Kisah Di Balik Turunnya Ayat Al-Qur'an tentang Tuduhan Zina
Senin, 14 Juli 2025 | 06:00 WIB
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai etika sosial, termasuk dalam urusan kehormatan manusia. Salah satu bentuk dari menjaga kehormatan manusia adalah disyariatkannya hukuman berat bagi siapa saja yang menuduh berzina tanpa adanya bukti konkret, yaitu menghadirkan 4 orang saksi yang dinilai memenuhi syarat sebagai saksi. Hukuman ini dalam literatur keislaman dikenal dengan sebutan haddul qadzaf, hukuman tuduhan zina. Sedangkan dalilnya tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nur. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَۙ
walladzîna yarmûnal-muḫshanâti tsumma lam ya'tû bi'arba‘ati syuhadâ'a fajlidûhum tsamânîna jaldataw wa lâ taqbalû lahum syahâdatan abadâ, wa ulâ'ika humul-fâsiqûn
Artinya: “Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (QS. An-Nur [24]: 4).
Hukuman bagi seseorang yang menuduh orang lain berzina bukan hanya berdosa besar, tetapi juga dikenai dera sebanyak delapan puluh kali serta hilangnya kredibilitas di mata hukum Islam. Dengan demikian, selain hukuman akhirat, pelaku juga mendapat hukuman dunia.
Para ulama menjelaskan bahwa hukum menuduh zina tidak semata berupa sanksi fisik, melainkan bertujuan menjaga ketenangan sosial, mencegah fitnah, serta mendidik masyarakat agar bertanggung jawab dalam berbicara. Setiap tuduhan tanpa bukti akan menyebabkan hilangnya kredibilitas seseorang secara syar'i.
Dengan demikian, hukum menuduh zina merupakan wujud keadilan dalam syariat Islam yang menjaga kehormatan individu sekaligus stabilitas sosial. Setelah menjelaskan hukuman berat bagi penuduh zina, pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍ ۢ بِاللّٰهِۙ اِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ
walladzîna yarmûna azwâjahum wa lam yakul lahum syuhadâ'u illâ anfusuhum fa syahâdatu aḫadihim arba‘u syahâdâtim billâhi innahû laminash-shâdiqîn
Baca Juga
Wali Nikah Anak Zina
Artinya: “Orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah atas (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang benar,” (QS. An-Nur [24]: 6).
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang menuduh istrinya berzina, tapi tidak bisa mendatangkan empat saksi, maka mereka harus bersumpah sebanyak empat kali sebagai ganti dari empat saksi tersebut.
Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tentang penyebab ayat ini diturunkan. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang disebut oleh Syekh Muhammad Amin dalam tafsir Nuzulu Kiramidh Dhifan fi Sahati Hada‘iqur Rauhi war Raihan (Beirut: Daru Thauqin Najah, 2001, jilid XIX, hal. 203-204) sebagaimana dalam kisah di bawah ini.
Kisah ini terjadi pada bulan Sya'ban tahun 9 Hijriah setelah Rasulullah SAW pulang dari perang Tabuk, terjadi pada sahabat Uwaimir bin Zaid Al-Ajlani, salah satu sahabat Nabi yang syahid dalam perang Uhud. Kisah ini bermula saat Uwaimir mendatangi Ashim bin Adi (pemimpin Bani Ajlani saat itu) untuk bertanya perihal lelaki yang ia temui sedang bersamaan dengan istrinya.
Uwaimir bertanya kepada Ashim, “Bagaimana pendapat Anda tentang lelaki yang menemukan istrinya sedang bersamaan dengan lelaki lain, apakah lelaki itu harus membunuh lelaki yang bersamaan dengan istrinya tersebut, atau apa yang harus diperbuatnya?” Lalu Uwaimir mengajukan permohonan, “Tolong, sampaikan masalah ini kepada Rasulullah Saw!”
Akhirnya Ashim bin Adî menghadap kepada Rasulullah SAW menuturkan masalah yang ditanyakan Uwaimir. Setelah Ashim menjelaskannya, ternyata Rasulullah SAW menunjukkan ihwal ketidaksenangannya kepada lelaki yang bertanya masalah ini.
Mengetahui bahwa Rasulullah SAW bersikap seperti itu, Ashim menemui Uwaimir dan langsung disambut dengan pertanyaan oleh Uwaimir, “Bagaimana?”
“Rasulullah SAW tidak senang dengan masalah ini dan mencelanya,” tutur Ashim kepada Uwaimir.
Mendengar penjelasan Ashim, Uwaimir sepertinya tidak puas dengan jawaban Rasulullah SAW. Lalu dia berkata, “Demi Allah! Masalah ini tidak akan sampai di sini saja, saya akan menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW.”
Uwaimir pun sowan kepada Rasulullah SAW dan menjelaskan masalah ini di hadapannya.
“Wahai Rasulullah! Ada lelaki yang memergoki istrinya bersamaan dengan lelaki lain, apakah lelaki itu harus membunuh lelaki yang bersamaan dengan istrinya tersebut, atau apa yang harus diperbuatnya?”
Tentu yang maksud lelaki itu adalah Uwaimir sendiri. Sedangkan si istri adalah istrinya. Rasulullah SWT tidak langsung menanggapi apa yang disampaikan Uwaimir. Namun, selang beberapa waktu beliau menanggapinya.
Menanggapi pertanyaannya, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh Allah SWT telah menurunkan (ayat) Al-Qur'an untukmu (Uwaimir) dan sahabat perempuanmu (istrinya).”
Setelah itu, Rasulullah SAW memerintahnya untuk saling melaknat (melakukan sumpah li’ân) dengan istrinya atas nama Allah dan dengan cara yang termaktub dalam Al-Qur’an. Uwaimir pun me-li'an istrinya. Kata Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi bahwa prosesi ini dilaksanakan setelah Asar di salah satu masjid.
فَلَاعَنَ بَيْنَهُمَا بَعْدَ الْعَصْرِ
Artinya: “(Prosesi) saling li’an (sumpah li'an antara keduanya (Uwaimir dan istrinya) terlaksana setelah Asar.” (Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsirul Qurthubi, [Mesir: Darul Kutub Al-Mishriyyan, 1964], jilid XII, hal. 184).
Karena sahabat Uwaimir tidak memiliki saksi selain dirinya sendiri, maka Rasulullah SAW memerintah untuk melaksanakan prosesi li'ân ini, sesuai dengan penjelasan ayat di atas bahwa “Orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah atas (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.” (QS. An-Nur [24]: 6).
Selain empat kali sumpah, lalu yang kelima dia harus mengucapkan satu pernyataan, sesuai dengan ayat berikutnya:
وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ
wal-khâmisatu anna la‘natallâhi ‘alaihi ing kâna minal-kâdzibîn
Artinya: “(Sumpah) yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Nu [24]r: 7).
Pernyataan kelima ini untuk menyatakan bahwa dia (suami yang menuduh istrinya tanpa empat saksi) bersedia menerima laknat Allah SWT, apabila dia berdusta.
Lalu, dua ayat selanjutnya menjelaskan bahwa istri yang dituduh berzina bisa lepas dari tuduhan itu dengan bersumpah empat kali juga, dan sumpah kelima sebagai penegas bahwa dia akan mendapatkan murka Allah SWT jika suaminya termasuk orang yang benar.
وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهٰدٰتٍ ۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الْكٰذِبِيْنَۙ وَالْخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللّٰهِ عَلَيْهَآ اِنْ كَانَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ
wa yadra'u ‘an-hal-‘adzâba an tasy-hada arba‘a syahâdâtim billâhi innahûb laminal-kâdzibînwal-khâmisata anna ghadlaballâhi ‘alaihâ ing kâna minash-shâdiqîn
Artinya: “Istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, (Sumpah) yang kelima adalah bahwa kemurkaan Allah atasnya (istri) jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang benar.” (QS. An-Nur [24]: 8-9).
Di penghujung kisah, setelah prosesi sumpah lian selesai dilaksanakan, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat, “Jika istri Uwaimir datang dalam kondisi kulitnya menghitam, kedua matanya hitam, pinggulnya besar, serta betisnya gemuk, maka Uwaimir adalah orang yang jujur. Namun, jika dia datang dalam keadaan kulitnya kemerahan seolah sedang kehausan, maka Uwaimir telah berdusta dengan tuduhannya terhadap sang istri.”
Akhirnya, sang istri datang dengan ciri-ciri persis seperti yang telah digambarkan oleh Rasulullah SAW, membuktikan bahwa sahabat Uwaimir bin Zaid Al-Ajlani adalah pihak yang benar. Dengan demikian, anak yang dilahirkan istrinya pun dinisbatkan kepada sang ibu, bukan kepada Uwaimir, sebagaimana ketentuan dalam hukum lian. Kisah ini menjadi pelajaran tentang hikmah syariat Islam dalam menjaga kejelasan nasab dan kehormatan keluarga. Wallahu a'lam.
Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil, Sekarang Aktif Menjadi Perumus LBM PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan.