Tafsir

Tafsir Surat Al-An’am 151: Larangan Membunuh Jiwa

Jumat, 9 Agustus 2024 | 07:00 WIB

Tafsir Surat Al-An’am 151: Larangan Membunuh Jiwa

Ilustrasi membunuh. Sumber: Freepik

Mimpi indah tentang hidup yang bebas tanpa adanya jiwa-jiwa manusia yang terbunuh ternyata masih sebagai angan-angan. Kita masih saja sering menemukan berita-berita tentang kasus pembunuhan seseorang, padahal setiap manusia memiliki hak untuk terus hidup dan menikmati segala keindahan yang ada di dunia ini.


Salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa yang tidak bersalah adalah tindakan aborsi. Aborsi merupakan proses penghentian kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar rahim. Tindakan ini tentu juga tidak dibenarkan jika dilakukan dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah, karena dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri potensi kehidupan manusia.


Larangan pembunuhan jiwa tanpa alasan yang benar merupakan sebuah tindakan yang sangat dikecam. Islam menilai bahwa kehidupan manusia dianggap sangat berharga dan suci, sehingga menghilangkan nyawa seseorang tanpa alasan yang bisa dibenarkan merupakan salah satu dosa besar yang membawa konsekuensi berat, baik di dunia maupun di akhirat. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:


وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ

wa lâ taqtulû aulâdakum min imlâq, naḫnu narzuqukum wa iyyâhum, wa lâ taqrabul-fawâḫisya mâ dhahara min-hâ wa mâ bathan, wa lâ taqtulun-nafsallatî ḫarramallâhu illâ bil-ḫaqq


Artinya, “Janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. ‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.’ Janganlah pula kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar.” (QS Al-An’am [6]: 151).


Pada ayat di atas, Allah memberikan larangan tegas pada tiga hal:

  1. Larangan membunuh anak karena takut miskin;
  2. Larangan mendekati perbuatan keji; dan
  3. Larangan membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali atas dasar yang hak.
 

Namun dari tiga topik larangan di atas, penulis akan fokus pada satu pembahasan, yaitu larangan membunuh jiwa yang tidak bersalah tanpa alasan yang benar, menurut perspektif ulama tafsir.


Tafsir at-Thabari
Imam Abu Ja’far at-Thabari (wafat 310 H) dalam kitab Tafsir Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an menjelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan keharaman membunuh jiwa-jiwa yang diharamkan oleh Allah swt.

 

Jiwa-jiwa yang diharamkan bisa terdiri dari orang yang seagama sendiri, yaitu orang Islam, atau pun orang non-muslim yang mendapatkan jaminan keamanan dari negara atau pemimpin.


Mengganggu, menyakiti dan membunuh orang tersebut hukumnya haram, dan termasuk dari perbuatan dosa besar. Kecuali pembunuhan tersebut memang atas dasar yang dibenarkan dalam syariat Islam, seperti hukuman kepada orang yang membunuh orang-orang yang telah disebutkan, maka ia boleh dibunuh sebagai bentuk hukuman,


وَقَوْلُهُ: إِلاَّ بِالْحَقِّ، يَعْنِي بِمَا أَبَاحَ قَتْلَهَا بِهِ: مِنْ أَنْ تَقْتُلَ نَفْسًا فَتُقْتَلُ قَوَدًا


Artinya, “Adapun firman Allah: kecuali dengan alasan yang benar, yaitu dengan sesuatu yang diperbolehkan untuk membunuhnya, seperti engkau membunuh jiwa (dengan sengaja dan tanpa alasan yang benar), maka engkau akan dibunuh sebagai hukuman/qishash.” (Imam at-Thabari, Tafsir Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, cetakan pertama: 2000], jilid XII, halaman 220).


Lebih lanjut, Imam at-Thabari juga menjelaskan bahwa membunuh yang diperbolehkan dalam contoh di atas, sebagai bentuk hukuman atau qishash, tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, qishash hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wewenang, yaitu sultan atau pemerintah. Adapun orang yang tidak memiliki wewenang, tidak diperbolehkan untuk melakukan qishash.


Tafsir al-Munir
Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, salah seorang ulama pakar tafsir kontemporer, dalam kitab tafsirnya menjelaskan, sebelum Allah swt memberikan larangan penegasan berupa larangan membunuh jiwa-jiwa tak bersalah tanpa alasan yang benar, terlebih dahulu Allah menegaskan larangan mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, ini tentu juga termasuk larangan mendekati pembunuhan.


Menurut ulama berkebangsaan Suriah itu, larangan untuk membunuh jiwa tanpa alasan yang benar sebagai bentuk penegasan (ta’kid) dan kepedulian (ihtimam). Meski pembunuhan pada hakikatnya termasuk dari perbuatan keji yang sudah Allah larang sebelumnya, namun Allah kembali menegaskan untuk tidak melakukan pembunuhan kecuali dengan alasan yang benar. Larangan itu tertuju kepada jiwa-jiwa muslim, atau non-muslim yang sudah memiliki perjanjian damai dengan orang Islam.


Larangan pembunuhan itu tentu tidak lain selain merupakan perbuatan dosa besar dan bentuk kriminal pada hak-hak kemanusiaan, serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap ciptaan Allah swt yang telah Dia ciptakan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili, yaitu:


وَمَا ذَلِكَ التَّحْرِيْمُ لِلْقَتْلِ إِلاَّ لِأَنَّهُ جَرِيْمَةٌ كُبْرَى فِي حَقِّ الْإِنْسَانِيَّةِ، وَاعْتِدَاءٌ عَلَى صَنْعِ الْخَالِقِ الَّذِي أَوْجَدَ وَأَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ 


Artinya, “Dan tidak ada pengharaman untuk membunuh itu selain karena merupakan kejahatan yang besar pada hak kemanusiaan, dan pelanggaran terhadap ciptaan Allah, yang telah menciptakan dan menyempurnakan setiap sesuatu yang telah Dia ciptakan.” (Syekh Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir, cetakan kedua: 1418], jilid VIII, halaman 98).


Tafsir al-Wasith
Sementara itu, menurut Syekh Muhammad Sayyid at-Thanthawi dalam kitab tafsirnya, larangan untuk membunuh jiwa tanpa alasan yang benar menurut syariat, tidak lain selain karena jiwa-jiwa yang telah Allah ciptakan, memiliki hak untuk hidup di dunia, maka sesama makhluk-Nya, tidak memiliki hak untuk menghilangkan hak tersebut.


Oleh sebab itu, darah dan jiwa masing-masing manusia semuanya terlindungi dalam Islam, dan tidak boleh bagi siapa saja untuk merusak dan membunuhnya, termasuk juga bagi anak. Orang tua tidak boleh untuk menggugurkan kandungannya atau aborsi. Ia memiliki hak untuk hidup.


وَلِلنَّسْلِ حَقُّ الْحَيَاةِ وَالْحِفْظِ، وَالْفَوَاحِشُ فَحْشٌ وَنَكْرٌ فِى ذَاتِهَا فَيَجِبُ أَنْ تُجْتَنَبَ 


Artinya, “Dan anak memiliki hak untuk hidup dan hak penjagaan. Perbuatan-perbuatan keji adalah keji dan kemungkaran dalam dzatnya, maka wajib untuk dihindari.” (Syekh at-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, [Mesir: Daru an-Nahdlah, 1998], jilid I, halaman 569).


Membunuh atau Menghidupi?
Terdapat sebuah firman Allah swt dalam Al-Qur’an, yang menjelaskan bahwa membunuh orang yang tidak bersalah sama halnya dengan membunuh semua manusia. Begitu juga memelihara kehidupan seseorang, sama halnya dengan memelihara kehidupan semua orang. Adapun teks ayatnya adalah sebagai berikut:


مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً


Artinya, “Siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS Al-Ma’idah, [5]: 32).


Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa perumpamaan di atas tidak lain adalah bentuk ungkapan hiperbola (mubalaghah), bahwa membunuh dan memberikan kehidupan bagi seseorang sangat besar implikasinya bagi kehidupan orang lain. (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1420], jilid XI, halaman 344).


Oleh sebab itu, membunuh jiwa seseorang tidak dapat dibenarkan dalam perspektif apa pun, kecuali dengan alasan yang benar dalam pandangan Islam, sebab hidup dan mati seseorang semuanya adalah hak Allah swt.

 

Dengan demikian, makhluk-Nya tidak boleh ikut campur dalam hal ini, termasuk juga dalam menjaga dan membiarkan bayi atau seorang anak tetap hidup. Begitu pun tindakan aborsi tidak dapat dibenarkan dalam Islam, kecuali dengan alasan yang benar sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam syariat. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.