Al-Qasamah, Metode Pembuktian Kasus Pembunuhan Masa Jahiliyah yang Diadopsi Nabi
Kamis, 21 Agustus 2025 | 07:00 WIB
Islam adalah agama yang sangat menghormati harga diri dan sangat menjaga keselamatan jiwa manusia. Bahkan, hifzhun nafs (menjaga jiwa/nyawa) merupakan bagian dari salah satu dari maqasyidus syariah (tujuan-tujuan syariat). Mengingat pentingnya hal ini, dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ
Artinya: “Amal yang pertama kali diadili di antara manusia adalah urusan (pertumpahan) darah; pembunuhan.” (HR Imam Muslim).
Hadits ini tidak hanya memberi pemahaman tentang ancaman pedih bagi pelaku pembunuhan, tapi juga mengisyaratkan bahwa agama Islam sangat menghormati dan menjaga jiwa manusia.
Meski diberikan ancaman, kasus pembunuhan masih tetap saja marak terjadi, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, selama tahun 2024 tercatat ada 1.118 kasus pembunuhan.
Motifnya bermacam-macam, tempat dan pelakunya pun bervariatif. Dari semua kasus pembunuhan, kasus yang paling lama penanganannya biasanya adalah kasus pembunuhan yang pelakunya tidak ditemukan secara pasti dan bukti-bukti di TKP pun minim.
Meski ada kasus yang sulit dipecahkan, tindak pidana pembunuhan tetap harus ada penyelesaiannya, termasuk dalam kasus pembunuhan yang tidak ada saksi atau pengakuan dari pelakunya. Dalam keadaan ini, Islam hadir memberikan solusi dengan memberlakukan al-qasamah, yaitu pembuktian kasus tindak pidana pembunuhan abu-abu atau pembunuhan yang pelakunya tidak diketahui.
Dalam Islam terdapat empat cara pembuktian tindak pidana pembunuhan, yaitu: (1) dengan pengakuan (iqrar); (2) dengan persaksian (syahadah); (3) bukti kuat; dan (4) sumpah di pengadilan (al-qasamah).
Bisa dikatakan, IsIam memberlakukan al-qasamah sebagai alternatif atau solusi supaya tidak ada kasus pembunuhan yang terabaikan. Dengan demikian, metode al-qasamah ini semakin memperkuat bukti bahwa dalam ajaran Islam, menjaga jiwa menjadi perhatian utama.
Walaupun pada awalnya al-qasamah merupakan salah satu pembuktian pada masa Jahiliyah, tapi Nabi tetap menggunakannya. Dengan kata lain, Nabi mengadopsi metode al-qasamah sebagai alternatif penyelesaian kasus pembunuhan yang pelakunya tidak diketahui.
وقد كانت القسامة معروفة في الجاهلية، وأول من قضى بها الوليد بن المغيرة، ثم جاء الإسلام فأقرها بقيود وضوابط وشروط
Artinya: “Al-Qasamah telah dikenal sejak masa jahiliah. Orang pertama yang mempraktikkannya adalah Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Islam datang sekaligus mengakuinya (mengadopsinya) dengan batas-batas dan cara-cara (yang telah ditetapkan).” (Dr. Musthafa Al-Khin Dkk, Al-Fiqhul Manhaji 'ala Madzhabil Imam As-Syafi'i, [Suriah: Darul Qalam, 1992], jilid VIII, hal. 48).
