Tafsir

Tafsir Surat Hud Ayat 118: Jalan Menuju Persatuan di Tengah Keragaman

NU Online  ·  Kamis, 25 Juli 2024 | 17:00 WIB

Tafsir Surat Hud Ayat 118: Jalan Menuju Persatuan di Tengah Keragaman

Ilustrasi persatuan. (Foto: NU Online/Freepik)

Dalam kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan tema "Meneguhkan Moderasi Beragama untuk Membangun Toleransi dan Harmoni", Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Muhammad Al-Tayyeb menyampaikan tentang persatuan umat Islam. Beliau merujuk pada ayat Al-Qur'an, surat Hud [11] ayat  118 yang menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia adalah kenyataan yang tak terelakkan. 

 

Namun, perbedaan ini bukan alasan untuk perpecahan. Justru, Al-Qur'an mendorong umat Islam untuk bersatu dan mencapai "keberagaman dalam kesatuan". Grand Syekh Al-Azhar menjelaskan bahwa Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan pendapat di antara umat Islam. Hal ini, adalah kehendak-Nya. Allah tidak ingin menciptakan umat Islam yang seragam dalam segala hal, namun justru ingin mereka berbeda dalam berbagai aspek, termasuk akal, fisik, dan lainnya.

 

Simak firman Allah dalam Surat Hud ayat 118 berikut ini:

 

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ 

 

walau syâ'a rabbuka laja‘alan-nâsa ummataw wâḫidataw wa lâ yazâlûna mukhtalifîn

 

Artinya: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama),”

 

Meskipun terdapat perbedaan, Grand Syekh Al-Azhar menyerukan umat Islam untuk tetap bersatu dan saling menghormati. Beliau mengajak umat Islam untuk fokus pada persamaan mereka, yaitu keimanan kepada Allah SWT dan ajaran Islam. Dengan persatuan dan saling menghormati, umat Islam dapat mencapai kemajuan dan berkontribusi positif bagi dunia.

 

Tafsir Al-Misbah

Surah Hud ayat 118 menjelaskan bahwa Allah memiliki kuasa untuk menjadikan seluruh manusia sebagai satu umat dengan satu agama. Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa manusia, termasuk mereka yang dibinasakan dan disebutkan dalam ayat sebelumnya [ayat 116-117], tidaklah merugikan Allah atau mengurangi kekuasaan-Nya dengan kedurhakaan mereka. 

 

Justru, ayat ini menjelaskan bahwa Allah berkuasa penuh atas kehendak-Nya. Andai Allah berkehendak, Dia dapat menjadikan seluruh manusia beragama satu dan tunduk patuh kepada-Nya seperti para malaikat. Namun, Allah tidak menghendaki demikian.

 

Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih dan memilah. Kebebasan ini membuat manusia terkadang berselisih pendapat, bahkan dalam hal-hal pokok agama yang seharusnya tidak diperdebatkan. Perbedaan ini muncul karena kecenderungan, cara berpikir, dan hawa nafsu masing-masing individu, dan mereka cenderung bersikukuh dengan pendapatnya.

 

Meskipun perselisihan dan perbedaan dalam masyarakat dapat memicu kelemahan dan ketegangan, keragaman adalah hal yang tak terelakkan dalam hidup. Perbedaan ini muncul dari berbagai faktor, seperti ciri dan tabiat manusia, lingkungan, dan perkembangan ilmu. 

 

Semua ini merupakan ketetapan Allah dan tentu memiliki hikmah, baik bagi manusia sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba Allah yang diamanahkan untuk mengabdi kepada-Nya dan menjadi khalifah di bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Az-Zukhruf [43] ayat 32: 

 

 وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

 

Artinya: "Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

 

Sementara itu, Allah SWT telah menganugerahkan akal pikiran kepada manusia, memberikan potensi baik dan buruk, serta mengutus nabi dan rasul serta menurunkan kitab suci untuk memperkuat fitrah kesucian dalam jiwa manusia. Tujuannya adalah agar manusia tidak berselisih dalam hal-hal prinsip ajaran agama. 

 

Namun, sebagian manusia justru memanfaatkan potensi ini untuk berselisih dalam prinsip-prinsip agama, kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah. Manusia diberi kemampuan memilih yang seharusnya digunakan dalam urusan selain prinsip ajaran agama, tetapi manusia tetap menggunakannya dalam persoalan tersebut. Allah tidak mencabut kehendak mereka, tetapi mengecam mereka yang berselisih dalam hal itu dan memperingatkan bahwa siapa yang memilih selain ajaran-Nya akan terancam siksaan-Nya.

 

Dengan kemampuan memilih ini, manusia bisa mencapai kualitas kemanusiaan yang tinggi, jiwa yang suci, dan budi pekerti yang luhur, atau malah jatuh ke dalam kebejatan, mengotori fitrahnya, dan mendurhakai Tuhan yang memberikan berbagai kenikmatan. Perbedaan antara kedua jenis makhluk ini akan tampak di akhirat, sesuai dengan pilihan dan perbuatan mereka di dunia. 

