Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 226-227: Ketentuan Hukum Sumpah Suami untuk Pisah Ranjang
NU Online · Sabtu, 27 Juli 2024 | 05:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Zaman dulu, Ila' (sumpah pisah ranjang) merupakan cara masyarakat Jahiliyah untuk membuat istri mereka menderita. Kalau seorang laki-laki tidak menghendaki lagi istrinya, sementara ia juga tidak ingin istrinya itu dinikahi orang lain, ia bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya. Ia membiarkan istrinya dalam status menggantung, tidak janda dan tidak pula bersuami.
Allah swt. kemudian menentukan tempo yang menunjukkan keinginan lelaki terhadap istrinya itu adalah empat bulan. Allah swt. menurunkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 226-227.
Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 226-227:
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٢٢٦ وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٢٢٧
lilladzîna yu'lûna min nisâ'ihim tarabbushu arba‘ati asy-hur, fa in fâ'û fa innallâha ghafûrur raḫîm, wa in ‘azamuth-thalâqa fa innallâha samî‘un ‘alîm
Artinya: “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226-227)
Munasabah
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam Tafsir Al-Munir, munasabah surat Al-Baqarah ayat 226-227 dengan ayat sebelumnya terlihat sangat jelas. Pasalnya, ayat terdahulu menyinggung sebagian dari hukum-hukum wanita dan sebagian dari hukum-hukum sumpah, sedangkan pada ayat 226-227 ini menggabungkan pembahasan keduanya (wanita dan sumpah). (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991 M], juz II, hal. 312).
Asbabun nuzul
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memaparkan beberapa sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 226-227 ini. Berikut adalah beberapa di antaranya:
قال ابن عباس: كان إيلاء أهل الجاهلية السّنة والسّنتين وأكثر من ذلك، فوقّت الله أربعة أشهر، فمن كان إيلاؤه أقل من أربعة أشهر فليس بإيلاء.
Artinya: “Ibnu Abbas berkata, ‘Ila' yang dilakukan orang-orang pada masa Jahiliyah berlangsung hingga satu-dua tahun, bahkan kadang lebih dari itu. Maka Allah membatasi waktunya hingga empat bulan. Barangsiapa ila'-nya kurang dari empat bulan, maka itu bukan terhitung sebagai ila'.”
وقال سعيد بن المسيب: كان الإيلاء ضرار أهل الجاهلية، كان الرجل لا يريد المرأة ولا يحبّ أن يتزوجها غيره، فيحلف أن لا يقربها أبدا، وكان يتركها كذلك، لا أيّما ولا ذات بعل، فجعل الله تعالى الأجل الذي يعلم به ما عند الرجل في المرأة أربعة أشهر، وأنزل الله تعالى: ﴿لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسائِهِمْ﴾ الآية
Artinya: “Sa'id bin Musayyib berkata, ‘Ila' dulunya merupakan cara masyarakat Jahiliyah untuk membuat istri menderita. Kalau seorang laki-laki tidak menghendaki lagi istrinya, sementara ia tidak ingin istrinya itu dinikahi orang lain, ia bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya. Ia membiarkan istrinya dalam status demikian; tidak janda dan tidak pula bersuami. Maka Allah swt. menentukan tempo yang menunjukkan keinginan lelaki terhadap istrinya itu adalah empat bulan. Allah swt. menurunkan firman-Nya, lilladzîna yu’lûna min nisâ’ihim."
وذكر مسلم في صحيحه أن النّبي ﷺ آلى وطلّق، وسبب إيلائه سؤال نسائه إياه من النفقة ما ليس عنده
Artinya: “Dalam kitab Shahih-nya, Imam Muslim menyebutkan bahwa Nabi saw. pernah melakukan ila' serta menjatuhkan talak. Sebab musabab beliau melakukan ila' adalah karena istri-istrinya meminta beliau memberi mereka nafkah yang sebetulnya beliau tidak punya.”
وذكر ابن ماجه سببا آخر: وهو أن زينب ردّت عليه هديته، فغضب ﷺ، فآلى منهن
Artinya: “Ibnu Majah menyebutkan sebab yang lain, yaitu Zainab menolak hadiah pemberian Rasulullah saw. sehingga beliau marah dan melakukan ila' kepada istri-istrinya.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 312).
Ragam tafsir
Secara garis besar, surat al-Baqarah ayat 226-227 ini mengandung bahasan utama ketentuan hukum pisah ranjang yang diucapkan suami yang sah mentalak istrinya. Setidaknya, ada enam bahasan pokok dalam ayat ini, yakni mengenai makna ila’ dalam al-Qur’an, ketentuan sumpah suami untuk pisah ranjang yang dianggap sah, sifat sumpah yang menjadikan pelaku sumpah terhitung melakukan ila’, ketentuan fai’ (kembali mencampuri istri), ketentuan talak setelah suami tidak kembali mencampuri istri, dan kafarat sumpah bagi pelanggar sumpah pisah ranjang.
Ila’ dalam Al-Qur’an
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari ila’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat tersebut:
- Ibnu Abbas ra. berpendapat bahwa seseorang tidak dinilai melakukan ila' hingga ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selamanya;
- Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jika seseorang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya selama sehari, atau kurang darinya, atau bahkan lebih, kemudian dia tidak menggauli istrinya selama empat bulan, maka istrinya telah terceraikan darinya karena ila' itu. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, An-Nakha'i, Ibnu Abi Laila, Al Hakam, Hamad bin Sulaiman dan Qatadah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Ishak. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini diingkari oleh kebanyakan ahli ilmu (ahlul ilmi);
- Mayoritas ulama berpendapat bahwa ila’ adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan (dengan istinya) lebih dari empat bulan. Jika seseorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan (hanya) selama empat bulan atau bahkan kurang, maka dia tidak dianggap melakukan ila'. Menurut mayoritas ulama tersebut, sumpah yang diucapkan itu hanyalah sumpah semata. Jika dia melakukan hubungan badan dalam tenggat waktu empat bulan itu, maka tidak ada sesuatu pun yang diwajibkan atas dirinya seperti semua sumpah (lainnya). Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syaf i, Imam Ahmad dan Abu Tsaur. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1964], juz 2, hal. 104-105).
Ketentuan sumpah suami untuk pisah ranjang
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, para ulama berbeda pendapat tentang sumpah yang menjadikan ila’ menjadi sah. Berikut adalah paparan perbedaan pendapat tersebut:
Pertama, menurut Imam Syafi'i dalam qaul jadid-nya, ila' hanya sah kalau diucapkan dengan bersumpah atas nama Allah. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw,
مَنْ كانَ حالِفًا فليحلِفْ بالله أو ليَصمُتْ
Artinya: "Barangsiapa bersumpah, hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah. Kalau tidak, hendaknya ia diam."
Kedua, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, ila' sah dengan sumpah untuk tidak menyetubuhi istri dengan talak atau pemerdekaan, nazar sedekah harta atau haji, atau sumpah zhihar (ungkapan suami menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya). Dalilnya adalah perkataan Ibnu Abbas,
كلّ يمين منعت جماعا فهي إيلاء. وكلّ من حلف بالله أو بصفة من صفاته، فقال: أقسم بالله أو أشهد بالله، أو علي عهد الله وكفالته وميثاقه وذمّته، فإنه يلزمه الإيلاء اتفاقا
Artinya: “Setiap sumpah yang menghalangi jima’ adalah ila'. Demikian pula setiap orang yang bersumpah dengan nama Allah atau dengan salah satu sifat-Nya, misalnya dengan ungkapan uqsimu billaahi (aku bersumpah dengan nama Allah), asyhadu billaahi (aku bersaksi dengan nama Allah), atau 'alayya 'ahdullaahi (aku berjanji kepada Allah), maka ini adalah bentuk ila' yang sah.”
Mazhab Maliki menambahkan bahwa tidak disyaratkan sumpah dalam ila'. Jadi, kalau suami tidak mau menyetubuhi istri agar istrinya menderita dan tidak ada uzur dalam hal ini, dan ia tidak mengucapkan sumpah, maka ia sudah terhitung melakukan ila' karena tindakan ini sudah mendatangkan penderitaan kepada istri.
Ketiga, mazhab Hambali, dalam riwayat yang masyhur, berpendapat bahwa ila' tidak sah dengan sumpah talak dan pemerdekaan. Dalilnya adalah qira'ah (bacaan) Ubaiy dan Ibnu Abbas, lilldzîna yaqsimûna sebagai ganti dari bacaan yu’lûna.
Jika suami bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak akan menyetubuhi istrinya dan dia mengucapkan Insyaallah, maka (menurut pendapat yang paling sahih di mazhab Maliki dan mayoritas fuqaha) ia tidak dianggap melakukan ila' karena kalimat Insyaallah itu membatalkan sumpah, sehingga membuat orang yang sudah bersumpah seakan-akan tidak bersumpah.
Demikian pula jika suami bersumpah dengan nama Nabi, malaikat, atau Ka'bah bahwa ia tidak akan menyetubuhi istrinya, atau ia berkata, “Aku adalah orang Yahudi, atau Nasrani, atau pezina jika aku menyetubuhi istriku", maka ia tidak terhitung melakukan sumpah pisah ranjang (ila'). Ini adalah pendapat menurut Imam Malik dan lainnya. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 313-314).
Sumpah pisah ranjang yang sah
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, para ulama berbeda pendapat tentang sifat sumpah yang membuat si pelaku sumpah terhitung melakukan sumpah pisah ranjang (ila’). Berikut adalah paparan perbedannya:
- Menurut beberapa ulama (antara lain Ali, Ibnu Abbas, dan az-Zuhri), seorang suami tidak dianggap melakukan sumpah pisah ranjang (ila’) kecuali jika ia bersumpah untuk tidak menyetubuhi istri dengan maksud membuatnya menderita. Adapun kalau ia bersumpah begitu, namun bukan dengan tujuan membuat istrinya menderita, ia tidak terhitung melakukan sumpah pisah ranjang (ila'). Alasannya adalah karena Allah swt. meniadakan tempo ila' sebagai jalan keluar dari keburukan perlakuan suami; sehingga kalau ia tidak bermaksud membuat istri menderita, melainkan berniat memperbaiki istri, maka ia tidak bisa dianggap melakukan ila’.
- Menurut para ulama lainnya, sang suami terhitung melakukan sumpah pisah ranjang baik ia bersumpah tidak menggauli istrinya dengan niat membuatnya menderita maupun dengan niat merealisasikan maslahat.
- Sebagian ulama berpendapat bahwa sumpah ila' tidak terbatas pada sumpah untuk tidak menyetubuhi istri saja, melainkan mencakup sumpah atas perihal lainnya. Misalnya, suami bersumpah akan membuat istrinya marah, atau akan memperlakukannya dengan buruk atau tidak akan memberinya haknya, atau akan memusuhinya. Semua itu tergolong ila'. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 314-315).
Ketentuan kembali mencampuri istri
Syekh Wahbah mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dari fai’ (kembali mencampuri istri) dalam ayat tersebut. Berikut adalah paparan perbedaannya:
Pertama, menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan fai’ adalah menggauli istri yang semula disumpah untuk tidak digauli. Sehingga, suami tidak disebut kembali (fai’) kepada istrinya kecuali dengan berbuat demikian (menggauli istrinya).
Namun, jika ada uzur, misalnya sakit atau sedang bepergian, dan tempo ila' sudah habis tanpa terjadi persetubuhan, maka istri telah berstatus orang yang tertalak ba'in (talak yang tidak bisa dirujuk) menurut pendapat sebagian kalangan; tapi menurut mayoritas ulama (di antaranya mazhab Maliki), istri tidak menjadi ba'inah dari suaminya, dan suami masih berhak merujuknya, serta si istri masih berstatus sebagai istrinya.
Kedua, menurut mazhab Hanafi, fai' bisa terjadi dengan perbuatan (yaitu jima’ di kemaluan) atau dengan perkataan. Misalnya, suami berkata, “Aku kembali kepadamu,” “Aku merujukmu,” dan sejenisnya. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 315).
Ketentuan Talak
Syekh Wahbah mengungkapkan, para ulama berbeda pendapat tentang talak setelah suami tidak fai’ (kembali kepada istri dalam ila’). Berikut adalah perbedaan tersebut:
- Menurut mazhab Hanafi, fai’ (kembali kepada istri) dilakukan sebelum habisnya tempo. Jika masa empat bulan sudah berlalu, sementara suami masih belum kembali kepada istrinya, maka terjadilah talak dan talak ini adalah talak ba'in (talak yang tidak bisa dirujuk).
- Menurut jumhur ulama, talak tidak terjadi dengan semata-mata habisnya tempo. Jika tempo sudah habis, talak tidak begitu saja terjadi, melainkan si istri harus mengadukan urusan itu kepada hakim, yang lantas menyuruh suami untuk fai’ (kembali kepada istri) atau menceraikannya. Dengan kata lain, talak itu terjadi dengan diucapkannya kata ‘talak’ oleh suami, atau oleh hakim apabila istri mengadukan urusan itu kepadanya. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 315).
Kafarat Sumpah
Syekh Wahbah mengatakan bahwa keempat imam mazhab sepakat atas wajibnya kafarat sumpah atas pelaku ila' yang melanggar sumpahnya apabila ia kembali kepada istrinya dengan menyetubuhinya.
Lebih jauh, beliau juga mengatakan bahwa para ulama bersepakat (ijma’) mengenai bolehnya mendahulukan kafarat atas pelanggaran sumpah dalam ila'. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sumpah lainnya. Menurut Abu Hanifah, tidak boleh mendahulukan kafarat atas pelanggaran sumpah. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz II, hal. 317).
Walhasil, dapat disimpulkan bahwa surat al-Baqarah ayat 226-227 ini mengandung bahasan utama mengenai ketentuan hukum sumpah pisah ranjang yang diucapkan suami mentalak istrinya, yaitu mengenai makna ila’ (sumpah pisah ranjang) dalam Al-Qur’an, ketentuan sumpah pisah ranjang yang dianggap sah, sifat sumpah yang menjadikan pelaku sumpah terhitung melakukan ila’, ketentuan fai’ (kembali mencampuri istri), ketentuan talak setelah suami tidak kembali mencampuri istri, maupun kafarat sumpah bagi pelanggar sumpah pisah ranjang. Wallahu a’lam.
M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Prabowo Serukan Solusi Dua Negara agar Konflik Israel-Palestina Reda
Terkini
Lihat Semua