Mengenal Kontrasepsi Vasektomi: Prosedur, Efek Samping, dan Pandangan Ulama
Sabtu, 24 Mei 2025 | 09:00 WIB
Vasektomi merupakan salah satu metode kontrasepsi permanen bagi pria yang banyak digunakan di berbagai negara. Meski banyak penelitian yang menyebut prosedur ini efektif dan sederhana, penting untuk memahami secara menyeluruh mengenai prosedur, risiko efek samping, serta pandangan ulama mengenai metode ini.
Secara medis, operasi vasektomi dilakukan oleh dokter spesialis urologi, dokter bedah umum atau dokter keluarga, dengan cara memutus saluran vas deferens, yang merupakan saluran pembawa sperma dari testis ke saluran ejakulasi. Prosedur ini tergolong singkat dan hanya memerlukan anestesi lokal.
Sebelum tindakan dilakukan, pasien akan menjalani pemeriksaan fisik serta diskusi terbuka dengan tenaga medis mengenai prosedur, risiko, dan perawatan pasca-operasi. Hal ini penting untuk memastikan prosedur dilakukan berdasarkan persetujuan dengan informasi yang jelas. (Stormont, G., & Deibert, C. M. 2023. Vasectomy. In StatPearls. StatPearls Publishing).
Efek Samping Vasektomi
Seperti prosedur medis lainnya, vasektomi juga memiliki kemungkinan efek samping, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek yang bisa terjadi antara lain adanya darah dalam air mani (hematospermia), meski ini jarang dan biasanya tidak perlu penanganan medis secara khusus (Fuse H, dkk. 2011. Hematospermia: etiology, diagnosis, and treatment. Reproductive Medicine and Biology. Halaman 153–159).
Risiko infeksi atau hematoma (memar atau pembengkakan akibat perdarahan) sekitar 1–2%, sedangkan risiko peradangan pada saluran sperma (epididimitis) sekitar 1%. (Rees RW. Vasectomy: problems of follow up. Proc R Soc Med. Halaman 52-54.)
Dalam jangka panjang, sekitar 1% pria mengalami nyeri kronis pada skrotum yang bisa memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Sperm granuloma, yaitu benjolan kecil akibat kebocoran sperma terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan sebagian besar tidak menimbulkan gejala. (Shapiro EI, Silber SJ. Open-ended vasectomy, sperm granuloma, and postvasectomy orchialgia. PubMed. Halaman 546-550).
Selain efek fisik, vasektomi juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis. Sebuah penelitian mengatakan bahwa efek samping yang paling banyak dirasakan adalah depresi dan gangguan emosi. (Zhao, Kai. et al. 2018. Long-term safety, health and mental status in men with vasectomy. Scientific Reports. Halaman 2-5)
Hukum Vasektomi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa vasektomi hukumnya haram, kecuali dalam kondisi darurat yang dibenarkan secara syar‘i. Penggunaan alat kontrasepsi dalam Islam harus ditujukan untuk tanzhim al-nasl (mengatur kelahiran secara temporer), bukan untuk tahdid al-nasl (membatasi keturunan secara permanen). Sebagaimana fatwa yang telah ditetapkan oleh MUI pada 13 Juni 1979 dan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III tahun 2009.
Dalam fatwa tersebut, para ulama menyepakati bahwa vasektomi termasuk tindakan yang bersifat memandulkan secara tetap, sehingga hukumnya haram.
Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 di Tasikmalaya, MUI juga menetapkan lima syarat agar kontrasepsi tidak termasuk dalam kategori haram, di antaranya harus bersifat sementara dan tidak membahayakan secara medis. Jika metode kontrasepsi yang digunakan bersifat permanen dan menghilangkan potensi reproduksi secara total, maka metode tersebut tidak diperbolehkan secara syariat. (Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Komisi Fatwa MUI tentang Vasektomi, Tasikmalaya: Komisi Fatwa MUI, 2012, halaman 1-9).
Begitupun dengan 2 poin yang dihasilkan Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta mengenai hukum vasektomi, yaitu sebagaimana berikut:
- Penjarangan kelahiran tidak diperbolehkan jika sampai mematikan fungsi reproduksi secara permanen. Sterilisasi hanya boleh jika sifatnya sementara dan tidak merusak organ reproduksi.
- Obat kontrasepsi dibedakan menjadi dua, yaitu [1] Permanen (mencegah total): haram, jika tidak bisa hamil kembali dan [2] Sementara: mubah, seperti ‘azl (mengeluarkan sperma di luar vagina).
Penggunaan obat yang mencegah kehamilan sebelum keluarnya mani hukumnya makruh, sedangkan yang memutus kehamilan selamanya adalah haram. Namun demikian, dalam kondisi darurat seperti masalah kesehatan, berlaku kaidah fiqih:
إِذَا تَعَارَضَتِ الْمَفْسَدَتَانِ، دُفِعَتِ الْكُبْرَى بِارْتِكَابِ الصُّغْرَى
Artinya "Jika dihadapkan pada dua mafsadah, maka yang harus dihindari adalah yang lebih besar bahayanya, meskipun dengan cara menempuh mafsadah yang lebih ringan."
Ketentuan hukum yang dihasilkan MUI dan NU tersebut tidak lepas dari pendapat ulama klasik, di antaranya Ibnu Hajar al-Haitami yang menegaskan keharaman tindakan kontrasepsi permanen. Ia menjelaskan:
وَيَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ مَا يَقْطَعُ الْحَبَلَ مِنْ أَصْلِهِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ كَثِيرُونَ وَهُوَ ظَاهِرٌ
Artinya "Dan haram hukumnya menggunakan sesuatu yang memutus kehamilan dari akarnya (secara permanen), sebagaimana telah ditegaskan oleh banyak ulama, dan ini adalah pendapat yang jelas (kuat)." (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Daru Ihyait Turatsil ‘Arabi, 1983] juz 8, halaman 241).
Sementara itu, Syekh Ahmad bin Abdurrazzaq al-Maghribi ar-Rasyidi dalam Hasyiyahnya menjelaskan, maksud مِنْ أَصْلِهِ (dari akarnya) adalah metode yang benar-benar memutus kemungkinan kehamilan secara permanen. Adapun jika suatu metode hanya untuk menunda kehamilan sementara waktu tanpa memutusnya dari awal, maka tidak termasuk yang diharamkan. Bahkan menurutnya, jika dilakukan karena alasan yang dibenarkan secara syar‘i, seperti untuk fokus mengasuh anak yang sudah ada maka tidak dimakruhkan. (Syamsuddin, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Fikr, 1984] juz VII, halaman 136).
Dalam Islam, menjaga keturunan (hifzhun nasl) merupakan salah satu dari prinsip utama syariat (maqashid syariah). Oleh karena itu, umat Islam perlu berkonsultasi dengan tim medis yang kompeten dan ulama yang memahami hukum fiqih, tujuannya agar setiap keputusan terkait kesehatan reproduksi sesuai dengan prinsip syariat dan kesehatan tubuh. Wallahu a’lam.
Ustadzah Tuti Lutfiah Hidayah, Alumnus Farmasi UIN Jakarta, dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.