Hadits tentang Al-Qasamah
Syekh Taqiuddin al-Hishni, dalam Kifayatul Akhyar merekam hadits yang dijadikan dasar utama dalam memberlakukan al-qasamah. Berikut redaksinya:
وَالْأَصْل فِي الْقسَامَة مَا روى سهل بن أبي خَيْثَمَة قَالَ انْطلق عبد الله بن سهل ومحيصة بن مَسْعُود إِلَى خَيْبَر وَهِي يَوْمئِذٍ صلح فتفرقا فَأتى محيصة إِلَى عبد الله بن سهل وَهُوَ يَتَشَحَّط فِي دَمه قَتِيلا فدفنه ثمَّ قدم الْمَدِينَة فَانْطَلق عبد الرَّحْمَن بن سهل وحويصة ومحيصة ابْنا مَسْعُود إِلَى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَذهب عبد الرَّحْمَن يتَكَلَّم فَقَالَ كبر كبر وَهُوَ أحدث الْقَوْم فَسكت فتكلما فَقَالَ أتحلفون وتستحقون دم قاتلكم أَو صَاحبكُم فَقَالُوا كَيفَ نحلف وَلم نشْهد وَلم نر قَالَ فتبرئكم يهود بِخَمْسِينَ يَمِينا مِنْهُم فَقَالُوا كَيفَ نَأْخُذ بأيمان قوم كفار فعقله النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من عِنْده
Artinya: "Dalil diberlakukannya al-qasamah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Abi Khaitsamah. Beliau berkata: Abdullah bin Sahal dan Muhaishah bin Mas'ud bersafar ke Khaibar—Pada saat itu sedangkan terjadi perdamaian/perjanjian Khaibar. Lalu keduanya berpisah (memenuhi keperluannya masing-masing). Tidak berselang lama, Muhaishah mendapati Abdullah telah terbunuh berlumuran darah, lalu dia mengebumikan Abdullah bin Sahal.
Setelah sampai di Madinah, Abdurrahman bin Sahal, Huaishah bin Mas'ud, dan Muhaishah bin Mas'ud sowan kepada Nabi SAW (menanyai ihwal terbunuhnya Abdullah). Abdurrahman menghadap ingin berbicara, tapi Nabi SAW berkata, dahulukanlah yang lebih tua, dahulukanlah yang lebih tua! —di antara mereka bertiga yang paling muda adalah Abdurrahman— Akhirnya Abdurrahman berdiam, lalu Huaishah bin Mas'ud, dan Muhaishah bin Mas'ud menceritakan tentang terbunuhnya Abdullah bin Sahal.
Nabi pun menimpalinya dengan sebuah pertanyaan: Maukah kalian bersumpah 50 kali, setelah bersumpah maka kalian berhak menuntut balas atas kematian saudara kalian?
Mereka pun menjawab: Bagaimana mungkin kami bersumpah atas apa yang tidak kami saksikan dan lihat?
Nabi SAW berkata: Kalau begitu, mereka orang Yahudi bebas dari tuduhan jika mereka mau bersumpah 50 kali.
Bagaimana mungkin kami menerima sumpah-sumpah mereka para kafir?
Nabi SAW pun membayar diyat dengan harta pribadinya.” (Syekh Taqiuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Irak: Darul Khair, 1994,] hal. 470)
Pada prinsipnya, hadits ini keluar dari ketentuan umum cara penerapan dakwaan. Sebab pada dasarnya ketentuan umum dakwaan, sumpah diarahkan ke pihak tertuduh. Artinya, yang melakukan sumpah adalah pihak tertuduh sedangkan penuduh wajib mendatangkan bukti. Sebagaimana ketentuan umum yang termaktub dalam hadits berikut:
الْبَيِّنَة على الْمُدَّعِي وَالْيَمِين على الْمُدعى عَلَيْهِ
Artinya: “Pendakwa wajib mendatangkan bukti, dan bagi pihak tertuduh harus bersumpah jika mengingkarinya.” (HR. Imam Baihaqi).
Selain keluar dari ketentuan umum, ada perbedaan yang mencolok antara hadits ini dengan hadits al-qasamah sebelumnya, perbedaannya terletak pada jumlah sumpah. Dakwaan-dakwaan selain dalam al-qasamah bersumpah sekali, tapi penerapan al-qasamah sumpah dilakukan 50 kali oleh pihak penuduh, seperti yang diperintahkan Oleh Nabi SAW kepada Huaishah bin Mas'ud, dan Muhaishah bin Mas'ud saat menceritakan tentang terbunuhnya Abdullah bin Sahal.