 

Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan keputusan-Nya: 

 

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ

 

Artinya: "Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam (dengan pendurhaka) dari kalangan jin dan manusia semuanya.”

 

Perbedaan tempat di akhirat antara mereka yang taat dan durhaka mencerminkan konsekuensi dari pilihan dan tindakan yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka yang menggunakan potensi dan kemampuan memilih dengan bijak, menjaga fitrah kesucian, serta menaati ajaran Allah, akan mendapatkan tempat yang mulia di surga. Sebaliknya, mereka yang menyalahgunakan potensi tersebut untuk berselisih dalam prinsip-prinsip agama dan mendurhakai Tuhan, akan menerima balasan yang setimpal di neraka jahanam.

 

Pada intinya, ayat ini menegaskan bahwa Allah berkuasa penuh dan manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Perbedaan pendapat merupakan konsekuensi dari kebebasan tersebut, dan manusia harus mempertanggungjawabkan pilihannya. Orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah akan terhindar dari perselisihan dan mendapatkan balasan terbaik. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002) Jilid VI, halaman 376].

 

Tafsir Al-Munir

Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir,  Allah SWT menjelaskan bahwa Dia Mahakuasa untuk menjadikan seluruh manusia menjadi umat yang satu, baik beriman atau kafir. Dalam menafsirkan Lafaz walau syâ’a rabbuka, mengutip  pendapat Az-Zamakhsyari yang merupakan penganut Mazhab Muktazilah, Syekh Wahbah menyatakan bahwa jika Allah menghendaki, Dia bisa memaksa manusia untuk menjadi pemeluk satu agama, yaitu agama Islam. 

 

Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Mu’minun [23] ayat 52, yang menyatakan bahwa agama tauhid adalah agama yang satu dan Allah adalah Tuhan mereka.

 

وَاِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ

 

Artinya: “Sesungguhnya (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Akulah Tuhanmu. Maka, bertakwalah kepada-Ku.”

 

Namun, ayat ini bukan bermakna bahwa Allah memaksa manusia untuk beriman. Allah tidak memaksa mereka untuk mengikuti agama yang benar, tetapi memberikan mereka pilihan. Dasar taklif ini berarti manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara kebenaran dan kebatilan. Akibatnya, manusia berselisih dalam keyakinannya. Mereka yang diberi rahmat oleh Allah, yaitu yang diberi petunjuk dan kasih sayang-Nya, akan mengikuti agama yang benar dan tidak berselisih.

 

Menurut Ahlus Sunnah, ayat ini menjelaskan kekuasaan Allah untuk menjadikan seluruh manusia dalam satu manhaj, baik iman atau kafir, dengan menciptakan mereka yang memiliki kemampuan untuk menerima satu agama. Namun, Allah SWT tidak menghendaki demikian. Firman Allah dalam Surat Yunus ayat 99 menegaskan bahwa jika Allah menghendaki, seluruh manusia di bumi akan beriman.

 

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

 

Artinya: “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?” [Q.S Yunus [10] ayat 99]

 

Allah menghendaki agar manusia memiliki pilihan dalam menuju kebenaran dan iman serta membuang kesesatan dan kemusyrikan. Pilihan ini adalah bentuk ujian bagi manusia, apakah mereka akan mengikuti kebenaran yang diwahyukan atau memilih jalan yang sesat.

 

Dengan memberikan kebebasan ini, Allah menguji kesungguhan iman manusia dan membedakan antara mereka yang ikhlas mencari kebenaran dengan mereka yang mengikuti hawa nafsu dan kebatilan. Ini adalah bentuk keadilan Allah dalam memberikan pahala dan hukuman berdasarkan pilihan dan usaha manusia dalam mencari kebenaran.

 

Orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah adalah mereka yang diberi petunjuk dan kasih sayang-Nya, sehingga mereka bisa mengikuti agama yang benar tanpa perselisihan. Mereka ini adalah golongan yang selamat, yang mengikuti jalan lurus yang ditunjukkan oleh Allah. Dengan demikian, ayat ini menekankan pentingnya kebebasan memilih dalam beriman, sekaligus menunjukkan rahmat Allah bagi mereka yang memilih kebenaran dan diberikan petunjuk oleh-Nya.

 

ويرى أهل السّنّة: أن الآية بيان لقدرة الله تعالى على جعل الناس كلهم على منهج واحد من إيمان أو كفر، بخلقهم قابلين دينا واحدا، لكنه تعالى لم يشأ ذلك، مثل قوله تعالى: {وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً} [يونس ٩٩/ ١٠] وإنما شاء أن يكون لهم دور اختياري في الاتّجاه إلى الحقّ والإيمان ونبذ الضّلالة والشّرك،

 

Artinya: "Ulama Ahlu Sunnah berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan kekuasaan Allah Ta'ala untuk menjadikan seluruh manusia mengikuti satu manhaj baik itu dalam keimanan maupun kekufuran, dengan menciptakan mereka agar dapat menerima satu agama. Namun, Allah Ta'ala tidak menghendaki demikian, seperti firman-Nya: {Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang yang di muka bumi seluruhnya} (Yunus [10]:99). Allah justru menghendaki agar mereka memiliki peran pilihan dalam mengikuti kebenaran dan keimanan serta meninggalkan kesesatan dan kemusyrikan." (Syekh DR.Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir [Beirut: Darul Kutub al-Mua'shirah, 1991] , Jilid XII, halaman 18).

 

Kemudian firman wa lâ yazzalûna mukhtalifîn, yang berarti mereka senantiasa berselisih dalam masalah agama, keyakinan, mazhab, dan pendapat. Ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan dalam berbagai aspek keagamaan dan keyakinan akan selalu ada di antara manusia. Beberapa ulama juga berpendapat bahwa perselisihan ini bisa mencakup masalah hidayah atau rezeki yang diberikan kepada sebagian dari mereka.

 

Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang masyhur dan dianggap benar adalah bahwa perselisihan tersebut terutama berkaitan dengan masalah agama, keyakinan, dan mazhab. Artinya, manusia selalu berbeda pendapat dalam hal keyakinan agama dan mazhab yang mereka anut. Pandangan ini menekankan bahwa perbedaan dalam keyakinan dan praktik keagamaan adalah sesuatu yang alami dan akan terus terjadi sepanjang waktu.

 

Tafsir At-Thabari

Sementara itu, Imam Abu Ja'far Thabari dalam kitab Jami' al-Bayan mengatakan bahwa makna firman wa lau syâ’a rabbuka laja‘alan nâsa ummataw wâhidatan adalah, Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu, maksudnya dia mampu menjadikan manusia sebagai umat yang satu agama dan satu keyakinan, dengan menjadikan manusia seluruhnya sebagai Muslim. 

 

Imam Thabari merujuk pada hadits berasal dari Qatadah yang menyatakan bahwa Allah dapat mengubah keadaan umat manusia. Hadits tersebut diceritakan oleh Bisyr yang kemudian disampaikan oleh Yazid dan Sa'id dari Qatadah, menegaskan bahwa jika Tuhan menginginkan, Dia dapat menjadikan semua orang Muslim tanpa kecuali.

 

حدثنا بشر قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة، قوله: (ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة) ، يقول: لجعلهم مسلمين كلهم

 

Artinya:  "Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, tentang firman-Nya: (Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu), yaitu menjadikan mereka semua sebagai muslim." (Imam Abu Ja'far Thabari, Jami' al-Bayan, [Mekkah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt], Jilid XV, halaman 531).

 

Adapun maksud firman Allah wa lâ yazâlûna mukhtalifîn, "Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama)," ulama berbeda pendapat tentang tafsirnya. Satu pendapat mengatakan bahwa perbedaan dalam ayat ini maksudnya adalah agama. Sejatinya, manusia akan terus-menerus berbeda dalam berbagai agama, seperti di antara orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan sebagainya.

 

حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا ابن نمير عن طلحة بن عمرو، عن عطاء: (ولا يزالون مختلفين) ، قال: اليهود والنصارى والمجوس، والحنيفيَّة همُ الذين رحم ربُّك

 

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Ibn Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Ibn Numair dari Thalhah bin Amr, dari 'Atha: '(Dan mereka akan terus-menerus berselisih),' ia berkata: 'Orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Hanifiyah adalah mereka yang dirahmati oleh Tuhanmu,". (Imam Abu Ja'far Thabari, Jami' al-Bayan, [Mekkah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt], Jilid XV, halaman 532).

 

Pendapat kedua, yang dimaksud dengan "mereka senantiasa berbeda" dalam ayat 118 tersebut adalah dalam hal rezeki. Sejatinya, manusia di atas dunia ini terbagi dua golongan: orang kaya dan orang miskin. Imam Thabari berkata:

 

وقال آخرون: بل معنى ذلك: ولا يزالون مختلفين في الرزق، فهذا فقير وهذا غنى

 

Artinya: "Dan orang-orang lain berkata: Sebaliknya, makna itu adalah: mereka akan terus-menerus berbeda dalam rezeki, ini miskin dan itu kaya."(Imam Abu Ja'far Thabari, Jami' al-Bayan..., halaman 534).

 

Pendapat ketiga mengatakan, maksud "berbeda" dalam ayat 118 di surat Hud di atas adalah dalam hal ampunan dan rahmat Allah. Pasalnya, tak bisa dipungkiri manusia di atas dunia yang durhaka kepada Allah, sehingga kelak akan dimasukkan ke dalam neraka di akhirat. Namun, di sisi lain, ada hamba Allah yang senantiasa taat, sehingga mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah. 

 

Dengan demikian, ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memiliki kuasa untuk menjadikan seluruh manusia beriman, namun Dia tidak berkehendak demikian. Hal ini dikarenakan Allah SWT ingin menguji manusia dan memberikan mereka kebebasan untuk memilih. Penting bagi setiap manusia untuk mempelajari agama dengan benar dan memilih jalan yang lurus agar mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam Tinggal di Ciputat.