Muhammad Ibnu Sahroji
Kolomnis
Dalam syariat Islam, tata cara memperlakukan jenazah diatur dengan sangat rinci, mulai dari memandikan, mengafani, hingga menguburkannya. Salah satu persoalan yang kerap menimbulkan pertanyaan adalah hukum menutup luka atau lubang pada tubuh jenazah. Apakah tindakan tersebut dibolehkan, diwajibkan, atau justru dimakruhkan?
Secara umum, mayoritas ulama bersepakat bahwa menutup luka pada jenazah hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, apabila luka tersebut mengeluarkan darah atau cairan yang dapat mengotori kain kafan maupun tubuh jenazah. Langkah ini dilakukan demi menjaga kebersihan serta memelihara kehormatan jenazah.
Syekh Muhammad Hasbullah bin Muhammad asy-Syafi’i al-Makki menjelaskan:
والسنة ان يوضع على منافذ الميت كعينيه واذنيه ومنخريه وغيرها من المنافذ الاصلية والطارئة واعضاء سجوده السبعة قطن اكراما لها
Artinya, “Sunnahnya adalah meletakkan kapas pada lubang-lubang tubuh mayit, seperti kedua matanya, kedua telinganya, kedua lubang hidungnya, dan lubang-lubang lainnya, baik yang asli maupun yang muncul karena sebab tertentu, serta pada tujuh anggota sujudnya, sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya,” (Syekh Muhammad Hasbullah bin Muhammad al-Syafi’i al-Makki, Riyadhul Badi’ah, [Surabaya, Hidayah: tt], hlm. 40)
Dalil dan Alasan Syariat
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa syariat menganjurkan, bahkan menghukumi sunnah, tindakan menutup luka dan lubang tubuh jenazah karena beberapa alasan penting.
Baca Juga
Rukun Shalat Jenazah dan Penjelasannya
Pertama, menjaga kebersihan jenazah. Sebagaimana diketahui, tujuan utama memandikan dan mengafani jenazah adalah membersihkannya dari segala kotoran. Jika terdapat luka yang masih mengeluarkan cairan, maka membersihkan dan menutupnya menjadi bagian dari proses menjaga kebersihan tersebut.
Kedua, memelihara kehormatan jenazah. Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang Muslim, baik semasa hidup maupun setelah wafat. Menutup luka atau lubang yang berpotensi mengeluarkan kotoran adalah bentuk penghormatan agar jenazah tetap terlihat bersih dan terawat ketika dikafani dan dimakamkan.
Ketiga, mencegah keluarnya kotoran atau najis. Luka yang mengeluarkan darah atau cairan lainnya dapat mengotori kain kafan. Dengan menutup luka tersebut, cairan dapat dicegah agar tidak membasahi kafan. Hal ini sejalan dengan tuntunan Rasulullah SAW agar jenazah dikafani dengan kain yang bersih.
Cara Menutup Luka dan Lubang
Perawatan (tajhiz) jenazah yang memiliki luka terbuka dilakukan dengan menutup bagian tersebut menggunakan kapas, kain kasa, atau perban. Para ulama menganjurkan agar penempelan atau pengikatan dilakukan dengan cara yang tidak merusak tubuh jenazah.
Untuk lubang-lubang tubuh seperti telinga, hidung, dan dubur, disunnahkan menyumbatnya dengan kapas setelah jenazah dimandikan. Tujuannya adalah mencegah keluarnya sisa air atau cairan dari dalam tubuh yang dapat membasahi kafan. Tindakan ini dilakukan setelah proses memandikan selesai dan sebelum jenazah dikafani.
Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy, mengutip pendapat Syekh Ibnu Qasim dan Syekh Ali asy-Syibramulisi, menjelaskan bahwa kondisi jenazah yang terus-menerus mengeluarkan najis dapat diqiyaskan dengan orang yang menderita penyakit beser ketika hendak melaksanakan shalat.
وإذا خرج بعد الغسل وقبل الإدراج في الكفن منه نجس، ولو من القبل أو الدبر، أو وقع عليه نجس في آخر غسله أو بعده، وجب إزالته فقط من غير إعادة غسل أو غيره لسقوط الفرض بما جرى وحصول النظافة بإزالة الخارج، ولو لم يمكن قطع الدم الخارج من الميت بغسله صح – كما قاله ابن قاسم غسله وصحت الصلاة عليه؛ لأن غايته أنه كالحي السلس وهو تصح صلاته فكذا الصلاة عليه
قال الشيخ علي الشبراملسي وقضية التشبيه بالسلس وجوب حشو محل الدم بنحو قطنة وعصبه عقب الغسل، والمبادرة بالصلاة عليه بعده، حتى لو أخرت لا لمصلحة الصلاة، وجب إعادة ما ذكر – أي : من غسل الدم النازل والحشو والتربيط وينبغي أن من المصلحة كثرة المصلين كما في تأخير السلس لإجابة المؤذن وانتظار الجماعة. اهـ
Artinya, "Apabila setelah jenazah dimandikan dan sebelum dimasukkan ke dalam kain kafan keluar najis, baik dari jalan depan maupun belakang, atau jika jenazah terkena najis di akhir proses mandi atau sesudahnya, maka kewajiban yang harus dilakukan hanyalah menghilangkan najis tersebut. Tidak perlu mengulangi mandi jenazah atau melakukan tindakan lain seperti wudhu. Hal ini karena kewajiban memandikan sudah gugur dengan proses yang telah dilakukan, dan kebersihan telah tercapai dengan menghilangkan najis yang keluar tersebut.
Bahkan, jika darah yang keluar dari tubuh jenazah tidak dapat dihentikan melalui proses memandikan, maka memandikannya tetap dianggap sah, begitu pula menshalatinya. Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Qasim, bahwa kondisi tersebut disamakan dengan orang hidup yang mengalami penyakit beser (inkontinensia urin), di mana shalatnya tetap sah meskipun najis keluar saat shalat.
Syekh Ali asy-Syibramulisiy menambahkan, karena hukumnya diqiyaskan dengan penderita beser, maka wajib menyumbat bagian tubuh yang mengeluarkan darah dengan kapas atau semacamnya, lalu membalutnya dengan perban setelah dimandikan. Setelah itu, shalat jenazah harus segera dilaksanakan. Apabila pelaksanaan shalat jenazah ditunda tanpa alasan yang terkait kemaslahatan shalat, maka tindakan membasuh darah, menyumbat, dan membalut harus diulang kembali.
Termasuk alasan yang dibenarkan untuk menunda shalat jenazah adalah menunggu banyaknya jamaah yang akan ikut menshalatkannya, sebagaimana penderita beser dibolehkan menunda shalat demi menjawab adzan atau menunggu shalat berjamaah." (Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy, Ghatul Muna Syarah Safinatun Najah, Hadramaut: Maktabah Tarim al-Haditsah, 1429 H, hlm. 487–488)
Terdapat pengecualian penting dalam hukum ini, yaitu bagi jenazah yang wafat dalam keadaan syahid (syuhada). Berdasarkan hadits-hadits Nabi, jenazah syahid di medan perang tidak dimandikan, tidak diganti pakaiannya, dan tidak dishalatkan. Mereka dimakamkan dengan pakaian yang melekat saat gugur, lengkap dengan darah dan luka yang menjadi tanda kesyahidan mereka di hadapan Allah. Dalam konteks ini, luka-luka tersebut tidak perlu ditutup, karena justru menjadi saksi kemuliaan dan pengorbanan mereka di akhirat kelak.
Meski begitu, untuk jenazah selain syuhada, proses penutupan luka dan lubang tubuh harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Prinsipnya adalah menjaga kebersihan dan mencegah keluarnya cairan tanpa mengubah bentuk tubuh jenazah secara berlebihan. Misalnya, jika luka yang ada terlalu parah atau besar, penutupan cukup dilakukan sekadar untuk menghentikan aliran darah atau cairan, bukan untuk mengembalikan bentuk tubuh seperti semula.
Selain itu, apabila luka mengeluarkan nanah atau darah, yang dalam fiqih dikategorikan sebagai najis, maka urgensi menutupnya semakin tinggi. Hal ini bertujuan untuk memastikan kain kafan tetap suci dan bebas dari najis, sehingga jenazah dapat dikuburkan dalam keadaan yang terhormat sesuai tuntunan syariat.
Kesimpulannya, dalam hukum Islam, menutup luka dan lubang tubuh jenazah setelah dimandikan dan sebelum dikafani termasuk amalan yang dianjurkan (sunnah). Tindakan ini bukan hanya bagian dari adab dalam merawat jenazah, tetapi juga manifestasi penghormatan terakhir bagi seorang Muslim. Pengecualian hanya berlaku bagi jenazah syuhada, yang luka dan darahnya tetap dibiarkan sebagai bukti pengorbanan di jalan Allah.
Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Ges.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
6
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
Terkini
Lihat Semua