Syariah

Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Sel, 11 Juli 2023 | 16:00 WIB

Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Ilustrasi perdagangan anak. (Foto: NU Online/Freepik).

Di era modern ini, perdagangan manusia (human trafficking) merupakan bentuk lain dari perbudakan manusia. Protokol PBB yang melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000 tentang Kejahatan Terorganisir Lintas Negara mendefinisikan perdagangan manusia dengan mobilisasi, mengangkut, menyembunyikan, menerima, seseorang dengan ancaman kekerasan atau menggunakannya, atau dengan cara-cara kekerasan lainnya seperti tindak pemaksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan kondisi kondisi ketidakberdayaan atau memberi  dan menerima  jumlah uang tertentu  ataupun keistimewaan tertentu, agar seseorang mendapatkan persetujuan seseorang untuk menguasai orang lain demi tujuan ekploitasi.

 

Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2007, bentuk eksploitasi pelaku terhadap korban dalam praktik perdagangan orang bisa beragam, mulai dari pemaksaan hubungan seksual, perbudakan atau kerja paksa, pengambilan organ/jaringan tubuh, atau pemanfaatan kemampuan korban lainnya secara paksa.

 

Perdagangan anak, masuk dalam kategori perdagangan manusia, yang merupakan tindak kejahatan serius (extra ordinary crime). Di sisi lain, perdagangan anak adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dan menghancurkan masa depan generasi muda di seluruh dunia. Fenomena ini merupakan eksploitasi manusia yang kejam dan melibatkan perdagangan anak-anak untuk tujuan ekonomi, pekerjaan paksa, perdagangan seksual, dan bentuk eksploitasi lainnya.

 

Dalam buku Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam,  yang dimaksud dengan perdagangan anak adalah setiap tindakan atas kegiatan transaksi yang menyebabkan terjadinya perpindahan anak dari satu atau banyak orang ke orang lain, dengan melibatkan pembayaran atau bentuk-bentuk imbalan lainnya. Kegiatan ini termasuk menjual, memindahkan, melakukan eksploitasi seksual, transaksi  perdagangan dan  ekonomi atau bentuk lain dengan cara yang ilegal, sama ada kejahatan itu terjadi di dalam dan luar negeri. [UNICEF, Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam, halaman 229]

 

Lebih lanjut, perdagangan anak sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mempengaruhi kehidupan anak-anak dan dampak jangka panjangnya terhadap tumbuh kembang anak. Tindakan perdagangan anak termasuk kejahatan yang sudah mengglobal dan terjadi di pelbagai negara, termasuk Indonesia [Muhammad Kamal, Human Trafficking; Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Manusia di Indonesia, halaman 1]

 

Dalam praktiknya, perdagangan anak sering kali berhubungan dengan pekerjaan paksa. Anak-anak yang terlibat dalam perdagangan ini dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan tidak layak, seperti pertambangan, industri tekstil, pertanian, atau sektor informal lainnya.

 

Mereka sering kali diperlakukan secara tidak manusiawi, dieksploitasi, dan dibayar dengan upah yang tidak adil atau bahkan tidak sama sekali. Selain itu, perdagangan anak juga sering terkait dengan perdagangan seksual anak, di mana anak-anak dieksploitasi secara seksual untuk keuntungan finansial.

 

Berdasarkan catatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO), dalam kurun waktu 2015--2019 ada sebanyak 2.648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2.319 perempuan dan 329 laki-laki. Di sisi lain, data dari International Organisation for Migration (IOM) Indonesia menunjukkan kasus TPPO pada tahun 2020 meningkat 154 kasus. Pun catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan bahwa jumlah permohonan perlindungan saksi di Tindak Pidana Perdagangan Orang meningkat 15,3 persen.

 

Dampak Perdagangan Anak
Perdagangan anak memiliki dampak yang merusak tidak hanya bagi korban langsung, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Dampak-dampak ini mencakup kerugian fisik, emosional, psikologis, dan sosial. Anak-anak yang terperangkap dalam perdagangan anak sering kali mengalami trauma berat, kehilangan masa kecil mereka, dan mengalami gangguan perkembangan fisik dan mental.

 

Di sisi fisik, anak-anak yang diperdagangkan sering kali menghadapi risiko kesehatan yang serius. Mereka dapat mengalami kelelahan kronis, malnutrisi, cedera fisik, dan bahkan kehilangan nyawa akibat kondisi kerja yang berbahaya. Selain itu, mereka juga rentan terhadap penyalahgunaan narkoba dan penyakit menular seksual yang terkait dengan perdagangan seksual anak.

 

Dampak emosional dan psikologis dari perdagangan anak juga sangat menghancurkan. Anak-anak yang menjadi korban sering kali mengalami stres berkepanjangan, kecemasan, depresi, dan trauma pasca-trauma. Mereka kehilangan rasa harga diri, rasa aman, dan kepercayaan pada orang dewasa. Dalam jangka panjang, pengalaman ini dapat berdampak negatif pada hubungan interpersonal, kepercayaan diri, dan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka.

 

Selain kerugian bagi individu, perdagangan anak juga merusak masyarakat secara keseluruhan. Kehadiran perdagangan anak menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak stabil. Hal ini menghambat pembangunan sosial dan ekonomi, mengurangi produktivitas masyarakat, dan melanggengkan siklus kemiskinan. Dalam jangka panjang, praktik ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik suatu negara.

 

Islam Mengutuk Perdagangan Anak
Perdagangan anak termasuk perbuatan yang merusak di muka bumi. Pasalnya, manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, dijadikan barang atau komoditas yang diperjualbelikan. Secara fiqih, perdagangan anak mutlak haram, dan akadnya batal [tidak sah].

 

ولا يجوز بيع الحر، وما ليس بمملوك كالمباحات قبل حيازتها ومِلْكها، ولا نعلم في ذلك خلافاً

 

Artinya; "Tidak diperbolehkan memperjualbelikan manusia manusia merdeka, dan barang yang dia bukan pemiliknya, seperti apa yang diperbolehkan sebelum diperoleh dan dimiliki, dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang masalah itu." [Ibnu Qudamah, al Mughni, Jilid 5 [Beirut; Dar Khottob, 1971], halaman 12].

 

Terkait perdagangan anak, Syekh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Al-Masyhur dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin, halaman 243 dijelaskan bahwa haram hukumnya menjual anak laki-laki atau perempuan, sekalipun dengan alasan keterbatasan ekonomi. Pasalnya, anak adalah manusia merdeka yang haram untuk diperjualbelikan.

 

(مسألة: ج) : لا يجوز بيع الأولاد لاحتياجهم للنفقة لحرمة بيع الحر، فلو باعهم الأب أو غيره كان ثمنهم متعلقاً بذمة البائع، وليس لمشتريهم عليهم يد، ونفقتهم في بيت المال 

 

Artinya; "Tidak diperbolehkan memperjualbelikan anak-anak, karena kebutuhan akan nafkah mereka, karena haram hukumnya memperjualbelikan manusia merdeka.  Jika ayah atau orang lain menjualnya, maka harga mereka terkait dengan kewajiban penjual, dan pembeli mereka tidak memiliki hak atas mereka, dan nafkah mereka di baitul mal."

 

Lebih dari itu, dalam Islam, menjual manusia sebagai budak atau memperlakukan manusia sebagai objek perdagangan adalah dilarang secara tegas. Nabi Muhammad SAW mengajarkan keadilan, penghormatan, dan kesetaraan di antara semua manusia. Beliau menyatakan dengan jelas bahwa semua manusia dilahirkan dengan hak-hak yang sama dan tidak boleh diperlakukan sebagai barang dagangan.

 

Salah satu hadis yang menggambarkan larangan menjual manusia adalah sebagai berikut:

 

ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه

 

Artinya;  "Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdeka, lalu memakan hasil penjualannya (harganya) dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak memberi upahnya.” (HR Bukhari)

 

Berdasarkan itu, dalam konteks zaman modern, praktik perdagangan anak telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh komunitas internasional. Islam, sebagai agama universal, juga menentang praktik perbudakan modern ini dalam semua bentuknya. Muslim dianjurkan untuk mematuhi hukum internasional yang melarang perbudakan dan memperjuangkan keadilan serta perlindungan hak asasi manusia.

 

Jadi, secara tegas dapat dikatakan bahwa Islam melarang memperjualbelikan manusia atau praktik perbudakan. Islam mendorong penghargaan terhadap martabat manusia, kesetaraan, dan keadilan bagi semua individu, tanpa memandang ras, suku, atau status sosial.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Ciputat.