Nikah/Keluarga

3 Ketentuan bagi Wanita yang Ingin Bekerja saat Masa Iddah

Sabtu, 26 Juli 2025 | 07:00 WIB

3 Ketentuan bagi Wanita yang Ingin Bekerja saat Masa Iddah

Ilustrasi wanita. (Foto: NU Online)

Bekerja merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian wanita untuk memenuhi tuntutan hidup. Kondisi ekonomi yang tidak stabil mengharuskan mereka membantu suami untuk menutupi kekurangan belanja dan kebutuhan inti lainnya. Begitu juga wanita lajang yang terkadang harus bekerja demi membantu ekonomi keluarga agar dapat bertahan hidup.

 

Dalam pandangan Islam, pada dasarnya wanita diperkenankan meniti karier dengan bekerja di luar rumah selama tidak melanggar dari ketentuan syariat. Lalu bagaimana dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah, apakah juga diperbolehkan bekerja sebagaimana yang lain?

 

Wanita yang sedang iddah juga diperbolehkan bekerja di luar rumah, namun harus memenuhi 4 ketentuan yang lebih ketat daripada wanita lain yang tidak menjalani iddah. Ketentuan-ketentuan itu adalah sebagaimana berikut:

 

1. Memenuhi Kebutuhan Pokok

Wanita iddah boleh bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi memungkinkan seseorang tidak dapat bertahan hidup secara fisik, seperti bekerja untuk mendapatkan nasi, air dan yang lain. Syekh Ahmad Ash-Shawi menjelaskan:

 

و) للمعتدة (الخروج في حوائجها الضرورية كتحصيل قوت أو ماء أو نحوهما

Artinya, “Bagi wanita iddah boleh keluar memenuhi keperluan primer, seperti memperoleh makanan pokok, air, dan sebagainya.” (Syekh Ahmad Ash-Shawi, Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], jilid II, halaman 450).

 

Maka, ketentuan ini tidak berlaku untuk wanita yang memiliki stok makanan pokok yang cukup untuk bertahan hidup. Begitu juga bagi mereka yang memiliki aset yang memadai untuk keperluan sehari-hari. Bekerja pun juga sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar, sehingga harus berhenti jika hasil kerjanya cukup memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari selama masa iddah.

 

Dengan demikian, wanita yang sedang iddah juga tidak diperkenankan berdagang yang tujuannya untuk meningkatkan aset usaha yang dimiliki. Hal ini pernah ditegaskan oleh Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami:

 

ويحرم عليها أيضاً الخروج للتجارة لاستنماء مالها ونحو ذلك

 

Artinya, “Dilarang pula baginya keluar berdagang untuk pengembangan hartanya dan sebagainya.” (Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid II, halaman 330).

 

2. Tidak Ada yang Menanggung

Ketentuan berikutnya adalah  tidak ada pihak yang menanggung atau memenuhi kebutuhan wanita iddah sehingga jika tidak bekerja sendiri, maka tidak memperoleh apa pun untuk menutupi keperluan pokok sehari-hari. Sebagaimana penjelasan Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami berikut:

 

فالضابط في ذلك كل معتدة لا يجب لها نفقة ولم يكن لها من يقضيها حاجتها

 

Artinya, ”Patokan dalam hal ini adalah bagi setiap wanita iddah yang tidak berhak mendapat nafkah dan tidak ada siapa pun yang memenuhi kebutuhannya.” (Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid II, halaman 330).

 

Dengan demikian, wanita yang sedang iddah tidak boleh bekerja jika masih dalam tanggungjawab nafkah suami, seperti istri yang menjalani iddah karena cerai raj’i dan dicerai dalam kondisi mengandung. Maka, jika harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka wajib minta izin kepada suaminya, karena dia yang memiliki kewajiban memenuhi nafkah tersebut, baik untuk dirinya sendiri maupun anak-anaknya.

 

Begitu juga tidak boleh bekerja jika kebutuhan dasarnya sudah ada yang memenuhi, seperti difasilitasi oleh anak-anaknya dan keluarga yang lain, mendapat donasi dari dermawan, komunitas dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian terhadap wanita yang sedang menjalani iddah.

 

3. Bekerja di Siang Hari

Wanita iddah boleh bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok hanya di waktu siang hari dan tidak boleh di malam hari. Pasalnya, bekerja di malam hari berpotensi terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, apalagi bagi wanita yang memiliki pesona khusus. Syekh Khatib As-Syirbini menjelaskan:

 

لَهَا الْخُرُوجُ فِي النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَقُطْنٍ وَكَتَّانٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ

 

Artinya, “Ia diperbolehkan keluar pada siang hari untuk membeli makanan, kapas, linen, menjual benang, dan sebagainya, karena hajat.” (Syekh Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Ma'rifah: 1997], jilid III, halaman 527).

 

Bahkan sekali pun wanita tersebut memiliki profesi yang mengharuskannya bekerja di malam hari, hal tersebut tetap tidak diperbolehkan, kecuali tidak ada opsi lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka diperbolehkan bekerja di malam hari. Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami menjelaskan:

 

وكذا لها الخروج لذلك ليلا إن لم يمكنها نهارا

 

Artinya, “Begitu juga wanita iddah itu boleh keluar rumah di malam hari jika tidak memungkinkan di siang hari.” (Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid I, halaman 414).

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan boleh bekerja di masa iddah jika untuk memenuhi kebutuhan pokok, tidak ada yang memenuhi kebutuhannya kecuali bekerja sendiri serta bekerjanya hanya di waktu siang hari. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan dan Dosen IAI NATA Sampang Madura.