Bushiri
Kolomnis
Hibah merupakan salah satu bentuk pemberian yang memiliki kedudukan penting dalam Islam. Sebagai bagian dari muamalah, hibah mencerminkan nilai-nilai kedermawanan dan keikhlasan dalam berbagi tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik hibah sering ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian sederhana hingga hibah dalam skala besar yang berkaitan dengan kepemilikan harta. Oleh karena itu, memahami definisi, konsep, rukun, dan syarat hibah sangat penting agar setiap pemberian yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Definisi Hibah
Secara bahasa, kata hibah berasal dari هبوب الريح, yang berarti "hembusan angin." Istilah ini digunakan karena hibah mencerminkan sifat pemberian yang dilakukan secara cuma-cuma, sebagaimana angin berhembus tanpa mengharapkan balasan. Hibah menggambarkan kemurahan hati seseorang dalam memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ada tuntutan pengembalian atau imbalan.
Dalam pengertian syariat, hibah adalah akad yang memberikan kepemilikan suatu benda kepada pihak lain tanpa imbalan apa pun. Pemberian ini dilakukan secara sukarela oleh pihak pemberi saat ia masih hidup, sehingga berbeda dari wasiat yang berlaku setelah kematian. Definisi tersebut sebagaimana penjelasan Dr Musthafa Al-Khin dkk:
وهي في الاصطلاح الشرعي: عقد يفيد تمليك العين بلا عوُض، حال الحياة، تطوعًا
Artinya, “Dalam istilah syariat, hibah adalah akad yang memberikan kepemilikan suatu benda tanpa imbalan, dilakukan saat pemberi masih hidup, dan bersifat sukarela.” (Dr. Musthafa Al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid VI, halaman 115)
Rukun dan Ketentuan Hibah
Seperti halnya akad muamalah lainnya, hibah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar sah menurut syariat. Rukun ini menjadi landasan utama yang memastikan bahwa proses hibah berlangsung secara benar dan sesuai dengan hukum Islam.
Secara umum, hibah terdiri dari tiga rukun utama, yaitu:
- Dua Pelaku Akad yang terdiri dari pemberi hibah (wahib) dan penerima hibah (mawhub lahu).
- Sighat (Lafaz Transaksi) yang meliputi ijab (ungkapan pemberian dari pihak pemberi) dan qabul (ungkapan penerimaan dari pihak penerima).
- Barang yang Dihibahkan
للهبة أركان ثلاثة، وهي: عاقدان، وصيغة، وموهوب
Artinya, “Hibah memiliki tiga rukun, yaitu dua pelaku adak, sighat, dan barang yang dihibahkan.” (Fiqhul Manhaji, VI/120)
Berikut penjelasan syarat dan ketentuan rukun hibah:
1. Pelaku akad
Pelaku akad dalam hibah terdiri dari pemberi dan penerima. Pemberi hibah memiliki tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, harus memiliki barang yang dihibahkan, sehingga hibah tidak sah jika barang tersebut bukan miliknya. Kedua, memiliki kriteria ahlu tabarru’, yaitu ia harus berakal, baligh, dan memiliki kecakapan finansial. Ketiga, harus memiliki kebebasan penuh dalam mengelola hartanya, sehingga idak sah jika ia dalam kondisi yang membatasi haknya, seperti orang yang bangkrut atau dilarang mengelola hartanya.
Syarat penerima hibah adalah harus memiliki kriteria sah untuk menerima kepemilikan (ahlu tamalluk). Penerima hibah bisa berupa seseorang yang sudah mukallaf (berakal dan baligh) maupun yang belum, seperti anak kecil atau orang gila. Namun, dalam kasus anak kecil dan orang gila, hibah harus diterima oleh wali mereka agar sah secara hukum.
2. Sighat
Rukun kedua dalam hibah adalah sighat (lafaz transaksi), yang terdiri dari dua unsur utama: Pertama, ijab yaitu ungkapan dari pemberi hibah yang menyatakan keinginannya untuk memberikan sesuatu, seperti "Aku hibahkan kepadamu”, atau "Aku berikan ini untukmu." Kedua, qabul yaitu ungkapan dari penerima hibah yang menyatakan persetujuannya menerima hibah tersebut, seperti "Saya terima” atau "Saya menerima hibah ini".
Sighat akad hibah harus memenuhi tiga syarat:
- Harus ada kesinambungan antara ijab dan qabul. Dalam artian tidak boleh ada jeda yang dianggap signifikan menurut kebiasaan.
- Tidak boleh disertai syarat tertentu, misalnya pernyataan "Jika Zaid datang, aku hibahkan pakaian ini kepadamu" tidak sah karena kepemilikan dalam hibah harus pasti.
