Hikmah

Kisah Harut dan Marut dalam Pandangan Imam Fakhruddin Ar-Razi

Ahad, 25 Mei 2025 | 12:00 WIB

Kisah Harut dan Marut dalam Pandangan Imam Fakhruddin Ar-Razi

Ilustrasi literatur keislaman. Sumber: Canva/NU Online.

Pernah mendengar kisah Harut dan Marut, dua malaikat yang diturunkan ke bumi dan terjerumus dalam dosa? Kisah ini cukup populer dalam tradisi Islam, namun tidak semua ulama sepakat mengenai kebenaran atau tafsirnya, terutama tentang apakah Harut dan Marut benar-benar melakukan dosa besar. Salah satu ulama yang berhati-hati dalam menyikapi kisah ini adalah Fakhruddin Ar-Razi, seorang mufassir terkemuka yang mengkaji narasi ini dengan pendekatan rasional dan kritis, mempertanyakan sejauh mana kisah tersebut dapat diterima secara teologis.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai latar belakang dan tujuan diturunkannya Harut dan Marut. Salah satu riwayat yang populer, sebagaimana dikutip dari Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa para malaikat sempat mempertanyakan hikmah penciptaan manusia yang berpotensi membuat kerusakan di bumi. Untuk menguji mereka, Allah menugaskan Harut dan Marut turun ke bumi dengan diberi sifat syahwat seperti manusia, namun dengan peringatan tegas untuk tidak melakukan kejahatan.


Awalnya, mereka ditugaskan menyebarkan keadilan, tetapi kemudian tergoda oleh seorang wanita cantik, yang menurut riwayat tertentu bernama Zuhrah. Godaan ini membuat mereka jatuh dalam dosa besar, seperti meminum khamr, berzina, membunuh, bahkan, menurut beberapa versi, melakukan syirik dengan menyembah berhala. Menyadari kesalahan mereka, Harut dan Marut menyesal dan memohon ampun. Allah memberikan pilihan antara siksa di dunia atau di akhirat, dan mereka memilih siksa dunia. Akibatnya, mereka digantung di Babilonia sambil mengajarkan sihir kepada manusia sebagai bagian dari ujian dan pelajaran bagi umat manusia.


Allah berfirman dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 102:

وَاتَّبَعُوْا مَا تَتْلُوا الشَّيٰطِيْنُ عَلٰى مُلْكِ سُلَيْمٰنَۚ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمٰنُ وَلٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوْتَ وَمَارُوْتَۗ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنْ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوْلَآ اِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْۗ فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُوْنَ بِه بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه وَمَا هُمْ بِضَاۤرِّيْنَ بِه مِنْ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَيَتَعَلَّمُوْنَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْۗ وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَه فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِه اَنْفُسَهُمْۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ


Artinya, “Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa Kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kufur, tetapi setan-setan itulah yang kufur. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia, yaitu Harut dan Marut. Padahal, keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah fitnah (cobaan bagimu) oleh sebab itu jangan sekali-kali kalian ingkar!” Maka, mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan (sihir)-nya, kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Sungguh, mereka benar-benar sudah mengetahui bahwa siapa yang membeli (menggunakan sihir) itu niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh, buruk sekali perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir jika mereka mengetahui(-nya).” (Al-Baqarah:102)


Imam As-Suyuthi dalam Nawahidul Abkar mengakui bahwa keseluruhan kisah ini valid, dan punya landasan kuat. 


قَوْلُهُ: (وَمَا رَوَى أَنَّهُمَا مَثَّلَا بَشَرَيْنِ وَرُكِبَ فِيهِمَا الشَّهْوَةُ فَتَعَرَّضَا لِامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا: زَهْرَةٌ) إِلَى آخِرِهِ. مَا ذَكَرَهُ مِنْ إِنْكَارِ ذَٰلِكَ سَبَقَ إِلَيْهِ جَمَاعَةٌ: مِنهُمْ: القَاضِي عِيَاضٍ فِي الشِّفَا وَلَيْسَ كَذَٰلِكَ، بَلِ القِصَّةُ ثَابِتَةٌ، وَقَدِ اسْتَوْعَبْتُ طُرُقَهَا فِي التَّفْسِيرِ المُسْنَدِ، وَالحَاصِلُ أَنَّهَا وَرَدَتْ مَرْفُوعَةً، مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا


Artinya, “Fakhruddin Ar-Razi berkata: “Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Harut dan Marut menjelma sebagai manusia dan dibekali dengan syahwat, lalu mereka tergoda oleh seorang wanita yang bernama Zuhrah,” dan seterusnya. Apa yang disebutkan oleh sebagian ulama sebagai penolakan terhadap kisah ini telah diungkapkan pula oleh sekelompok ulama lain, di antaranya Al-Qadi Iyadh dalam kitab Asy-Syifa. Namun, pandangan tersebut tidaklah tepat. Sebaliknya, kisah ini telah terbukti kebenarannya. Saya telah meneliti secara menyeluruh berbagai jalur periwayatannya dalam Tafsir Al-Musnad. Intinya, kisah ini diriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari Nabi) melalui hadits yang berasal dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhai keduanya.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Nawahidul Abkar Hasyiah ‘ala Tasfiril Baidhawi, [Makkah, Jami’ah Ummul Qura, 2005], Jilid II, hlm. 290).

 

Senada dengan As-Suyuthi, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan keterangan dengan substansi yang serupa, yaitu:


قِصَّةُ هَارُوتَ وَمَارُوتَ جَاءَتْ بِسَنَدٍ حَسَنٍ من حَدِيث بن عُمَرَ فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ وَأَطْنَبَ الطَّبَرِيُّ فِي إِيرَادِ طُرُقِهَا بِحَيْثُ يَقْضِي بِمَجْمُوعِهَا عَلَى أَنَّ لِلْقِصَّةِ أَصْلًا، خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ بُطْلَانَهَا كَعِيَاضٍ وَمَنْ تَبِعَهُ


Artinya, “Kisah Harut dan Marut datang dengan sanad hasan dalam hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad. Ath-Thabari pun memaparkan berbagai jalur periwayatannya secara rinci, sehingga secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kisah ini memiliki dasar (riwayat) yang dapat diterima; berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa kisah ini batil, seperti pandangan al-Qadhi ‘Iyadh dan para pengikutnya,” (Fathul Bari, [Beirut, Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1971], Jilid I, hlm. 191).


Imam Fakhruddin Ar-Razi, seorang mufassir terkemuka, menawarkan perspektif yang berbeda dalam menyikapi kisah Harut dan Marut. Ia tidak menolak kisah ini secara keseluruhan, namun juga tidak menerimanya begitu saja tanpa analisis mendalam. Dalam pandangannya, Allah memang menurunkan Harut dan Marut ke bumi untuk mengajarkan sihir kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 102 (Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Fikri, 1981], jilid III, hlm. 238-239).


Hanya saja, Ar-Razi dengan tegas menolak narasi yang menyebutkan bahwa kedua malaikat ini melakukan dosa besar seperti minum khamr, berzina, membunuh, atau bahkan syirik, yang kemudian dihukum dengan siksaan di Babilonia. Dengan pendekatan rasional dan teologis yang khas, Ar-Razi membangun argumen yang kuat untuk mempertahankan kemurnian sifat malaikat, sebagaimana diuraikan dalam Mafatih al-Ghaib.


Dalam Mafatihul Ghaib Jilid III, hlm. 237-238, Ar-Razi mengemukakan tiga argumen logis untuk menyanggah narasi dosa Harut dan Marut:

 
  1. Tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menyatakan bahwa Harut dan Marut melakukan perbuatan keji seperti minum khamr, berzina, membunuh, atau syirik, apalagi dihukum dengan digantung di Babilonia. Narasi ini lebih banyak bersumber dari riwayat yang tidak cukup kuat.
  2. 2. Banyak dalil naqli dan aqli yang menegaskan sifat ma’sum malaikat, yakni terpelihara dari dosa. Sifat ini sesuai dengan hakikat malaikat sebagai makhluk yang selalu taat kepada Allah.
  3. 3. Anggapan bahwa Harut dan Marut diberi pilihan antara siksa dunia atau akhirat dianggap tidak logis oleh Ar-Razi. Seharusnya, sebagaimana manusia diberi kesempatan untuk bertobat, bahkan bagi pelaku syirik, malaikat juga seharusnya memiliki kesempatan serupa, bukan langsung dihadapkan pada pilihan siksa.


Lalu, apa tujuan Allah menurunkan Harut dan Marut ke bumi? Imam Ar-Razi menawarkan dua penjelasan yang berbeda dari narasi populer:

  1. Membedakan Sihir dan Mukjizat: Pada masa itu, banyak tukang sihir yang mengaku sebagai nabi dan menyesatkan manusia dengan sihir mereka. Allah mengutus Harut dan Marut untuk mengajarkan sihir kepada manusia agar mereka dapat membedakan antara sihir yang bersifat tipuan dan mukjizat yang merupakan tanda kenabian.
  2. Melawan Sihir Jin: Sihir yang dilakukan oleh jin pada waktu itu sering kali tidak dapat ditandingi oleh manusia. Oleh karena itu, Allah menurunkan Harut dan Marut untuk mengajarkan cara menghadapi dan menangkal sihir jin, sehingga manusia tidak lagi tertipu (Mafatihul Ghaib, Jilid III, hlm. 237-238).

Pandangan Imam Ar-Razi ini diperkuat oleh firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 102:


وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ


Artinya, “Padahal, keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanyalah fitnah (cobaan bagimu) oleh sebab itu janganlah kufur!'”

.  
Ayat ini menunjukkan bahwa Harut dan Marut memberikan peringatan tegas sebelum mengajarkan sihir, menegaskan bahwa tujuan mereka adalah sebagai ujian bagi manusia, bukan untuk mendorong kemaksiatan. Sihir yang diajarkan dimaksudkan untuk membantu manusia melawan penyihir dan membedakan kebenaran dari tipu daya. Namun, Ar-Razi juga mengakui bahwa manusia yang diajarkan sihir bisa saja menyalahgunakannya untuk tindakan maksiat.


Dari pandangan Ar-Razi, kita dapat menarik beberapa pelajaran moral yang relevan dengan kehidupan modern, terutama di era digital saat informasi menyebar dengan cepat melalui media sosial:

  1. Sikap Kritis terhadap Informasi: Dengan pendekatan rasional dan tajam, Ar-Razi mengajarkan pentingnya memverifikasi kebenaran informasi sebelum menerimanya. Di tengah maraknya berita hoaks yang disebarkan oleh pihak tidak bertanggung jawab, pendekatan ini menjadi oase yang menyejukkan, mendorong kita untuk selalu kritis dan tidak menelan informasi mentah-mentah.
  2. Hati-Hati dalam Menuduh: Ar-Razi menolak tuduhan bahwa Harut dan Marut melakukan dosa besar karena bertentangan dengan dalil aqli dan naqli. Dalam kehidupan sosial, kita harus berhati-hati agar tidak menyebarkan tuduhan atau gosip tanpa bukti kuat, yang dapat merusak reputasi orang lain.
  3. Etika Penggunaan Media: Sihir yang diajarkan Harut dan Marut memiliki tujuan mulia, namun dapat disalahgunakan untuk kejahatan. Demikian pula, media dan teknologi modern adalah alat bermata dua yang dapat membawa manfaat atau kerusakan, tergantung pada penggunanya. Kesadaran etis dalam memanfaatkan media menjadi sangat penting.
  4. Menghargai Perbedaan Pendapat: Kritik Ar-Razi terhadap narasi populer tidak bertujuan untuk memecah belah, melainkan untuk memperkaya wacana intelektual dalam Islam. Perbedaan sudut pandang adalah cerminan kekayaan literasi, yang mendorong kita untuk berpikir jernih, objektif, dan tidak fanatik terhadap satu pendapat atau figur.


Dengan demikian, pandangan Fakhruddin Ar-Razi tentang kisah Harut dan Marut tidak hanya menawarkan analisis teologis yang mendalam, tetapi juga pelajaran berharga tentang cara menyikapi informasi, menjaga etika, dan menghargai keragaman pemikiran dalam kehidupan sehari-hari.


Sayyid Munazir, Mahasiswa Pascasarjana Ushuluddin di Yarmouk University, Yordania, dan Alumnus Pondok Pesantren MUDI Mesra, Aceh.