Apakah Pindah Agama Otomatis Jatuh Talak? Ini Penjelasan 4 Mazhab
Rabu, 25 Juni 2025 | 16:00 WIB
Perjalanan keyakinan seseorang terkadang dihadapi dengan penuh lika-liku dan pergulatan batin. Dalam memutuskan keyakinannya perlu banyak pertimbangan sebab hal itu akan membawa konsekuensi luas, tidak hanya dalam kehidupan pribadi, tapi juga dalam hubungan sosial dan keluarga.
Dalam konteks pernikahan, salah satu pertanyaan besar yang muncul ketika seseorang memutuskan untuk pindah agama adalah, apakah hal tersebut menjatuhkan talak secara otomatis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada sejumlah ketetapan hukum berdasarkan pendapat para ulama 4 mazhab.
Menurut mazhab Hanafiyah, apabila salah satu pasangan suami istri keluar dari agama Islam alias murtad, maka secara otomatis istrinya menjadi terpisah darinya, baik sang istri itu Muslimah maupun ahli kitab atau sudah terjadi hubungan badan (jima) maupun belum. Karena murtad bertentangan dengan pernikahan, maka hal itu menyebabkan fasakh (pembatalan) pernikahan secara langsung, bukan talak, dan tidak membutuhkan keputusan hakim (qadha’).
Jika murtad terjadi sebelum jima dan pihak yang murtad adalah suami, maka istri berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan atau mendapatkan mut‘ah (pemberian sebagai kompensasi). Namun jika pihak istri yang murtad, maka ia tidak berhak mendapatkan apapun. Jika murtad itu terjadi setelah jima, maka istri berhak mendapatkan seluruh mahar, baik yang murtad adalah suami maupun istri.
Menurut pendapat masyhur mazhab Malikiyah, apabila salah seorang pasangan suami istri murtad maka itu dihukumi sebagai talak bain. Jika pihak yang murtad itu kembali memeluk Islam, maka tidak bisa rujuk kecuali dengan akad baru. Ada juga pendapat lain dalam mazhab Malikiyah bahwa murtad itu adalah fasakh, bukan talak. (Kementerian Wakaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXII halaman 198).
Sementara itu, dalam mazhab Syafi'i, yang merupakan mazhab mayoritas muslim Indonesia, menegaskan bahwa jika salah satu dari suami istri murtad, maka dirinci menjadi dua. Pertama, jika murtad itu sebelum terjadinya hubungan badan (dukhul), maka pernikahan keduanya langsung batal (fasakh). Sebagai dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
ولا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوافِرِ
Artinya: "Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir." (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Kedua, jika murtad itu terjadi setelah hubungan badan, maka status pernikahan digantungkan (tidak langsung batal) sampai selesainya masa iddah istri. Jika pasangan yang murtad kembali masuk Islam sebelum masa iddah habis, maka pernikahan tetap sah dan berlanjut. Jika masa iddah habis dan pasangan yang murtad belum kembali Islam, maka pernikahan dianggap batal (fasakh) sejak saat murtad, dan wanita menjadi terpisah dari pasangannya. (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Muhadzab [Madinah, al-Maktabah as-Salafiyah :tt] juz XVI, halaman 316).
Adapun menurut pendapat mazhab Hanabilah, jika salah satu pasangan suami istri murtad sebelum terjadi jima, maka pernikahan langsung batal (fasakh) dan jika suami menjadi pihak yang murtad, maka istri mendapat separuh mahar. Jika istri yang murtad, maka dia tidak berhak atas mahar.
Jika murtad terjadi setelah jima, maka ada dua riwayat. Pertama, perpisahan (fasakh) terjadi secara langsung. Kedua, perpisahan menunggu sampai masa iddah selesai.
Selanjutnya, pengaruh murtad dalam hubungan pernikahan adalah menjadi terhalangnya hubungan suami istri dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
أَثَرُ الرِّدَّةِ عَلَى الزَّوَاجِ: اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا ارْتَدَّ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ حِيل بَيْنَهُمَا فَلاَ يَقْرَبُهَا بِخَلْوَةٍ وَلاَ جِمَاعٍ وَلاَ نَحْوِهِمَا
Artinya: “Pengaruh murtad atas pernikahan: para fuqaha sepakat bahwa apabila salah satu dari suami istri murtad (keluar dari Islam), keduanya menjadi terhalang, suami tidak boleh berkhalwat, berhubungan badan, atau hal-hal semisalnya." (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu..., juz XVI halaman 316).
Perbedaan Talak dan Faskh
Jika ditelisik lebih lanjut, pengaruh murtad dalam pernikahan menurut empat mazhab menunjukkan adanya perbedaan mendasar, yakni tentang apakah perpisahan keduanya termasuk fasakh atau talak. Mazhab Maliki menyatakan bahwa perpisahan tersebut adalah talak, sedangkan menurut tiga mazhab lainnya, termasuk fasakh.
Perlu diketahui bahwa istilah talak dan fasakh memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu sebagaimana berikut:
حقيقة كل منهما: الفسخ: نقض للعقد من أساسه وإزالة للحل الذي يترتب عليه، أما الطلاق: فهو إنهاء للعقد ولا يزول الحل إلا بعد البينونة الكبرى (الطلاق الثلاث
Artinya: "Hakikat masing-masing dari keduanya: Fasakh adalah pembatalan akad dari dasarnya dan penghilangan kehalalan yang ditimbulkan oleh akad tersebut. Adapun talak adalah pengakhiran akad dan tidak menghilangkan kehalalannya kecuali setelah bainūnah kubrā (talak tiga)." (Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 6864).
Perbedaan lainnya, fasakh tidak mengurangi bilangan talak. Artinya, meskipun sudah difasakh ke tiga kalinya tidak haram seperti haramnya talak bain kubro yang membutuhkan muhallil untuk menikahinya kembali.
ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻋﺪﺩ اﻟﻄﻼﻕ ﻓﻠﻮ ﻓﺴﺦ ﻣﺮﺓ ﺛﻢ ﺟﺪﺩ اﻟﻌﻘﺪ ﺛﻢ ﻓﺴﺦ ﺛﺎﻧﻴﺎ ﻭﻫﻜﺬا ﻟﻢ ﺗﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺤﺮﻣﺔ اﻟﻜﺒﺮﻯ، ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﺇﺫا ﻃﻠﻖ ﺛﻼﺛﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺗﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺤﺮﻣﺔ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻭﻻ ﺗﺤﻞ ﻟﻪ ﺇﻻ ﺑﻤﺤﻠﻞ
Artinya: "Bahwa fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Maka jika akad dibatalkan (difasakh) sekali, lalu dilakukan akad nikah ulang, kemudian dibatalkan lagi (difasakh) untuk kedua kalinya, dan seterusnya, maka istri tersebut tidak menjadi haram bagi suami dengan keharaman besar (taḫrîm kubrâ). Berbeda halnya jika suami menalak istrinya tiga kali, maka ia menjadi haram baginya dengan keharaman besar, dan tidak halal baginya kembali kecuali setelah istri menikah dengan orang lain (muḥallil).” (Bakri Syatha, I'anatut Thalibin, [Bairut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 383).
Dalam hukum positif Indonesia, pengaturan mengenai pindah agama dan dampaknya terhadap status pernikahan bisa ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang secara tegas mengatur bahwa perpindahan agama menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini tercantum dalam Pasal 116 huruf (h) KHI, yang menyebutkan bahwa:
"Perceraian dapat terjadi karena: ... h. Salah satu pihak murtad atau keluar dari agama Islam."
Walhasil, jika salah satu pasutri pindah agama, maka status pernikahannya rusak (fasakh), bukan talak. Kemudian, apabila ia kembali masuk Islam sebelum habisnya masa iddah, maka ia dapat kembali lagi menjadi suami istri yang sah tanpa akad atau rujuk. Berbeda jika ia taubat dan kembali memeluk agama Islam setelah berlangsungnya masa iddah, maka untuk menjadi pasutri yang sah, ia harus melakukan akad nikah kembali dengan mahar yang baru. (Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan Ali As-Syarbini, Al-Fiqh al-Manhaji [Damaskus, Darul Qalam, cetakan ketiga: 1992], juz VIII, halaman 108).
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo