Hadits-hadits yang Berhubungan dengan Wadiah atau Titipan dalam Hukum Islam
NU Online · Senin, 24 Maret 2025 | 07:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Salah satu aspek mendasar dalam interaksi sosial manusia sehari-hari adalah praktik menitipkan suatu kepada orang lain, baik kepada temannya, keluarga, hingga lembaga atau pihak yang dianggap dapat dipercaya, seperti bank, penitipan barang, atau individu yang memiliki otoritas tertentu, dan lainnya. Dalam praktiknya, penitipan tidak terbatas pada benda berharga atau sejumlah uang saja, namun juga bisa berupa dokumen penting, file digital, atau barang tertentu yang membutuhkan perlindungan khusus.
Misalnya, seseorang yang harus bepergian jauh menitipkan sertifikat tanah atau surat kendaraan kepada notaris agar tetap aman dan terjaga keabsahannya. Di lingkungan kerja, karyawan mungkin menitipkan file proyek penting kepada rekan sejawat yang dipercaya untuk menyimpannya dengan baik. Dalam dunia digital, pengguna layanan penyimpanan cloud menitipkan data dan dokumen mereka kepada penyedia layanan agar tetap terlindungi dan mudah diakses kapan pun diperlukan.
Nah, praktik menitipkan sebagaimana contoh di atas dalam hukum Islam dikenal dengan akad wadiah, yaitu perjanjian penitipan barang dari satu pihak kepada pihak lain yang dipercaya untuk menjaga dan mengembalikannya saat diminta.
Secara bahasa, wadiah berasal dari kata al-wad‘ yang berarti meninggalkan atau meletakkan sesuatu. Sedangkan dalam istilah syariat, wadiah merujuk pada akad yang menuntut penjagaan barang titipan, di mana seseorang menyerahkan kepemilikan sementara atas suatu barang kepada pihak lain dengan tujuan agar barang tersebut dijaga dan dikembalikan dalam kondisi semula ketika diminta.
Orang yang menerima titipan berkewajiban menjaga barang tersebut dengan amanah, karena akad yang satu ini di bangun atas dasar amanah dan kepercayaan. Oleh sebab itu, orang yang merasa dirinya tidak akan amanah dalam menjaga sebuah titipan, tidak dianjurkan baginya untuk menerima titipan, bahkan jika tidak mampu atau tidak akan mengindahkannya, maka haram menerima tersebut. (Imam Abu Ishaq as-Syairazi, al-Muhadzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid I, halaman 359).
Praktik akad wadiah telah dikenal dan diterapkan sejak zaman dahulu, bahkan sejak masa Rasulullah. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, kebiasaan menitipkan barang kepada individu yang dipercaya sudah menjadi bagian dari sistem sosial mereka. Islam kemudian mengatur konsep ini secara lebih jelas dalam hukum syariat, dengan menetapkan bahwa akad wadiah merupakan perjanjian penitipan barang yang mengharuskan penerima titipan untuk menjaga dan mengembalikannya sesuai ketentuan.
Hingga saat ini, praktik menitipkan barang berlanjut dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam kehidupan modern, konsep ini tidak hanya diterapkan dalam bentuk tradisional seperti penitipan barang di rumah kerabat atau tetangga, tetapi juga dalam berbagai layanan profesional. Bank misalnya, ia menyediakan layanan penyimpanan uang dan barang berharga dalam bentuk rekening atau brankas, perusahaan logistik menawarkan jasa penitipan dan pengiriman barang, serta teknologi digital menghadirkan sistem penyimpanan data berbasis cloud yang memungkinkan pengguna menitipkan file mereka dengan aman.
Hanya saja, meski bentuk dan mekanisme penerapan akad wadiah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman, prinsip dasar dari akad wadiah tetap sama, yaitu kepercayaan, tanggung jawab, dan kewajiban untuk menjaga amanah sesuai ketentuan yang berlaku. Lantas, apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan wadiah jika akad yang satu ini sudah terpraktik sejak masa Rasulullah, berikut ini haditsnya.
Hadits-hadits tentang wadiah
Hadits pertama yang berhubungan dengan wadiah adalah salah satu riwayat, di mana Rasulullah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah kepada siapa pun yang mempercayakan sesuatu kepada kita dan melarang kita berkhianat, sekalipun kepada orang yang telah mengkhianati kita. Dalam salah satu haditsnya, Nabi bersabda:
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Artinya, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah engkau berkhianat terhadap orang yang berkhianat kepadamu.” (HR Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan at-Thabrani).
Mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah menjadikan hadits ini sebagai fondasi utama dalam menetapkan konsep akad wadiah (titipan), yakni sebuah perjanjian atau kesepakatan dalam Islam yang berlandaskan kepercayaan antara pemilik barang dan penerima titipan. (Najib al-Muthi’i, Takmilatul Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid XIV, halaman 171. Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid VIII, halaman 897. Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid IX, halaman 254).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah menjanjikan surga bagi siapa saja yang menjaga enam hal dalam kehidupannya. Ketika para sahabat bertanya apa saja yang dimaksud dari enam hal tersebut, beliau menjawab bahwa salah satunya adalah jangan berkhianat ketika dipercaya. Dalam haditsnya, Nabi bersabda:
تَكَفَّلُوْا لِي سِتًّا أَتَكَفَّلُ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ، قَالُوْا: وَمَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: إِذَا حَدَّثَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَكْذِب، وَإِذَا وَعَدَ فَلَا يُخْلِفْ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلَا يَخُنْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ
Artinya, “Berjanji-lah kepadaku untuk menjaga enam hal, niscaya aku akan menjamin surga bagi kalian. Para sahabat bertanya, ‘Apa saja itu, wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Jika salah seorang di antara kalian berbicara, maka jangan berdusta; jika berjanji, maka jangan mengingkari; jika dipercaya, maka jangan berkhianat; tundukkanlah pandangan kalian; jagalah kemaluan kalian; dan tahanlah tangan kalian (dari berbuat kezaliman).” (HR Anas bin Malik).
Tidak hanya dua hadits di atas, hadits-hadits yang berkaitan dengan wadiah juga Rasulullah tegaskan dalam salah satu riwayat, bahwa setiap tangan bertanggung jawab penuh atas apa yang diambilnya hingga ia mengembalikannya. Nabi bersabda:
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ
Artinya, “Tangan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya hingga ia mengembalikannya.” (HR al-Baihaqi, an-Nasa’i, dan Ahmad).
Tidak hanya itu, menurut Imam al-Mawardi, masyarakat Quraisy telah mengenal Rasulullah sebagai sosok yang paling terpercaya dalam menjaga amanah sejak sebelum diutus. Karenanya, Nabi sering menerima titipan berharga dari berbagai kalangan karena kejujuran dan integritasnya yang tak diragukan. Oleh sebab itu, di masa jahiliyah, Nabi mendapat gelar al-Amin (yang terpercaya).
Bahkan ketika Rasulullah mendapatkan perintah untuk hijrah ke Madinah, beliau tetap menjaga amanah yang telah dititipkan kepadanya. Sebelum berangkat, beliau menitipkan barang-barang titipan tersebut kepada Ummu Aiman. Selain itu, beliau juga menugaskan Ali bin Abi Thalib untuk tetap tinggal di Makkah sementara waktu guna mengembalikan titipan-titipan tersebut kepada pemiliknya,
وَقَدِ اسْتَوْدَعَ رَسُولُ اللَّهِ وَدَائِعَ الْقَوْمِ وَكَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ لِقِيَامِهِ بِهَا مُحَمَّدًا الْأَمِينَ، فَلَمَّا أَرَادَ الْهِجْرَةَ إِلَى الْمَدِينَةِ تَرَكَهَا عِنْدَ أُمِّ أَيْمَنَ وَخَلَّفَ عَلِيًّا عَلَيْهِ
Artinya, “Rasulullah telah menerima titipan dari kaum Quraisy, dan sejak masa jahiliyah, beliau dikenal dengan sebutan Muhammad al-Amin (Muhammad yang terpercaya) karena selalu menjaga amanah dengan penuh tanggung jawab. Ketika beliau hendak berhijrah ke Madinah, Nabi meninggalkan barang-barang titipan tersebut kepada Ummu Aiman dan meninggalkan Ali bin Abi Thalib di Makkah (untuk mengembalikan titipan-titipan itu kepada pemiliknya).” (al-Hawi al-Kabir, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid VIII, halaman 898).
Selain beberapa hadits dan kisah di atas, terdapat satu hadits lagi yang menjadi bagian penting dari wadiah menurut Syekh Taqqiyuddin bin Abu Bakar ad-Dimisyqi. Menurutnya, menitipkan barang kepada orang lain sudah menjadi kebutuhan, bahkan dalam beberapa keadaan, keharusan menuntut seseorang untuk menitipkan sesuatu kepada yang lain.
Maka dalam keadaan seperti ini, siapa pun yang menerima titipan hendaknya mempertimbangkan dengan baik. Jika ia seorang yang amanah dan memiliki kemampuan untuk menjaga titipan tersebut, serta merasa yakin akan kemampuannya, maka dianjurkan baginya untuk menerimanya, dan hal ini masuk dalam kategori menolong, yang ganjarannya juga akan mendapatkan pertolongan langsung dari Allah. Rasulullah saw bersabda:
اَللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ
Artinya, “Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR Abu Hurairah, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, [Damaskus: Darul Khair, t.t], halaman 321).
Demikianlah pembahasan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan wadiah (titipan) dalam Islam. Dari berbagai riwayat di atas, sangat jelas bahwa menjaga amanah merupakan prinsip fundamental yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Rasulullah tidak hanya mengajarkan pentingnya menunaikan amanah, tetapi juga memberikan keteladanan langsung dalam menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
2
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
3
3 Instruksi Ketum PBNU untuk Seluruh Kader pada Harlah Ke-91 GP Ansor
4
Ketum GP Ansor Kukuhkan 100.000 Banser Patriot Ketahanan Pangan, Tekankan soal Kemandirian
5
Sanksi Berat bagi Haji Ilegal: Dipenjara, Dideportasi, dan Didenda Rp224 Juta
6
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
Terkini
Lihat Semua