- Tidak boleh dibatasi oleh waktu, misalnya pernyataan "Aku hibahkan buku ini kepadamu selama satu bulan atau satu tahun," tidak sah karena hal ini bertentangan dengan sifat hibah yang merupakan pemberian kepemilikan secara mutlak dan langsung.
3. Barang yang dihibahkan
Rukun ketiga dari hibah adalah objek akad, yaitu barang yang dihibahkan. Dalam hal ini, terdapat kaidah yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula dihibahkan. Berdasarkan kaidah tersebut, dapat barang yang dihibahkan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Barang yang dihibahkan harus sudah ada dan nyata ketika akad hibah berlangsung. Hibah tidak sah untuk sesuatu yang belum ada atau masih dalam angan-angan, karena hibah berarti memberikan kepemilikan secara langsung. Jika barang tersebut belum ada, maka kepemilikan tidak dapat dialihkan, sehingga hibah menjadi tidak sah.
Harus memiliki nilai dan diakui sebagai harta secara syariat. Oleh karena itu, hibah tidak sah jika diberikan dalam bentuk benda yang haram atau tidak bernilai secara syariat, seperti bangkai, darah, babi, khamar dan sejenisnya. Barang-barang tersebut tidak dapat dimiliki atau dimanfaatkan secara sah menurut hukum Islam, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai objek hibah.
Barang yang dihibahkan harus benar-benar dimiliki oleh pemberi hibah secara sah. Hibah tidak berlaku untuk sesuatu yang bukan miliknya sendiri, seperti barang yang masih bersifat mubah (belum dimiliki oleh siapa pun) atau harta milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Sebab, hibah adalah bentuk pemindahan kepemilikan, dan seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan hak miliknya. (Fiqhul Manhaji, VI/121-124)
Barang yang dihibahkan baru sepenuhnya menjadi milik penerima setelah diterima secara fisik (qabḍ). Artinya, akad hibah saja tidak cukup untuk memindahkan kepemilikan, tetapi harus disertai dengan penyerahan barang secara nyata agar hibah tersebut sah dan mengikat. Sebagaimana penjelasan Syekh Sulaiman Al-Bujairimi:
وَلَا تَلْزَمُ) أَيْ لَا تُمْلَكُ (الْهِبَةُ الصَّحِيحَةُ (إلَّا بِالْقَبْضِ) فَلَا تُمْلَكُ، بِالْعَقْدِ
Artinya, “Hibah yang sah tidak menjadi hak milik kecuali setelah diterima secara fisik (qabḍ), sehingga kepemilikan tidak berpindah hanya dengan akad semata.” (Sulaiman al-Bujairmi, Tuhfatul Habib, [Beirut, Darul Fikr: 1995], jilid III, halaman 641)
Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan mengenai hibah diatur dalam Pasal 171 huruf g serta Pasal 210 hingga Pasal 214. Pasal 171 huruf g menyebutkan hibah adalah Pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Syarat-syarat sahnya hibah sebagaimana tercantum dalam Pasal 210 adalah sebagai berikut:
1. Pemberi Hibah harus:
- Berumur sekurang-kurangnya 21 tahun.
- Berakal sehat.
- Memberikan hibah tanpa adanya paksaan.
- Dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
- Melakukan hibah di hadapan dua orang saksi.
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak milik pemberi hibah.
Selain itu, beberapa ketentuan lain mengenai hibah dalam KHI adalah sebagai berikut:
- Pasal 211, Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan
- Pasal 212, Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya
- Pasal 213, Hibah yang diberikan saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang mendekati kematian harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya
- Pasal 214, Warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam KHI
Demikianlah penjelasan mengenai syarat dan ketentuan hibah, baik dalam perspektif Fiqih muamalah maupun Kompilasi Hukum Islam. Pemahaman yang baik mengenai hibah sangat penting agar setiap pemberian dilakukan sesuai dengan aturan syariat dan hukum yang berlaku. Wallahu a’lam
Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menjadikan Ramadhan sebagai Madrasah Ketakwaan
2
Gus Yahya Jenguk dan Doakan Kesembuhan KH Said Aqil Siroj
3
Khutbah Jumat: Mengajak Semua Anggota Tubuh Berpuasa
4
Khutbah Jumat: Ikhlas Jadi Kunci Kesempurnaan Puasa
5
3 Alasan Nyai Sinta Pilih Gelar Sahur Keliling bersama Kaum Duafa
6
Khutbah Jumat: Pentingnya Pendidikan Keluarga di Bulan Ramadhan untuk Membangun Karakter Anak
Terkini
Lihat Semua