang menjadikan perubahan tersebut, apakah karena terkena najis atau lainnya, maka air tersebut dihukumi sebagai air yang suci karena bisa jadi berubahnya sifat air tersebut hanya dikarenakan telah lamanya air itu berdiam.
 
Lebih lanjut Imam Nawawi menuturkan sebuah hadis dari Rasulullah yang menjadi pijakan para ulama mensikapi permasalahan-permasalahan di atas. Bahwa ada seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah bahwa pada saat shalat ia merasakan seakan ada sesuatu yang keluar dari duburnya. Kepada sahabat tersebut Rasul memerintahkan untuk tidak membubarkan shalatnya hingga jelas-jelas ada suara atau bau kentut yang keluar dari duburnya (lihat Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, (Kairo: Darul Hadis, 2010), juz 1, hal. 348).
 
Dengan penjelasan tersebut diharapkan saat kita mengalami permasalahan sebagaimana digambarkan di atas dapat dengan segera mengambil sikap secara yakin tanpa ada keraguan lagi. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin).