Ketika Imam Nawawi Menantang Kebijakan Pemerintah yang Merugikan Rakyat
Senin, 5 Mei 2025 | 12:00 WIB
Di tengah hidup yang serba cepat, tokoh seperti Imam Nawawi mengajak kita untuk kembali pada makna sejati ilmu dan ketulusan beragama. Dari seorang pemuda desa kecil bernama Nawa di Damaskus, namanya kini dikenal seluruh dunia Islam. Apa yang membuatnya begitu berpengaruh? Mungkin jawabannya tidak hanya terletak pada keluasan ilmunya, namun juga keberpihakannya pada rakyat kecil.
Bagi Imam Nawawi, ilmu tidak hanya kumpulan teori. Ia hidup bersama rakyat, berbaur, dan tentu saja tak pernah ragu bersuara ketika kebijakan pemerintah merugikan mereka yang lemah. Ia tidak tunduk pada tekanan, dan tidak tergoda oleh janji-janji jabatan. Dalam diri an-Nawawi, ilmu menjadi dasar sikap dan keberpihakan, terutama kepada mereka yang tak mampu bersuara.
Ada banyak orang mengenal Imam Nawawi melalui karya-karya yang pernah ia tulis dan terus melegenda hingga hari ini, seperti para santri, akademisi, dan orang-orang dari kalangan terpelajar. Kitab karyanya seperti Majmu’ Syarhil Muhadzab menjadi salah satu referensi penting, khususnya dalam menjawab persoalan umat yang terus terjadi hingga hari ini.
Ada juga yang mengenalnya melalui kisah hidupnya yang sederhana dan disiplin, seperti guru ngaji, pengajar pesantren, peminat sejarah, dan tentu saja mereka yang hidup dalam tradisi keilmuan klasik Islam, khususnya yang menyaksikan perjalanan hidup an-Nawawi.
Dan ada pula yang mengenalnya sebagai sosok ulama yang selalu berpihak pada rakyat kecil ketika kebijakan pemerintah merugikan mereka, seperti aktivis sosial, pegiat keadilan, pekerja kemanusiaan, akademisi kritis, atau siapa saja yang terlibat dalam advokasi dan kerja-kerja pembelaan terhadap kelompok marjinal.
Ada salah satu kisah menarik dari Imam an-Nawawi, bagaimana kemudian ulama yang kita kenal sebagai ulama yang menempati posisi sangat penting dalam mazhab Syafi’i ini menantang kebijakan pemerintah yang sangat merugikan rakyat kecil saat itu. Berikut kisahnya.
Imam Nawawi Menantang Kebijakan Pemerintah
Dikisahkan, bahwa setelah berbulan-bulan berada dalam cengkeraman ketakutan akibat serangan pasukan Tatar, penduduk Damaskus akhirnya bisa menarik napas lega. Pasukan Tatar yang sempat menguasai wilayah Syam, menjarah tanah, dan menguasai sejumlah kota penting, berhasil dipukul mundur oleh Sultan ad-Dahir Baibars dalam pertempuran sengit.
Kemenangan itu menjadi titik balik. Sultan kembali ke Damaskus sebagai pahlawan, disambut dengan rasa syukur oleh rakyat. Kehidupan perlahan pulih, para pedagang kembali membuka lapak, para petani mulai menengok ladang, dan para pejabat sibuk merapikan ulang catatan kepemilikan serta urusan negara yang sempat kacau selama perang.
Namun justru pada titik tenang itulah muncul ketegangan baru. Sultan Baibars, dalam upayanya menata ulang kota yang porak-poranda, menunjuk seorang dari kalangan Hanafiyyah untuk mengelola harta rampasan dan tanah-tanah yang sebelumnya sempat dikuasai Tatar. Menurutnya, tanah-tanah itu telah sah berpindah tangan. Maka mulailah pemerintah menarik kendali atas kebun-kebun dan ladang-ladang subur milik rakyat Damaskus.
Sebagian ulama memilih diam, maklum dengan situasi politik yang masih rapuh saat itu. Tapi tidak dengan Imam Nawawi. Ia berdiri dan mengahadap langsung kepada Sultan Baibars di Majlis Keadilan (darul adl) saat itu. Di tempat itu, ia berdiskusi dengan sang sultan, membahasnya lebih mendalam, dan mengajaknya untuk kembali memandang rakyat dengan penuh kasih sayang.
Namun sayang seribu sayang, ajakan Imam Nawawi sama sekali tidak didengarkan dan tidak diindahkan oleh sang Sultan, bahkan ia murka dan berencana untuk mencopot dan menyingkirkan an-Nawawi dari Damaskus. Namun, Imam Nawawi tetap pada pendiriannya. Karena ia memang tidak memiliki kedudukan yang bisa dicopot, tidak pula memiliki jabatan yang membuatnya takut kehilangan.
Ketegangan itu tak berhenti di satu pertemuan. Beberapa kali, Imam Nawawi kembali mendatangi Sultan, baik di gunung, di majelis, bahkan di tempat-tempat yang membuat penasihat Sultan sendiri cemas akan keselamatan sang imam. Tapi Imam Nawawi tak bergeming. Baginya, tanah rakyat tidak bisa diambil oleh penguasa begitu saja. Dan membela hak mereka tidak sekadar keberpihakan, melainkan kewajiban.
Selain mendatanginya secara langsung, Imam Nawawi juga tak henti-hentinya mengirim surat kepada Sultan. Tidak hanya sekali dua kali, tapi berulang kali. Surat-surat itu menjadi bagian dari ikhtiarnya untuk terus menasihati, mengingatkan, menegur, dan menyuarakan keberpihakan pada rakyat kecil, meskipun ia tahu risikonya. Dalam suratnya itu, ia berkata:
قَدْ لَحِقَ الْمُسْلِمِيْنَ بِسَبَبِ هَذِهِ الْحَوْطَةِ عَلىَ أَمْلاَكِهِمْ، أَنْوَاعٌ مِنَ الضَّرَرِ لاَ يُمْكِنُ التَّعْبِيْرُ عَنْهَا، وَطُلِبَ مِنْهُمْ إِثْبَاتٌ لاَ يَلْزَمُهُمْ، فَهَذِهِ الْحَوْطَةُ لاَ تَحِلُّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ، بَلْ فِي يَدِهِ شَيْءٌ فَهُوَ مِلْكُهُ، لاَ يَحِلُّ الْاِعْتِرَاضُ عَلَيْهِ، وَلاَ يُكَلَّفُ بِإِثْبَاتِهِ. وَقَدِ اشْتُهِرَ مِنْ سِيْرَةِ السُّلْطَانِ أَنَّهُ يُحِبُّ الْعَمَلَ بِالشَّرْعِ وَيُوْصِي نُوَّابَهُ بِهِ فَهُوَ أَوْلىَ مَنْ عَمِلَ بِهِ
Artinya, “Dan telah menimpa kaum Muslimin akibat penyitaan (keputusan) atas harta milik mereka, berbagai jenis kerugian tak terungkap dengan kata-kata. Mereka diminta memberikan bukti kepemilikan yang sebenarnya tidak wajib atas mereka. Padahal penyitaan seperti ini tidak dibenarkan oleh seorang pun dari kalangan ulama Muslim. Jika sesuatu sudah berada dalam genggamannya (seseorang), maka itu adalah miliknya, tidak halal untuk diganggu atau dipertanyakan, dan ia tidak dibebani untuk membuktikannya.
Padahal telah masyhur dalam sejarah hidup Sultan bahwa ia mencintai penerapan syariat, dan ia mewasiatkan para pejabatnya agar berpegang padanya. Maka sudah sepantasnya dialah yang paling layak untuk mengamalkannya.” (as-Sakhawi, al-Manhalul Adzbir Rawi fi Tarjamatil Quthbil Auliya an-Nawawi, [Kairo: Darul Minhaj, t.t], halaman 32).
Imam Nawawi tidak hanya menasihati Sultan atau berdalil dengan hukum syariat saja. Ia juga bersuara atas nama rakyat yang paling terdampak. Dalam surat-suratnya, ia menyampaikan bahwa keputusan penyitaan tanah dan harta milik rakyat justru mencederai mereka yang paling lemah, mulia dari anak-anak yatim, para janda, petani miskin, dan orang-orang saleh yang hidup bersahaja. Alih-alih berbicara kaku dalam bahasa hukum, ia menyentuh hati Sultan dengan bahasa kemanusiaannya. Ia mengingatkan bahwa dengan keberadaan mereka-lah, negeri ini diberi rezeki, diberi pertolongan, dan dijaga keberkahannya.
Setelah menjelaskan bahwa dalam penyitaan ini mencederai banyak pihak lemah, Imam Nawawi kemudian menggambarkan betapa berat penderitaan yang dialami rakyat akibat penyitaan tanah mereka. Dalam lanjutan suratnya, ia mengatakan:
وَلَوْ رَأَى السُّلْطَانُ مَا يَلْحَقُ النَّاسَ مِنَ الشَّدَائِدِ لاَشْتَدَّ حُزْنُهُ عَلَيْهِمْ، وَأَطْلَقَهُمْ فِي الْحَالِ وَلَمْ يُؤَخِّرْهُمْ، وَلَكِنْ لاَ تُنْهَي إِلَيْهِ الْأُمُوْرُ عَلىَ وَجْهِهَا، فَبِاللّهِ أَغِثِ الْمُسْلِمِيْنَ يُغِثْكَ اللهُ، وَارْفُقْ بِهِمْ يَرْفُقِ اللهُ بِكَ، وَعَجِّلْ لَهُمُ الْإِفْرَاجَ قَبْلَ وُقُوْعِ الْأَمْطَارِ وَتَلَفِ غُلاَّتِهِمْ، فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ وَرِثُوْا هَذِهِ الْأَمْلاَكَ مِنْ أَسْلاَفِهِمْ، وَلاَ يُمْكِنُهُمْ تَحْصِيْلُ كُتُبِ شِرَاءٍ، وَقَدْ نُهِبَتْ كُتُبُهُمْ
Artinya, “Seandainya Sultan melihat sendiri kesulitan-kesulitan yang menimpa rakyat, niscaya ia akan sangat bersedih atas mereka, kemudian segera membebaskan mereka tanpa menunda-nunda. Tetapi, hal-hal seperti ini tidak sampai kepadanya sebagaimana mestinya. Maka demi Allah, tolonglah kaum Muslimin, niscaya Allah akan menolongmu. Berlemahlembutlah kepada mereka, niscaya Allah akan berlemahlembut kepadamu.
Segerakanlah pembebasan mereka sebelum datangnya hujan dan rusaknya hasil panen mereka. Karena kebanyakan dari mereka mewarisi tanah-tanah itu dari leluhur mereka, dan mereka tidak bisa mendapatkan dokumen pembelian, karena dokumen-dokumen mereka telah dijarah.” (As-Sakhawi, hal 34).
Konon, Sultan Baybars yang semula naik pitam karena desakan Imam Nawawi, akhirnya ia melunak setelah membaca salah satu suratnya. Ia tak menjumpai cacian, tak pula ancaman. Tapi setiap baris dalam surat itu terasa menusuk, tidak karena kerasnya kata, melainkan karena benarnya isi. Di hadapan para pejabatnya, Sultan akhirnya berkata, “Aku takut padanya.”
Tentu saja, kata takut yang disampaikan sang sultan tidak bermakna takut karena kuasa atau pengaruh politik maupun ancaman, karena sang sultan memiliki banyak pasukan. Ia takut karena segan, betapa teguhnya sosok seperti Imam Nawawi yang tak bisa dibeli dan tak mau diam ketika rakyat kecil tertindas.
Pada akhirnya, suara dan surat yang disampaikan itu membuahkan hasil. Sultan Baibars memutuskan untuk membatalkan rencana penyitaan tanah-tanah rakyat di Damaskus. Ia mengembalikan hak-hak mereka, membebaskan mereka dari segala tekanan, dan memerintahkan agar rakyat kecil dibiarkan kembali bekerja di ladang dan kebun mereka tanpa rasa takut akan gangguan dari penguasa. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko