Syariah

3 Alasan Mengapa Doa Rahasia untuk Orang Lain Mudah Dikabulkan

Kam, 3 September 2020 | 08:00 WIB

3 Alasan Mengapa Doa Rahasia untuk Orang Lain Mudah Dikabulkan

Mendoakan orang lain merupakan pertanda keikhlasan dan tiadanya riya’ dalam diri si pendoa.

Doa seorang hamba tidak selalu sampai kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena terkadang ada hal-hal yang menghalanginya. Jika sebuah doa terhalang oleh sesuatu hal, maka pengabulannya oleh Allah menjadi kecil kemungkinannya hingga hal yang menghalangi tersebut diselesaikan terlebih dahulu. Namun demikian ada jenis doa yang langsung sampai kepada Allah sehingga mudah dikabulkan. Doa itu adalah doa yang dipanjatkan untuk orang lain tanpa kehadiran orang lain tersebut. Maksudnya doa itu dipanjatkan secara rahasia. 


Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam sebuah kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 153) sebagai berikut:


فإن دعاء المسلم لأخيه بظهر الغيب مستجاب


Artinya: “Sesungguhnya doa seorang Muslim untuk saudaranya sesama Muslim di luar kehadirannya mudah dikabulkan.”


Jadi ketika pihak yang mendoakan merahasiakan doanya supaya tidak diketahui oleh pihak yang didoakan bahwa ia telah berdoa untuknya dengan doa-doa yang baik, maka doa seperti itu akan langsung sampai kepada Allah sehingga mudah dikabulkan.  


Adapun alasan mengapa doa yang dipanjatkan tanpa kehadiran orang yang didoakan mudah dikabulkan oleh Allah adalah sebagai berikut:


Pertama, karena doa seperti itu diamini oleh malaikat. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:


إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك بمثله


Artinya: “ Apabila seorang Muslim mendoakan bagi saudaranya sesama Muslim di luar kehadirannya, malaikat akan menimpali dengan ucapan “Amin” dan semoga Anda memperoleh semacam itu” (HR Muslim). 


Imam Nawawi menjelaskan yang dimaksud dengan بظهر الغيب “di luar kehadiran” adalah sebagai berikut: 


فمعناه في غيبة المدعوله وفي سره


Artinya: “Yang dimaksud adalah orang yang didoakan tidak ada di tempat dan tidak sepengetahuannya.” (lihat dalam Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi [Muassasah Qurthubah: 1994], Cetakan II, juz 17, hal. 77). 


Malaikat adalah makhluk Allah yang suci dari dosa karena tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah. Mudah tidaknya pengabulan doa memang ada hubungannya dengan kesucian diri seorang pendoa sebagaimana hal ini disinggung Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya sebagai berikut:


ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ


Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya?”(HR Muslim). 


Malaikat sepanjang zaman tidak makan dan tidak minum, maka dzat mereka terbebas dari barang-barang haram sehingga doa yang dipanjatkannya atau diamininya mudah dikabulkan oleh Allah karena adanya kelebihan pada diri mereka dalam hal ini, yakni suci dari mengonsumsi barang-barang haram. 


Mengamini doa sama dengan memanjatkan doa itu sendiri sebab kata آمين “amin” memiliki fungsi dan arti sebagai berikut: 


آمين :اِسْمُ فِعْلِ أمْرٍ مَبْنِيّ عَلَى الفَتْحِ بِمَعْنَى اِسْتَجِبْ، تَأْتِي فِي خَاتِمَةِ الدُّعَاءِ 


Artinya, “Amin: Isim fi’il amar yang dibaca fathah secara tetap, mengandung makna: ‘Ya Allah kabulkanlah doa ini’. ‘Amin’ diucapkan atau ditulis sebagai penutup doa.” (lihat Kamus al-Ma'any)


Kedua, karena doa seperti itu menunjukkan keikhlasan dan tiadanya riya’ dalam diri si pendoa. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Al-Munawi dalam Faidhu al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, (Dar al-ma’rifah: Beirut, 1972), Cetakan II, Jilid 3, hal. 527 sebagai berikut: 


لان الدعاء السر اقرب الى الاخلاص وابعد من الرياء. 


Artinya: “Karena sesungguhnya doa rahasia (doa yang tidak diketahui oleh orang yang didoakan) paling dekat kepada keikhlasan dan paling jauh dari sikap riya’.”


Memang orang-orang ikhlas tidak mau secara sengaja memperlihatkan amal-amalnya dengan pamrih tertentu, termasuk dalam mendoakan orang lain. Mereka malah biasa menyembukannya agar tidak diketahui oleh orang-orang yang didoakannya agar mereka tidak memuji-memuji dan tidak merasa berutang budi. Mereka khawatir hal-hal seperti itu justru akan meluluhlantakkan pahala amalnya dan menjebaknya dalam kubangan dosa akibat riya’. 


Ketiga, karena doa seperti itu memiliki kekuatan 70 kali lipat dari pada doa yang diketahui oleh publik khususnya orang yang didoakan. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Anas radhhiallahu 'anhu sebagai berikut:


دعوة السر تعدل سبعين دعوة في العلانية


Artinya, “Satu Doa yang dirahasiakan sebanding dengan 70 doa yang terbuka (tidak dirahasiakan).” 


Jadi, jika angka 70 di atas diibaratkan dengan jumlah orang yang berdoa, maka doa yang dipanjatkan tanpa kehadiran orang didoakan dan bahkan tanpa diberitahukan kepadanya, doa seperti itu akan sangat diperhatikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena diibaratkan jumlah orang yang memanjatkannya sebanyak 70 orang. Artinya tingkat perbandingan kekuatannya adalah 1:70. 


Demikianlah tiga alasan mengapa doa baik yang dipanjatkan untuk orang lain tanpa kehadiran dan sepengetahuannya lebih mudah dikabulkan oleh Allah subhanu wa ta’ala. Oleh karena itu, ketika kita mendoakan seseorang agar ia memiliki keadaan yang lebih baik, misalnya, kita sesungguhnya tidak perlu memberitahukan hal itu kepada orang yang kita doakan karena dikhawatirkan justru akan mengurangi keikhlasan kita dan bahkan bisa menimbulkan riya’. Selain itu, cara berdoa seperti ini akan menghindarkan kita dari mengklaim bahwa kesuksesan yang diperoleh seseorang, misalnya, adalah berkat doa kita. Dikhawatirkan klaim semacam ini menjadikan kita sombong. 

 


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeristas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.