Syariah

Hakikat Zakat Menurut Imam Al-Ghazali

Ahad, 9 Mei 2021 | 05:05 WIB

Hakikat Zakat Menurut Imam Al-Ghazali

Ilustrasi zakat. (Foto: NU Online)

Setelah umat Muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan, kewajiban berikutnya adalah menunaikan zakat fitrah. Tapi, memaknai zakat sebatas kewajiban umat Muslim saja, sepertinya belum cukup. Agar mampu memahami dan merasakan esensi zakat itu sendiri, ada baiknya kita menyimak, bagaimana Imam Ghazali menjelaskan hakikat zakat itu sendiri.


Sebelum menyimak dengan seksama penjelasan al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin-nya, tidak salah jika terlebih dahulu penulis jelaskan posisi zakat dalam Islam.


Dalam Islam, zakat merupakan salah satu fondasi (rukun) agama. Tepatnya rukun ketiga setelah membaca dua kalimat syahadat dan melaksanakan shalat. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman,


وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ  


Artinya, “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur [24]: 56)


Secara eksplisit, ayat di atas menggunakan kata perintah, wa atuzzakah (tunaikanlah zakat), yang menunjukkan arti wajib. 

 

Menurut Syekh Abdurrahman as-Sa’di (w. 1956), ayat di atas menunjukkan perintah ketaatan yang sempurna. Zakat merupakan ketaatan dalam bentuk harta guna memenuhi hak sesama manusia. Sementara perintah sebelumnya adalah shalat, ketaatan untuk memenuhi hak Allah. Kumpulnya dua hak ini (hak Allah dan hak sesama manusia), merupakan bentuk ketaatan yang sangat agung. (lihat Tafsir as-Sa’di, juz 1, hal 573)


Seorang  ulama sufi Imam Ghazali, tidak memandang ibadah sebagai kewajiban yang selesai ketika sudah ditunaikan begitu saja. Tapi, dengan pandangan fiqih tasawufnya, Al-Ghazali selalu menawarkan perenungan-perenungan setiap laku ibadah dan menyelami esensi di baliknya. Hal ini juga Al-Ghazali lakukan dalam praktik zakat.


Mari kita simak bagaimana Al-Ghazali menjelaskan hakikat zakat yang tidak sebatas ritual ibadah penggugur kewajiban bagi seorang Muslim.


Zakat merupakan ibadah harta. Artinya, ibadah yang dalam praktiknya melibatkan pengeluaran, bahkan sudah ditentukan besaran harta yang harus didermakan. Berbeda dengan semisal shalat. Oleh karena itu, zakat dikategorikan ibadah maliyyah (ibadah kehartaan), sementara shalat dikategorikan ibadah badaniyyah (ibadah dengan tubuh).


Lantas, jika zakat merupakan ibadah maliyyah (ibadah kehartaan), mengapa masuk dalam jajaran rukun Islam? Bukannya Islam adalah agama yang tidak materialistik? Mengapa zakat yang bersifat ‘kehartaan’ dihitung sebagai salah satu pokok ibadah? Itulah pertanyaan yang dimunculkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin-nya. (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan Al-Haramain, juz 1, hal 214)


Setidaknya, menurut Al-Ghazali, ada tiga hal mengapa zakat dikategorikan sebagai salah satu rukun Islam.

 

Pertama, zakat merupakan wujud totalitas kecintaan seorang hamba kepada Allah swt.


Rukun Islam pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan syahadat, berarti seorang hamba telah berkomitmen atas ketunggalan Allah swt. Tidak ada Tuhan selain-Nya. Untuk menyempurnakan pengesaannya terhadap Allah, menurut Al-Ghazali, seorang hamba harus betul-betul menunggalkan Allah swt. Tidak boleh ada sesuatu yang dicintai selain Allah dalam hatinya.


Imam Ghazali menuturkan,


فإن المحبة لا تقبل الشركة


Artinya, “Sesungguhnya cinta tidak bisa diduakan.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan Al-Haramain, juz 1, hal 214)

 

Sebagaimana kita tahu, hal yang paling dicintai manusia di dunia adalah harta. Oleh karena itu, zakat yang dalam praktiknya ‘melepaskan sebagian harta’, melepaskan sesuatu yang dicintai, merupakan bentuk pemurnian ketauhidan terhadap Allah swt. Dengan mengeluarkan harta, berarti telah melepaskan sesuatu yang dicintai. Sehingga dalam hati hanya ada Allah semata.


Bahkan, Al-Ghazali melanjutkan, semakin tinggi derajat manusia di sisi Allah dan semakin besar rasa cinta untuk-Nya, ia akan rela untuk mendermakan seluruh harta. Tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya.


Contoh saja Abu Bakar as-Shiddiq, sahabat Nabi saw yang paling setia. Sebagai wujud puncak cinta kepada Allah dan rasul-Nya, ia dermakan seluruh harta miliknya. Bahkan, ketika Rasulullah bertanya “Berapa harta yang engkau sisakan, bukankah engkau memiliki keluarga?”


Dengan enteng, Abu Bakar menjawab, “Aku masih memiliki Allah dan rasul-Nya.”


Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir (pelit).


Salah satu ciri-ciri orang yang kikir adalah enggan mendermakan harta. Baginya, harta dikumpulkan hanya untuk kepuasan diri semata. Islam mencela sifat kikir ini. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman,


وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  


Artinya, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)


Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) menfsiri kata ‘muflihun’ sebagai surga. Artinya, orang yang terhindar dari sifat kikir, maka balasan untuknya adalah surga. Sebaliknya, bagi mereka yang kikir, neraka adalah balasan untuknya. Na’udzubillah. (lihat Jami’ al-Bayan, juz 28, hal 53)


Menurut Al-Ghazali, sifat kikir bisa diobati dengan memaksakan dan membiasakan diri untuk mendermakan harta. Dan zakat merupakan salah satunya. Al-Ghazali menarasikan,


فحب الشيء لا ينقطع إلا بقهر النفس على مفارقته حتى يصير ذلك إعتيادا


Artinya, “Kecintaan terhadap sesuatu, hanya bisa diobati dengan cara memaksa untuk berpisah darinya, sampai menjadi sebuah kebiasaan.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan Al-Haramain, juz 1, hal 215)


Ketiga, sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt.


Al-Ghazali membagi nikmat menjadi dua, yaitu nikmat anggota badan dan nikmat harta. Cara mensyukuri nikmat anggota badan adalah dengan ibadah badaniyyah, seperti melaksanakan shalat. Sementara cara mensyukuri ibadah maliyyah adalah dengan mengeluarkan zakat.


Lebih dari itu, menurut Al-Ghazlai, zakat bukan sebatas bentuk syukur. Tetapi juga sebagai wujud kasih sayang terhadap orang-orang yang membutuhkan. Banyak orang yang hidup belum berkecukupan, dan zakat adalah bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama.


Apa yang disampaikan Imam Ghazali di atas, cukup kiranya mendewasakan cara kita beribadah. Dalam hal ini adalah menunaikan kewajiban zakat. Zakat bukan sebatas menggugurkan kewajiban sebagai seorang Muslim. Tetapi lebih dari itu, zakat memiliki esensi dan nilai-nilai luhur yang perlu ditanamkan dalam dalam diri setiap Muslim.


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon