Sirah Nabawiyah

Pengakuan Bangsa Arab Jahiliah terhadap Sakralitas Ka'bah

Sabtu, 7 Juni 2025 | 19:00 WIB

Pengakuan Bangsa Arab Jahiliah terhadap Sakralitas Ka'bah

Ilustrasi Ka'bah. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam keyakinan umat Islam, Ka'bah merupakan bangunan suci yang sangat sakral. Bagaimana tidak, mereka meyakini bahwa doa-doa yang dimunajatkan di dekat bangunan berbentuk kubus ini akan dikabulkan oleh Allah SWT. Bahkan, dalam satu hari, umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan shalat wajib lima waktu dengan menghadap ke tempat suci yang disebut sebagai Baitullah atau Rumah Allah itu. 


Namun, pernahkah kita berpikir bahwa dalam sejarahnya, Ka'bah juga menjadi situs yang sangat disakralkan oleh bangsa Arab Jahiliah, jauh sebelum Islam datang membawa risalah tauhid.


Sebelum Nabi Muhammad SAW hadir di Tanah Haram, kaum Arab Jahiliah telah lama menjadikan Ka'bah sebagai pusat keagamaan dan kebudayaan. Mereka meyakini bahwa Ka'bah adalah tempat yang penuh berkah dan kekuatan spiritual, meskipun pemahaman mereka tentang ketuhanan telah terdistorsi oleh berbagai bentuk kemusyrikan. Berbagai suku Arab dari seluruh penjuru Jazirah melakukan perjalanan ziarah ke Ka'bah dalam rangka menyembah berhala-berhala yang mereka tempatkan di sekitar dan bahkan di dalam bangunan suci itu.


Meskipun sarat dengan keyakinan politeistik, masyarakat Jahiliah tetap menunjukkan rasa hormat yang tinggi terhadap Ka'bah. Mereka meyakini bahwa tempat tersebut suci dan tidak boleh dinodai, bahkan oleh pertumpahan darah atau konflik antar suku.

 

Pada peristiwa pemugaran Ka'bah sebelum Nabi Muhammad diutus misalnya, Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya melaporkan bahwa saking hormatnya pada Ka'bah, mereka memastikan bahwa sumber dana pembangunannya harus berasal dari harta halal. Uang hasil judi, riba, atau hal-hal buruk lainnya, dilarang keras untuk didonasikan.


Berikut penulis kutipkan riwayat yang dikutip Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya:


فَلَمَّا أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ فِي هَدْمِهَا وَبِنَائِهَا، قَامَ أَبُو وَهْبِ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَائِذٍ بْنِ عَبْدٍ بْنِ عِمْرَانَ بْنِ مَخْزُومٍ – قَالَ ابْنُ هِشَامٍ: عَائِذِ بْنِ عِمْرَانَ بْنِ مَخْزُومٍ – فَتَنَاوَلَ مِنَ الْكَعْبَةِ حَجَرًا، فَوَثَبَ مِنْ يَدِهِ، حَتَّى رَجَعَ إِلَى مَوْضِعِهِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، لَا تُدْخِلُوا فِي بِنَائِهَا مِنْ كَسْبِكُمْ إِلَّا طَيِّبًا، لَا يَدْخُلْ فِيهَا مَهْرُ بَغِيٍّ، وَلَا بَيْعُ رِبًا، وَلَا مَظْلِمَةُ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ.


Artinya, "Ketika mereka telah sepakat untuk merobohkan dan membangun kembali Ka'bah, bangkitlah Abu Wahb bin 'Amr bin 'Ā'idz bin 'Abd bin 'Imrān bin Makhzūm, Ibnu Hisyām berkata: ('Ā'idz bin 'Imrān bin Makhzūm), lalu ia mengambil sebuah batu dari Ka'bah. Namun batu itu meloncat dari tangannya dan kembali ke tempat semula. Maka ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, jangan kalian masukkan ke dalam pembangunan Ka'bah ini kecuali dari harta yang bersih. Jangan ada yang berasal dari mahar seorang pezina, dari hasil riba, atau dari kezaliman terhadap siapa pun." (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, [Beirut: Darul Aqram: 2020, juz 1, h. 112).


Salah satu peristiwa yang cukup menarik saat peristiwa pemugaran Ka'bah adalah tidak ada masyarakat yang berani memulai merobohkan bangunan Ka'bah, sebelum akhirnya dibangun kembali dengan fondasi yang lebih kokoh. Mereka khawatir akan turun kutukan jika berani merusak bangunan suci itu. Di tengah keraguan itu, muncullah seorang tokoh Quraisy bernama Walid bin al-Mughirah. Dengan keberanian yang luar biasa, ia berkata, "Aku yang akan memulainya. Aku akan merobohkan bangunan ini agar kita bisa segera memulai renovasinya." 


Pernyataan itu membuat orang-orang yang hadir bergidik. Keberanian Walid bukan hanya mengejutkan, tapi juga menimbulkan kekhawatiran. Apakah tindakannya akan mendatangkan murka Tuhan atau kutukan? Setelah Walid benar-benar memulai perobohan sebagian bangunan Ka'bah, masyarakat tidak serta-merta melanjutkan pekerjaan tersebut. Mereka memilih untuk menunggu dan mengamati keadaan Walid selama satu malam. "Lihat saja nanti malam. Jika tidak terjadi apa-apa pada Walid, berarti Tuhan telah merestui renovasi ini," ujar salah seorang dari mereka dengan nada penuh harap sekaligus waswas.


Keesokan harinya, ketika mereka melihat bahwa Walid bin al-Mughirah baik-baik saja dan tidak mengalami musibah apa pun, barulah masyarakat Quraisy merasa mantap. Keyakinan ini menjadi isyarat bagi mereka bahwa Tuhan tidak murka, dan bahwa renovasi Ka'bah adalah tindakan yang direstui. Akhirnya, dengan penuh keyakinan, kaum Quraisy pun mulai bekerja sama membangun kembali Ka'bah. Mereka merobohkan bagian-bagian lama, memperkokoh fondasi, dan membangun ulang dengan penuh kehormatan, meskipun tetap dalam bingkai keyakinan jahiliah. (Ibnu Hisyam, h. 113).


Ekspresi penyakralan bangsa Arab Jahiliah terhadap Ka'bah ini cukup masyhur dan dilaporkan oleh banyak sejarawan Islam klasik. Selain Ibnu Hisyam, ada juga As-Suhaili dalam Raudhul Unuf, 'Abdussalam Muhammad Harun dalam Tazhib Sirah Ibni Hisyam, Jawwad 'Ali dalam Al-Mufashshal fi Tarikhir 'Arab Qablal Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, dan sebagainya.


Asal Mula Penyakralan Ka'bah

Salah satu pertanyaan penting yang layak diajukan terkait ekspresi penyakralan Ka'bah oleh bangsa Arab Jahiliah adalah, apa yang membuat mereka begitu meyakini Ka'bah sebagai bangunan sangat sakral? Bagi umat Islam, alasan penyakralan Ka'bah barangkali sudah jelas, karena dalam Al-Qur'an dan hadits banyak disebutkan keutamaan dan keagungannya. Namun, yang menjadi persoalan menarik adalah, atas dasar apa masyarakat Arab Jahiliah yang belum mengenal ajaran Islam menyakralkan Ka'bah? 


Salah satu alasan utama bangsa Arab Jahiliah menyakralkan Ka'bah adalah karena adanya warisan simbolik dan historis yang menghubungkan mereka dengan Nabi Ibrahim, sosok yang sangat dihormati sebagai pembangun Ka'bah. Hubungan ini memberi mereka legitimasi sosial dan religius di tengah masyarakat Arab yang sangat menghormati tradisi dan leluhur. Dengan menjaga dan menghormati Ka'bah, mereka merasa meneruskan nilai-nilai keagungan Ibrahim.


Selain aspek simbolik tersebut, penyakralan Ka'bah oleh bangsa Arab Jahiliah juga berkaitan dengan kepentingan sosial-politik mereka. Ka'bah menjadi pusat ritual dan kegiatan keagamaan yang mengumpulkan berbagai suku Arab.  Dengan begitu, Ka'bah menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik bagi suku Quraisy yang menjaga dan mengelolanya. Pendek kata, penyakralan Ka'bah memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin dan penjaga tradisi yang sakral.


Dalam catatan para sejarawan Islam klasik dan pakar nasab, disebutkan bahwa bangsa Arab (terutama suku Quraisy) yang menjadi mayoritas penduduk di Makkah hingga menjelang Nabi Muhammad diutus merupakan kelompok Arab Musta'rabah, yaitu bangsa Arab yang memiliki hubungan nasab dengan Ismail 'alaihissalam (putra Ibrahim). Hal ini, antara lain, dapat ditemukan pada laporan Sumair Abdurrazaq Qutb dalam Ansābul 'Arab.


Sumair menjelaskan bahwa ketika Ismail berusia 14 tahun, ia tinggal di Makkah bersama Suku Jurhum Dua atau Jurhum ats-Tsāniyah (Jurhum yang berasal dari Bani Qahthān). Peristiwa ini terjadi sekitar 2.733 tahun sebelum hijriyah. Ismail kemudian menikah dengan salah seorang wanita Jurhum dan belajar bahasa Arab darinya. Sebagaimana diketahui, Ismail adalah anak Hajar, yang menurut banyak riwayat berasal dari Mesir, bukan bagian dari Jazirah Arab. Maka, wajar jika dia tidak bisa bahasa Arab.


Dari pernikahan tersebut, Ismail memiliki dua belas anak yang kemudian menjadi mayoritas penduduk bangsa Arab hingga saat ini. (Qutb, Ansābul 'Arab, [Beirut: Maktabah Dārul Bayān, t.t]: h.182–183).


Bangsa Arab dari keturunan Ismail ini disebut sebagai Arab Musta'rabah. Secara bahasa, musta'rabah berarti "yang diarabkan", maksudnya orang yang bukan berasal dari Arab namun kemudian menetap di wilayah Arab dan menjadi bagian dari penduduk setempat. Hal ini karena Ismail bukan keturunan Arab, tetapi kemudian tinggal di Arab dan menguasai bahasa serta budaya lokal.


Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.