Syariah

Pandangan Islam terhadap Kasus Sindikat Jual Beli Bayi

Selasa, 29 Juli 2025 | 20:00 WIB

Pandangan Islam terhadap Kasus Sindikat Jual Beli Bayi

Ilustrasi bayi. (Foto: NU Online/Freepik)

Baru-baru ini masyarakat Indonesia kembali dikejutkan oleh terbongkarnya praktik kejahatan jual beli bayi yang melibatkan jaringan sindikat lintas negara. Mengutip tirto.id, Polda Jawa Barat berhasil menangkap 13 tersangka yang terlibat dalam sindikat ini dan menyelamatkan enam bayi hendak dikirim ke Singapura. 

 

Sindikat ini bekerja dengan pola yang rapi dan sistematis. Ada yang bertugas sebagai perekrut ibu hamil, penampung bayi, perawat, pembuat dokumen palsu, hingga perantara dan pengatur pengiriman ke luar negeri. Polisi menyebutkan bayi-bayi itu kemudian akan diadopsi secara ilegal oleh warga negara Singapura dengan imbalan uang sebesar Rp11 juta hingga Rp16 juta per bayi.

 

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, mengungkapkan bahwa kasus ini mulai terendus dari laporan penculikan anak di Bandung. Setelah penyelidikan mendalam, diketahui bahwa sejak tahun 2023 sudah ada setidaknya 24 bayi yang telah diperjualbelikan oleh sindikat ini. Hal yang lebih menyedihkan, motif ekonomi disebut-sebut menjadi alasan sebagian orang tua untuk menyerahkan bayinya.

 

Fenomena ini bukan hanya mencoreng rasa kemanusiaan, tetapi juga menjadi tamparan keras terhadap tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual masyarakat. Bayi-bayi tak berdosa yang seharusnya dirawat dan dijaga justru dijadikan objek transaksi.

 

Islam secara tegas mengharamkan jual beli manusia dalam bentuk apapun. Baik anak-anak, bayi, maupun orang dewasa, semua manusia adalah makhluk yang tidak dapat diperjualbelikan. Sejak lahir, seorang anak telah menjadi manusia merdeka dengan hak hidup dan hak perlindungan yang tidak bisa dirampas atau dijadikan komoditas.

 

Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil as Syafi’i dalam Is’adur Rafiq mengatakan:

 

وَ يُحْرَمُ وَلاَ يَصِحُّ أَيْضًا بَيْعٌ وَ لاَ شِرَاءُ مَا لاَ يَدْخُلُ تَحْتَ الْمِلْكِ كَالْحُرِّ

 

Artinya, “Haram dan tidak sah jual beli sesuatu yang tidak bisa dimiliki, seperti manusia merdeka.” (Is’adur Rafiq, [Haramain: 1931] jilid I, halaman 137)

 

Menjual bayi bukan hanya tidak sah, tetapi juga merupakan bentuk kezaliman yang menghilangkan hak dasar anak untuk diasuh, dilindungi dan dibesarkan dengan kasih sayang. Sebagian orang tua dalam kasus ini berdalih karena alasan ekonomi. Dalam Islam, motif ekonomi bukan alasan yang dibenarkan untuk melakukan perbuatan haram ini.

 

Sayyid Abdurrahman Al-Hadrami menjelaskan:

 

لاَ يَجُوزُ بَيْعُ الْأَوْلَادِ لِاحْتِيَاجِهِمْ لِلنَّفَقَةِ لِحُرْمَةِ بَيْعِ الْحُرِّ، فَلَوْ بَاعَهُمُ الْأَبُ أَوْ غَيْرُهُ كَانَ ثَمَنُهُمْ مُتَعَلِّقًا بِذِمَّةِ الْبَائِعِ، وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي عَلَيْهِمْ يَدٌ

 

Artinya, “Tidak boleh menjual anak karena mereka membutuhkan nafkah. Jual beli manusia itu haram. Jika seorang ayah atau orang lain menjual anak, maka harga jual itu menjadi tanggungan si penjual dan pembeli tidak memiliki hak atas anak itu.” (Sayyid Abdurrahman Al-Hadrami, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Minhaj: 2018], juz I, halaman 143)

 

Dalam Islam, pelaku kejahatan ini juga mendapatkan ancaman keras. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:

 

ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ... وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ

 

Artinya, “Ada tiga golongan yang akan menjadi lawan-Ku pada hari kiamat... di antaranya adalah orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya.” (HR. al-Bukhari)

 

Islam tidak hanya mengharamkan pelaku utama, tetapi juga mengharamkan siapa pun yang membantu proses kejahatan ini, karena termasuk dalam perbuatan tolong-menolong dalam dosa. Maka, siapapun yang terlibat, baik sebagai pengantar, pengurus administrasi, maupun pembuat dokumen palsu, akan menanggung dosa yang sama.

 

Dalam kitab Is’adur Rafiq juga disebutkan:

 

 و) منها (الإعانة على المعصية) أى على معصية من معاصى الله بقول أو فعل أو غيره ثم إن كانت المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها كبيرة كذلك كما فى الزواجر قال فيها وذكرى لهذين أى الرضا بها والاعانة عليها

 

Artinya, “Dan (termasuk dari hal yang diharamkan) adalah membantu dalam kemaksiatan,"
yaitu membantu seseorang melakukan maksiat kepada Allah, baik dengan ucapan, perbuatan, atau cara lainnya. Lalu, jika maksiat yang dibantu itu tergolong dosa besar, maka bantuan terhadap maksiat tersebut juga dihukumi dosa besar. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Az-Zawajir, disebutkan bahwa dua hal ini yaitu ridha terhadap maksiat dan membantu maksiat termasuk dosa besar
.” (Is’adur Rafiq, [Haramain: 1931] jilid II, halaman 127)

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik jual beli bayi merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang sangat diharamkan dalam Islam. Manusia, termasuk bayi sekali pun, adalah makhluk mulia yang tidak boleh diperjualbelikan. Rasulullah saw memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang menjual manusia, dan siapa pun yang terlibat dalam kejahatan ini ikut menanggung dosa besar.

 

Dari sudut pandang hukum positif Indonesia, jual beli bayi merupakan tindak pidana berat yang bertentangan dengan berbagai aturan perundang-undangan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, "Setiap orang yang memperjualbelikan, menyewa, atau memperdagangkan anak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 dan paling banyak Rp300.000.000,00." 

 

Selain itu, praktik ini juga termasuk dalam kategori perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyatakan: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.” 

 

Bahkan dalam Pasal 330 KUHP, disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja mengambil anak yang belum cukup umur dari kekuasaan yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.”

 

Sebagai penutup, jual beli bayi adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam dan juga hukum negara. Bayi adalah manusia yang punya hak untuk hidup dan tumbuh dalam kasih sayang, bukan dijadikan barang dagangan. Islam menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar, dan siapa pun yang terlibat akan mendapatkan ancaman berat, baik pelaku utama maupun yang membantu.

 

Penting bagi seluruh elemen masyarakat, baik individu, lembaga, maupun pemerintah, untuk meningkatkan kepedulian dan pengawasan terhadap praktik-praktik yang melanggar hak anak. Edukasi moral, penguatan keimanan, serta dukungan ekonomi yang layak bagi keluarga rentan adalah langkah-langkah penting yang harus terus diupayakan. Wallahu A’lam

 

Bushiri, pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan Madura.