Syariah

Kapan Batas Waktu Shalat Subuh?

Selasa, 31 Desember 2024 | 12:00 WIB

Kapan Batas Waktu Shalat Subuh?

Ilustrasi seseorang melaksanakan shalat Subuh. Sumber: Canva/NU Online

Shalat Subuh adalah salah satu dari lima shalat wajib yang harus dilaksanakan oleh umat Muslim. Kata "Subuh" merujuk pada waktu dini hari atau awal pagi. Shalat ini dinamakan shalat Subuh karena dilakukan pada awal waktu siang, tepat saat fajar menyingsing. Selain dikenal sebagai shalat Subuh, shalat ini juga disebut shalat Fajar.


Dalil Waktu Shalat Subuh


Dalam Al-Qur’an Surah Hud ayat 15 Allah Berfirman:


وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِۗ اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ


Artinya, “Dirikanlah shalat pada kedua ujung hari (pagi dan petang) dan pada bagian-bagian malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (QS. Hud ayat 15).


Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab Marah Labid Jilid I (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1417 H, hal. 520), menjelaskan bahwa redaksi Wa Aqimish Shalata Tarafayin Nahar menunjukkan perintah untuk mendirikan shalat di dua ujung waktu siang, yaitu pagi (shalat Subuh) dan sore (shalat Zuhur dan Ashar). Sementara dalam hadits Nabi disebutkan:

 

وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ 


Artinya: “Waktu shalat Subuh adalah dari menyingsingnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari telah terbit, maka berhentilah dari shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Imam Muslim, Shahih Muslim (Turki, Dar ath-Thabi’ah al-’Amirah: 1334 H], jilid II, hlm. 105).


Batas Awal dan Akhir waktu Shalat Subuh

Adapun batas awal dan akhir waktu shalat Subuh dimulai sejak terbitnya fajar hingga matahari mulai terbit. Syekh Zakariya al-Anshari, dalam kitab Fathul Wahhab Jilid I (Surabaya: Al-Haramain, t.t., hal. 30), menjelaskan:


فَوَقْتُ صُبْحٍ مِنْ الْفَجْرِ الصَّادِقِ إلَى طُلُوعِ شَمْسٍ

 

Artinya, “Lalu waktu shalat subuh, yaitu (masuk) sejak kemunculan fajar shadiq sampai terbitnya matahari.”

 

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab Jilid III (Kairo, Idarat At-Thiba'ah Al-Maniriyyah, 1344-1347 H: 43) menegaskan bahwa ada konsensus terkait batas masuknya waktu shalat Subuh, yaitu ketika fajar shadiq sudah nampak. 


وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الصُّبْحِ طُلُوعُ الْفَجْرِ الصَّادِقِ وَهُوَ الْفَجْرُ الثَّانِي


Artinya, “Umat sepakat bahwa awal waktu shalat Subuh adalah nampaknya fajar shadiq yaitu fajar yang kedua.” 


Sebagaimana maklum fajar itu ada dua. Pertama, fajar awal atau juga dinamakan dengan fajar kadzib yaitu cahaya vertikal yang muncul sesaat di langit seperti tiang menjulang lalu menghilang atau berubah menjadi gelap kembali. Disebut kadzib (dusta) karena terbitnya hanyalah semu dan tidak menunjukkan waktu Subuh. 


Kedua, fajar kedua atau juga dinamakan fajar shadiq atau fajar sidik, yaitu cahaya horizontal yang menyebar di ufuk timur yang tidak hilang kembali melainkan semakin terang seiring waktu. Disebut shadiq (benar) karena menjadi tanda yang jelas terhadap waktu shalat subuh (hlm. 44).


Lebih lanjut, Imam Nawawi juga menjelaskan sebagaimana beliau mengutip dari kalangan Syafi’iyah bahwa seluruh hukum berkaitan erat dengan fajar yang shadiq dan tidak ada kaitan sama sekali antara hukum dan fajar kadzib. Beliau menjelaskan:


قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَحْكَامُ كُلُّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْفَجْرِ الثَّانِي فبه يَدْخُلُ وَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَيَخْرُجُ وَقْتُ الْعِشَاءِ وَيَدْخُلُ فِي الصَّوْمِ وَيَحْرُمُ بِهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ وَبِهِ يَنْقَضِي اللَّيْلُ وَيَدْخُلُ النَّهَارُ ولايتعلق بالفجر الاول شئ مِنْ الْأَحْكَامِ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ


Artinya, “Ashab Syafi’iyah mengatakan bahwa seluruh ketentuan hukum berkaitan dengan fajar yang kedua (shadiq). Dengan fajar kedua, waktu shubuh masuk dan waktu shalat isya’ selesai. Dan waktu puasa masuk serta haram makan dan minum atas orang yang berpuasa. Dan dengan fajar shadiq, malam selesai dan siang masuk. Sementara fajar awal (kadzib) tak memiliki kaitan apapun dalam hukum berdasarkan Ijma' kalangan umat Islam” (hlm. 44).


Sementara Syekh Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab (hlm. 30) menjelaskan lebih lanjut mengenai batas akhir shalat Subuh. Bahwa yang dimaksudkan “habisnya waktu shalat Subuh dengan terbitnya matahari”, menurut Syekh Zakariya, yaitu hanyalah terbit sebagian atau hanya piringan matahari. Artinya, keluarnya waktu shalat Subuh tidak menunggu seluruh bagian matahari terbit secara sempurna. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh Syekh Zakariya. 


Pertama, karena menganalogikan yang belum terbit kepada bagian matahari yang sudah terbit dalam hal keluarnya waktu shalat Subuh. Kedua, lantaran shalat subuh  masuk sebab sebagian fajar shadiq yang muncul sehingga relevan bilamana habisnya waktu subuh juga lantaran keluarnya sebagian matahari. 

 

Pembagian Waktu Shalat Subuh

Dalam kitab Syarah Fathul Qarib (Beirut, Darul Hazm, 2005], hlm. 69), Ibnu Qasim al-Ghazi menyebutkan lima pembagian waktu shalat Subuh. Berikut detailnya:


Pertama, waqtul fadhilah, di mana waktu ini berada di awal waktu Subuh seukuran waktu pelaksanaan shalatnya.


Kedua, waqtul Ikhtiyar. Yaitu  sejak awal waktu sampai terang (disebut isfar, yaitu waktu mulai terang sebelum matahari terbit).

 

Ketiga, waqtu jawaz tanpa makruh: sejak awal waktu hingga munculnya cahaya yang kemerahan.

 

Keempat, waqtu jawaz dengan makruh (waktu boleh beserta kemakruhan). Yaitu bila sudah tampak cahaya merah hingga hampir matahari akan terbit.

 

Kelima, waqtut tahrim: yaitu sisa waktu yang tidak cukup untuk memuat pekerjaan shalat subuh kecuali matahari terbit.


Pembagian waktu shalat subuh relevan dengan elastisitas pelaksanaan shalat subuh sesuai dengan kehendak mukallaf. Tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga salat pada awal waktu untuk meraih keutamaan dan menghindari waktu-waktu yang dimakruhkan atau terlarang.


Secara astronomis, yang menjadi patokan untuk menentukan awal dan akhirnya waktu shalat adalah letak posisi matahari dalam perjalanan semu di sekitaran Ekliptika.  Dan Marufin dari Lembaga Falakiyah PBNU telah menyampaikan hasil kajiannya yang bertumpu pada ilmu fiqih dan falak bahwa awal waktu Subuh dimulai pada saat posisi matahari berada di titik -20° derajat di bawah ufuk timur atau 110° derajat dari garis meridian. Sementara waktu berakhirnya yakni pada sebelum terbit matahari atau (h = -1°). Allahu A'lam.

 


Moh Soleh Shofier, Alumni Ma'had Aly Situbondo