Jika demikian, artinya hadits ini terkesan bertentangan? Jawabannya tentu saja tidak. Kedua hadits ini saling berkaitan. Mari kita perhatikan penjelasan berikut:
وَهَذَا الحَدِيث مُخَصص لعُمُوم قَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام الْبَيِّنَة على الْمُدَّعِي وَالْيَمِين على الْمُدعى عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَة إِلَّا فِي الْقسَامَة وَوجه تَقْدِيم الْمُدَّعِي فِي الْقسَامَة أَن جَانِبه قوي باللوث فتحولت الْيَمين إِلَيْهِ كَمَا لَو أَقَامَ شَاهدا فِي غير الدَّم وَقَوله فَإِن لم يكن هُنَاكَ لوث فاليمين على الْمُدعى عَلَيْهِ جَريا على الْقَاعِدَة
Artinya: “Hadits ini (hadits tentang al-qasamah) mengkhususkan keumuman sabda Nabi SAW: ‘Pendakwa wajib mendatangkan bukti, dan bagi pihak tertuduh harus bersumpah jika mengingkarinya’. Dalam riwayat lain ada tambahan, ‘kecuali dalam al-qasamah’.
Dalam al-qasamah sumpah beralih ke pihak penuduh disebabkan ada sisi penguat dari lautsun (bukti/indikator), sebagaimana dalam kasus selain pembunuhan jika ada saksi. Sehingga, apabila tidak ditemukan bukti sama sekali, dalam penerapan al-qasamah, sumpah beralih ke pihak tertuduh, kembali pada kaidah umum.” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Irak: Darul Khair, 1994,] hal. 471).
Dengan demikian, dari uraian di atas setidaknya ada tiga poin penting yang bisa kita pahami, yaitu:
- Dua hadits di atas sama sekali tidak bertentangan, karena hadits pertama bersifat umum, sedangkan hadits tentang al-qasamah khusus. Dalam kajian ushul fiqih, dikenal istilah takhshish, yaitu mengkhususkan keumuman nas-nas (al-Qur'an atau hadits). Sederhananya, dua hadits ini sebenarnya saling melengkapi, bukan bertentangan.
- Bukti lain bahwa dua hadits ini tidak bertentangan, dalam penerapan al-qasamah, sumpah bisa saja beralih ke pihak tertuduh bila pihak penuduh tidak memiliki bukti (lautsun).
- Jika tidak ingin terlalu rumit dalam menyelaraskan dua hadis ini, bisa pakai cara sederhana, bahwa hadits al-qasamah ini merupakan pengecualian dari hadits, ‘Pendakwa wajib mendatangkan bukti, dan bagi pihak tertuduh harus bersumpah jika mengingkarinya’. Sebab, di riwayat lain ada penambahan teks ‘kecuali dalam al-qasamah’, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin al-Hishni.
UU tentang Pembunuhan
Sementara itu, dalam hukum positif di Indonesia terdapat aturan yang berlaku dalam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan adalah sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Sedangkan pasal pembunuhan dalam Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023 berbunyi: “Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Berdasarkan penjelasan Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023, pembunuhan diartikan bahwa korban harus mati dan kematian ini dikehendaki oleh pelaku. Dengan demikian, pengertian pembunuhan secara implisit mengandung unsur kesengajaan.
Apabila tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada niat maupun maksud untuk membunuh seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut meninggal dunia, perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai tindak pidana pembunuhan menurut ayat ini. Terlebih lagi jika dalam kasus tersebut tidak ditemukan pelakunya secara jelas. Artinya, memang dalam kasus pembunuhan yang pelakunya tidak diketahui secara jelas termasuk kasus yang rumit.
Dalam kasus yang rumit tersebut, Islam hadir dengan menawarkan ketentuan pembuktian dengan cara al-qasamah yang sejatinya merupakan pembuktian yang diterapkan pada zaman Jahiliah. Akan tetapi, karena bersifat solutif dan bisa dijadikan alternatif dalam penyelesaian kasus pembunuhan, maka Nabi SAW tetap menerapkannya. Dan hal ini juga bisa dijadikan alternatif oleh negara Indonesia apabila dianggap sebagai solusi penyelesaian kasus pembunuhan yang tidak diketahui pelakunya. Wallahu a'lam.
Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil, Sekarang Aktif Menjadi Perumus LBM PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan.