Syariah

Apakah Hasil Pengelolaan Barang Wakaf Wajib Dikeluarkan Zakatnya?

Rab, 25 Desember 2019 | 12:00 WIB

Hasil pengelolaan barang wakaf sering dikenal sebagai istilah ghullatu al-waqfi. Contoh dari pengelolaan tanah wakaf ini misalnya adalah: “ada sebuah wakaf kebun. Jenis lahannya irigasi tadah hujan. Kemudian ada seorang petani yang tidak memiliki lahan. Kemudian dia mengajukan diri kepada nadhir wakaf, untuk menanami lahan wakaf tersebut sehingga tetap terjaga dari fungsi dan kemanfaatannya sebagai kebun yang diambil keuntungannya. Setelah dikelola, ternyata panenan dari tanah wakaf tersebut mencapai lebih dari satu nishab. Apakah hasil ini termasuk wajib dipungut zakat?”

 

 

Ini adalah sebuah masalah umum yang terjadi di wilayah-wilayah pedesaan yang kerap tanah wakaf tersebut diserahkan pengelolaannya kepada petani tertentu yang cakap. Seorang nadhir dalam konteks ini menempati maqam sebagai pemilik disebabkan kedudukannya selaku pengelola harta wakaf. Sementara petani penggarap menempati derajat amil al-waqfi (pelaksana garapan di tanah wakaf).

 

Karena dalam kasus di atas, inisiatif muncul dari petani, yang berarti bibit tanaman juga dari petani, maka akad yang dibangun antara nadhir dengan petani adalah harus berupa akad sewa menyewa lahan (ijarah). Artinya, nadhir menerima biaya sewa tanah wakaf dan langsung bisa dimasukkan dalam kas ghullah al-waqfi (hasil pengelolaan wakaf). Dengan demikian, hasil pertanian, tidak ada sangkut pautnya dengan kewajiban mengeluarkan zakat, disebabkan unsur sewa menyewa itu. Kewajiban zakat secara mutlak ada pada petani yang berperan selaku penyewa tanah.

 

 

Lain halnya bila modal tanaman dikeluarkan oleh nadhir yang diambil dari dana wakaf, sementara petani penggarap hanya bertindak sebagai petani murni. Bila hasil pengelolaan telah mencapai nishab dan haul, akankah wajib dipungut zakat?

 

Akad yang dibangun dalam konteks terakhir ini adalah akad musaqah bila hal itu berkaitan dengan objek tanaman perkebunan. Adapun bila tanahnya berupa tanah persawahan dengan objek tanaman berupa tanaman semusim, maka akad yang dibangun antara nadhir wakaf dengan petani penggarap adalah akad muzara’ah atau mukhabarah.

 

Menilik dari ketiga jenis akad ini, maka baik pemilik lahan maupun pengelolanya, adalah sama-sama mendapatkan bagian dari hasil panenan. Salah satu syarat wajib zakat adalah bila hasil panenan itu tidak dibagi terlebih dahulu sebelum diambil zakatnya. Namun, sehubungan tanah itu merupakan tanah wakaf, maka berlaku kaidah yang menyatakan bahwa :

 

غلة القرية وثمار البستان الموقوفين على المساجد والرباطات أو المدارس، أو على القناطر، أو على الفقراء، أو على المساكين لا زكاة فيهما إذ ليس لهما مالك معين

 

Artinya: “Hasil pengelolaan tanah desa dan kebun yang diwakafkan untuk masjid, pondok, madrasah, jembatan, orang fakir dan orang miskin, adalah tidak dipungut zakat, karena keduanya tidak termasuk milik orang tertentu.” (Kifayatu al-Akhyar, I, halaman 188-189)

 

Berbekal kaidah ini, maka khusus hasil pengelolaan terhadap tanah wakaf adalah tidak wajib dikenai zakat. Dengan demikian, yang tersisa adalah tinggal bagian pengelolanya. Sudah pasti dalam hal ini, syarat tercapainya nishab dan haul tidak boleh ditinggalkan. Dan yang lebih penting lagi, wakaf di atas adalah berlaku untuk wakaf li maslahati al-’ammah, sehingga tidak ada pemilik khususnya tertentu.

 

Lain halnya dengan wakaf yang dikhususkan pada orang-orang tertentu, atau pihak tertentu. Suatu misal, wakaf yang diperuntukkan untuk Masjid al-Mabrur, atau Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda. Artinya, bila suatu ketika tanah wakaf itu memiliki hasil panen yang melimpah sehingga lebih dari nishabnya, maka hasil pengelolaan tanah wakaf seperti ini masuk kategori yang wajib dizakati. Syekh Taqiyuddin Abi Bakar al-Hushny, menjelaskan:

 

وعلى الموقوف على معينين فتجب فيه الزكاة كما وقف نخل بستان فأثمرت خمسة أوسق

 

Artinya: “Dan wajib atas barang wakaf yang diberikan kepada orang tertentu, maka wajib hukumnya dikeluarkan zakat. Misalnya mewakafkan kurma kebun, yang kemudian berbuah mencapai 5 wasaq.” (Kifayatu al-Akhyar, I, halaman 189).

 

Hanya saja, terkait dengan kaidah terakhir ini ada ulama yang menyatakan status lemahnya pendapat tersebut. Sisi lemahnya terletak pada status kepemilikan wakaf. Salah satu syarat dari harta yang wajib dizakati, adalah bahwa harta tersebut harus merupakan milik yang sempurna. Sementara itu, hasil wakaf hasil pengelolaan tanah wakaf di atas, tidak jelas siapa pemiliknya. Yang dinamakan pemilik adalah orang/individu tertentu, dan bukan atas nama Yayasan. Makanya kemudian, karena alasan ini, mereka menyatakan tidak wajibnya zakat. Pendapat ini didakwa sebagai pendapat yang shahih. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur