Syariah

Penjelasan tentang Harta Dagangan yang Wajib Dizakati

Rab, 8 Januari 2020 | 15:00 WIB

Penjelasan tentang Harta Dagangan yang Wajib Dizakati

Dalam kekayaan seseorang ada hak orang lain yang mesti ditunaikan, termasuk harta niaga.

Urudlu al-Tijarah merupakan harta dagang yang terdiri atas rupa barang dagangan (sil’ah), harta yang terkumpul setelah proses perdagangan, piutang dagang, dikurangi utang. Di dalam urudl sendiri, tersimpan dua makna, yaitu harga beli (qimat al-sil’ah) dan laba (ribhun). Jadi, bila diformulasikan, apa itu komposisi dari urudl al-tijarah? Maka, komposisi dari urudl al-tijarah akan tampak sebagai berikut:

 

النقد + قيمة السِّلَع + الدُّيون المرجوَّة - ما عليه من الدُّيونِ

 

"Nuqud (dirham atau dinar) + harga jual barang dagangan + piutang yang bisa diharapkan penunaiannya) - utang modal)"

 

Jika menyimak dari komposisi ini, maka patokan untuk menghitung urudl al-tijarah adalah bukan berdasar awal tahun modal yang dikeluarkan, sehingga hanya terpaku pada harga sil’ah (harga jual barang) saja. Apalagi bila kemudian ada yang menyederhanakan pemaknaan ‘urudl tersebut sebagai modal saja. Dengan menyederhanakan pemaknaan seperti ini, maka seolah urudl itu hanya terdiri atas suatu harta yang dimasukkan dalam niaga di awal tahun atau ditambahkan di pertengahan tahun, atau di waktu tertentu yang dikehendaki penambahannya oleh pedagang saja. Inilah pentingnya kita mengulas dan mencermati pengertian dari urudl tersebut.

 

Urudl Terdiri atas Nuqud

Nuqud dalam istilah ekonomi, sering dimaknai sebagai dinar dan dirham. Keduanya merupakan satuan harga yang menyatakan nilai tukar. Keberadaan nuqud dihitung sebagai urudl al-tijarah ini sudah pasti menghendaki telah terjadinya proses jual beli, sehingga ia kemudian disimpan oleh pemilik toko.

 

Tanpa keberadaan jual beli itu, maka suatu nuqud tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari urudl. Berbekal pengertian ini, maka nuqud sebagai bagian dari urudl al-tijarah, dapat didefinisikan sebagai “harga beli barang ditambah laba dari barang yang berhasil dijual dan disimpan dalam bentuk nuqud (dinar atau dirham).” Jika dirumuskan, maka akan nampak sebagai berikut:

 

Nuqud sebagai urudl al-tijarah = harga kulak barang + keuntungan penjualan

 

Urudl terdiri dari Qimatu al-Sil’i

Qimah artinya adalah nilai (harga). Sil’i merupakan jamak dari sil’ah, artinya barang yang dijual, disingkat sebagai barang dagangan. Jadi, qimat al-sil’i adalah harga jual barang dagangan. Harga barang dagangan, tersusun atas harga kulak barang ditambah laba yang dikehendaki.

 

Qimah al-sil’ah = harga kulak barang + laba yang dikehendaki dari penjualan

 

Urudl terdiri dari al-Duyun al-Marjuwwah

Makna asli dari al-Duyun al-Marjuwwah, adalah utang dagang yang optimis bisa diharapkan pemenuhannya. Ada dua jenis al-duyun al-marjuwwah, yaitu:

 

  1. Utangnya pedagang ke tengkulak atau pedagang tempat ia kulak barang
  2. Utangnya pembeli kepada pedagang, sehingga al-duyun al-marjuwwah bisa diartikan sebagai piutang dagang.

 

Untuk pengertian pertama, yaitu utang pedagang ke tengkulak. Utang ini tidak masuk dalam kategori yang wajib dizakati, sebab harta utang adalah masuk kategori harta milik yang lemah.

 

الشافعية قالوا: اشتراط الملك التام، يخرج الرقيق والمكاتب، فلا زكاة عليهما، أما الأول فلأنه لا يملك، وأما الثاني فلأن ملكه ضعيف

 

Artinya: “Kalangan Syafiiyah berpendapat: Disyaratkan kemilikan sempurna sehingga dikecualikan (dari kewajiban zakat) yaitu budak murni dan budak cicilan (budak mukatab). Bagi keduanya tidak wajib zakat. Alasan untuk kategori budak yang pertama, disebabkan karena budak murni tidak memiliki hak kuasa atas dirinya. Sementara budak yang kedua, status kepemilikannya adalah lemah.” (Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt., Juz 1, halaman 606).

 

Harta kulak yang diperoleh dari hasil utang dagang, status kepemilikannya adalah lemah, qiyas dengan status budak mukatab/ budak cicilan. Dalam beberapa kasus, terkadang barang yang dijual statusnya bukan milik penjual, melainkan tetap milik pedagang tengkulak, sementara penjual hanya merupakan wakil dari pihak pedagang tengkulak. Masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah, berdagang dengan “modal habis - bayar”, yaitu kebiasaan berdagang yang mengambil barang dari pedagang tengkulak terlebih dulu, yang bila barangnya habis terjual, baru ia datang ke tengkulak untuk membayar harga barang. Status barang yang dijual seperti ini jelas merupakan hasil dari akad wakalah. Dalam kondisi ini, harta dagang bukan termasuk yang dihitung sebagai barang yang wajib dizakati, karena unsur akad wakalah yang terjalin. Lain halnya dengan barang dari akad dain (menghutangi), yang bila laku, maka status milik barang tersebut bagi penjual adalah milkun tamm. Meskipun, harganya belum diterimakan dari pembelinya karena dibeli dengan harga kredit atau tempo.

 

Dengan pola istinbath hukum yang sama dan kacamata yang berbeda dari sisi hukum, yaitu bahwa yang dimaksud sebagai al-duyun al-marjuwwah adalah piutang dagang, atau tagihan pedagang kepada pembelinya yang sudah memutuskan membeli barang kepada pedagang. Harta piutang ini masuk unsur milik yang kuat disebabkan karena unsur dlaman yang otomatis masuk dalam akad.

 

Dalam syariat, setiap barang yang dapat laku dijual, maka wajib berlaku kaidah larangan mengambil laba barang yang tidak bisa dijamin (al-ribhu ma lam yudlman). Mafhum mukhalafahnya, maka untuk barang yang bisa dijamin dibayarnya harga barang, secara otomatis berlaku sebagai piutang yang masuk dalam bagian urudl al-tijarah. Oleh karena itu, wajib berlaku atas piutang itu wajibnya zakat seiring dengan jaminan dibayarnya utang. Dalam konteks ini, maka baik akad itu diawali dari akad wakalah (sebagaimana akad titip - laku - bayar) maupun diawali dengan akad utang pedagang ke tengkulak, maka keduanya memiliki muara yang sama, yaitu bahwa barang yang telah dijual, maka hartanya masuk dalam unsur naqd duyun marjuwwah (naqd utang yang bisa diharap pelunasannya / piutang dagang). Status piutang dagang ini merupakan harta milik yang kuat (milkun tam). Sehingga bila tercapai haul dan nishabnya, maka ia masuk bagian yang wajib dizakati, karena unsur idkharnya (tersimpannya) dan dizakati sebagai harta tijarah. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur