Ilmu Al-Qur'an

Kisah Israiliyat, antara Mengimani dan Mengingkari (I)

Jum, 11 November 2022 | 13:00 WIB

Kisah Israiliyat, antara Mengimani dan Mengingkari (I)

Israiliyah menjadi salah satu tafsir Al-Quran yang terpengaruh oleh norma dan mitologi Bani Israil. (Ilustrasi: shutterstock)

Sejarah peradaban Islam tidak akan pernah selesai untuk didiskusikan, dibukukan, dan dikaji dengan teliti dan lebih mendalam. Hal ini sebagai bukti bahwa peradaban Islam tidak lahir dari ruang hampa. Setiap zaman memiliki cerita dan kisah yang berbeda.


Jika sejarah pada masa Nabi Muhammad memiliki kisah tentang upaya dan perjuangan untuk mengajarkan sekaligus menyebarkan ajaran Islam, mulai dari semenanjung Arab sampai keluar jazirah Arab dengan cara yang baik, lembut, sopan, hingga berujung perang, maka para nabi sebelum Rasulullah juga memiliki kisah yang tidak kalah menarik darinya. Akan tetapi kisah-kisah ini sering dimodifikasi, bahkan cenderung mengada-ada dan tidak sesuai dengan fakta, misalnya, kisah israiliyat.


Kisah israiliyat menjadi salah satu kisah para nabi di masa lampau yang terjadi sebelum diutusnya Nabi Muhammad, dan beberapa di antaranya sudah dimodifikasi oleh sebagian orang. Kisah ini sebenarnya dinisbatkan kepada Bani Israil, akan tetapi, pada akhirnya menyebar dengan sangat pesat, dari mulut ke mulut, hingga banyak diyakini oleh orang-orang.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Misalnya, sebagian dai, bahkan dalam kitab-kitab tafsir juga sering disebutkan, bahwa Nabi Ayyub pernah sakit dalam jangka waktu yang sangat panjang, kulitnya sampai melapuh hingga badannya dipenuhi dengan ulat, dan penyakit-penyakit lainnya. Bahkan, saking parahnya penyakit yang menimpa Nabi Ayyub, anak dan istrinya pergi meninggalkannya.


Kisah ini menjadi bagian dari cerita israiliyat yang sudah sangat masyhur di kalangan masyarakat. Di satu sisi, kisah ini memiliki makna yang sangat luar biasa sebagai representasi kesabaran sekaligus menjadi motivasi untuk selalu bersabar bagi umat Islam ketika menghadapi ujian dengan bentuk apapun, akan tetapi, di sisi yang lain kisah ini justru bisa menurunkan derajat kenabian yang sifatnya sangat sakral. Lantas, bagaimana menyikapinya?

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Apakah Para Nabi Sakit?

Pertanyaan di atas menjadi salah satu topik yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kisah-kisah israiliyat. Para ahli sejarah lebih memandang sisi ujian yang diterima oleh para nabi sebelum diutusnya Nabi Muhammad, seperti sakit yang menimpa mereka dan sesamanya. Akan tetapi, sebagaimana yang telah disampaikan, kisah sakit itu memiliki banyak modifikasi dan cenderung mengada-ada.


Sebelum membahas lebih dalam, ada poin penting yang perlu diketahui dalam membahas hal ini, bahwa para nabi adalah manusia biasa yang juga bisa merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya, mereka bisa sakit, lapar, kenyang, dahaga, tertawa, menangis, dan semacamnya. Ini sudah menjadi sesuatu yang wajar bagi para nabi yang memiliki sifat jaiz. Akan tetapi, sifat-sifat tersebut tetaplah sifat semurna baginya dan tidak sampai mengurangi kesempurnaan derajat kenabian yang ada dalam diri mereka.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Oleh karenanya, tidak heran jika dalam catatan sejarah, ada beberapa nabi yang oleh Allah diberi ujian dengan sakit dan lainnya. Akan tetapi, jika sakit yang mereka rasakan sampai menjadi penyebab dijauhi oleh umat, maka hal ini merupakan cerita-cerita batil yang tidak pernah terjadi kepada para nabi. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh aṭ-ṭanṭawi dalam tafsirnya, beliau mengatakan:


أَنَّ اللهَ عَصَمَ أَنْبِيَاءَهُ مِنَ الْأَمْرَاضِ الْمُنَفِّرَةِ، اَلَّتِى تُؤَدِّى إِلَى ابْتِعَادِ النَّاسِ عَنْهُمْ

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya, “Sungguh Allah menjaga para nabi-Nya dari sakit-sakit yang bisa menjauhkan, yang dengan (penyakit itu) berpotensi menjauhnya manusia dari mereka.” (Syekh aṭ-Tanṭawi, Tafsir al-Wasiṭ lil Qur’anil Azhim, [Mesir, Dar an-Nahdlah, cetakan pertama: 1998], juz I, halaman 3627).


Oleh karenanya, sebagai umat Islam, kita juga meyakini bahwa para nabi juga merasakan sakit sebagaimana manusia pada umumnya, mereka juga merasakan lapar, kenyang, tertawa dan menangis, akan tetapi semua yang mereka rasakan itu tidak sampai mengurangi derajat kenabiannya. Yang dimaksud “mengurangi” dalam konteks ini adalah bisa menjadi penyebab dijauhi oleh umat, tidak diterima, ditolak, dan semua keadaan yang tidak layak bagi seorang nabi dan rasul.


Pembagian Kisah Israiliyat

Sebagaimana tulisan di atas, kisah-kisah israiliyat terus berkembang dan semakin pesat, banyaknya para qusshash (tukang cerita) yang mampu menyampaikan keanehan-keanehan dengan beragam cara dalam menyampaikan kisah itu, sehingga masyarakat banyak percaya dan bahkan meyakini semua kisah itu.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Secara umum, para ulama membagi kisah-kisah yang terjadi pada para nabi sebelum Nabi Muhammad (israiliyat) menjadi beberapa bagian, di antaranya ada yang sahih (benar), bohong, dan tidak diketahui antara benar dan tidaknya. Sebab, kisah israiliyat tidak semuanya benar, juga tidak semuanya salah. Demikian pula, tidak semua kisah-kisah itu bertentangan dengan syariat Islam, ada beberapa kisah yang sejalan dengan ajaran Rasulullah, dan ada pula yang tidak.


Syekh Muhammad bin Muhammad bin Sualim Abu Syuhbah (wafat 1403 H) dalam kitab tafsirnya membagi kisah-kisah israiliyat menjadi tiga bagian, pertama, kisah israiliyat yang diketahui kebenarannya. Hal ini dibuktikan karena isinya sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, seperti cerita Nabi Musa dalam perjalanan spiritualnya untuk berguru kepada Nabi Khidir. Kisah israiliyat seperti ini boleh untuk diceritakan.


Kedua, cerita yang diketahui kebohongannya. Hal ini dibuktikan karena isinya bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits, seperti cerita tentang para Nabi yang isinya sampai mengurangi derajat ishmah (terjaga)nya mereka. Misalnya, kisah sakit yang dirasakan Nabi Ayyub. Menceritakan kisah israiliyat kedua ini hukumnya haram, kecuali juga disertai dengan penjelasan kebohongannya, dalam rangka untuk menjelaskan bahwa kepada khalayak umum bahwa kisah ini tidak benar.


Ketiga, cerita yang tidak diketahui benar dan tidaknya. Dalam hal ini, kita tidak mengimani dan tidak pula mengingkari, sebab ada kemungkinan benar dan ada pula kemungkinan salah, maka boleh disampaikan, namun lebih baik tidak menceritakannya. (Syekh Abu Syuhbah, al-Israiliyat wal Maudlu’at fi Kutubit Tafsir, [Maktabah Darussunnah, cetakan keempat: tanpa tahun], juz I, halaman 135).


Demikian tulisan tentang kisah israiliyat. Semoga dengan mengetahuinya, kita akan semakin berhati-hati dalam menyampaikan kisah-kisah para nabi. Kita tetap iman dengan segala ujian yang menimpa mereka, kita juga iman atas segala penyakit yang menimpanya, dan sama sekali tidak mengingkarinya apalagi menolaknya.


Para nabi juga manusia sebagaimana manusia pada umumnya. Apa yang dirasakan oleh manusia biasa, juga dirasakan oleh para nabi. Akan tetapi, jika penjelasan perihal ujian, cobaan, dan penyakit yang menimpa mereka justru bisa mengurangi derajat kenabian, maka kita harus ingkar dengan kisah ini. Sebab, para nabi tidak akan merasakan penyakit yang bisa mengurangi kesempurnaannya sebagai nabi.


Ustadż Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND