Tafsir Surat Al-Mujadilah Ayat 11: Kecerdasan Akal Diperoleh dengan Belajar
Ahad, 25 Mei 2025 | 10:00 WIB
Setiap kebaikan, sekecil apa pun, sangat berarti. Tindakan baik yang kita anggap sederhana bisa berdampak besar bagi penerimanya, seperti setetes kebaikan yang terasa seperti karung beras bagi mereka yang kesulitan. Kebaikan ini menumbuhkan empati, rasa syukur, kasih sayang, dan semangat saling tolong-menolong di masyarakat, menjadikannya nilai universal yang dijunjung tinggi oleh hampir semua agama.
Namun, kebaikan harus dilandasi ilmu. Niat baik tanpa pengetahuan yang tepat bisa memicu dampak negatif. Niat baik yang diwujudkan dengan ilmu akan menghasilkan kebaikan universal yang manfaatnya meluas tanpa batas. Sebagai Muslim, kita dituntut memiliki hati baik dan keilmuan yang kuat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-Mujadilah ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
yâ ayyuhalladzîna âmanû idzâ qîla lakum tafassaḫû fil-majâlisi fafsaḫû yafsaḫillâhu lakum, wa idzâ qîlansyuzû fansyuzû yarfa‘illâhulladzîna âmanû mingkum walladzîna ûtul-‘ilma darajât, wallâhu bimâ ta‘malûna khabîr
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, ‘Berdirilah,’ (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa ayat ini memiliki beberapa penafsiran penting, yaitu:
- Ayat ini memerintahkan setiap mukmin untuk melakukan tindakan yang mencerminkan kasih sayang.
- Dari sisi tata bahasa Arab, kata "tafassahu" dalam konteks ayat ini lebih tepat menggunakan bentuk jamak "tafasahu".
- Kata “majelis” dalam ayat ini memiliki beberapa tafsir, salah satunya merujuk pada majelis Rasulullah SAW. Pada masa itu, para sahabat berlomba-lomba mendekat kepada Rasulullah SAW untuk mendengarkan ajaran dan nasihatnya dengan penuh semangat.
Berkaitan dengan penafsiran bahwa “majelis” merujuk pada majelis Rasulullah SAW, Imam Ar-Razi menyebutkan tiga versi penyebab turunnya ayat ini. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA sebagai berikut:
الثاني: روى عن ابن عباس أنه قال: نزلت هذه الآية في ثابت بن قيس بن الشماس، وذلك أنه دخل المسجد وقد أخذ القوم مجالسهم ، وكان يريد القرب من الرسول عليه الصلاة والسلام للوقر الذي كان في أذنيه فوسعوا له حتى قرب، ثم ضايقه بعضهم وجرى بينه وبينه كلام ، ووصف للرسول محبة القرب منه ليسمع كلامه، وإن فلاناً لم يفسح له، فنزلت هذه الآية، وأمر القوم بأن يوسعوا ولا يقوم أحد لأحد
Artinya: “Asbabul nuzul versi kedua diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Tsabit bin Qais bin Syammas. Suatu hari, ia memasuki masjid sementara orang-orang telah menempati tempat duduk mereka masing-masing. Ia ingin mendekat kepada Rasulullah SAW karena pendengarannya agak kurang jelas.
Orang-orang pun memberinya ruang hingga ia bisa mendekat. Namun, sebagian dari mereka merasa terganggu dan sempat terjadi percakapan antara Tsabit dan salah seorang dari mereka. Tsabit kemudian mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa ia sangat ingin mendekat agar bisa mendengarkan sabda beliau dengan baik, tetapi si fulan tidak mau memberinya tempat.
Maka turunlah ayat ini, dan Rasulullah SAW memerintahkan agar orang-orang memberi kelapangan dan tidak seorang pun diminta berdiri untuk memberi tempat bagi yang lain.” (Imam Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar Ihya`ut Turats Al-Arabi, t.t.], jilid XXIX, hlm. 497).
Kemudian, Imam Ar-Razi juga menafsirkan makna ayat “Allah akan memberi kelapangan untukmu” sebagai kelapangan yang bersifat umum, mencakup kelapangan tempat, rezeki, kemudahan di alam kubur, hingga kebahagiaan di surga. Beliau menjelaskan bahwa ayat ini mengandung pesan: jika seorang hamba membuka pintu kebaikan dan kelapangan bagi orang lain, Allah akan memberikan kelapangan dalam kebaikan di dunia dan akhirat.
Lebih lanjut, Imam Ar-Razi menegaskan agar setiap hamba yang berakal tidak membatasi makna “kelapangan” hanya pada ruang fisik. Makna ayat ini juga mencakup tindakan kebaikan kepada sesama makhluk dan upaya membahagiakan hati orang lain. Sehubungan dengan itu, Rasulullah SAW bersabda:
لا يزال الله في عون العبد ما زال العبد في عون أخيه المسلم
Artinya: “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Imam Muslim)
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa perintah kedua dalam ayat ini adalah beriman dengan cara melaksanakan perintah Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan perintah tersebut, Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu. Beliau menyebut dua penafsiran tentang “derajat” ini. Pertama, derajat tinggi di majelis Rasulullah SAW. Kedua, derajat tinggi dalam bentuk pahala.
Ia juga menguraikan mengapa mukmin berilmu memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan mukmin biasa. Ketaatan seorang alim memiliki nilai lebih karena mereka memahami cara menjaga diri dari perkara haram atau syubhat, bermuhasabah, beribadah dengan khusyuk, bertobat dengan benar, serta mengetahui hak-hak dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat. Inilah esensi mengapa ulama mendapatkan derajat lebih tinggi.
Untuk menjadi orang berilmu, menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Dalam Islam, menuntut ilmu wajib bagi setiap individu, dari buaian hingga liang lahad, kapan pun dan di mana pun.
Sekolah, kampus, pesantren, atau wadah belajar lainnya hanyalah sarana untuk mempermudah dan mengukur proses belajar. Namun, lulus dari lembaga pendidikan bukan berarti proses menuntut ilmu selesai. Batas menuntut ilmu adalah hingga akhir hayat. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengatakan:
وَلَقَدْ صَدَقَ فَإِنَّ غِذَاءَ الْقَلْبِ الْعِلْمُ وَالْحِكْمَةُ وَبِهِمَا حَيَاتُهُ كَمَا أَنَّ غِذَاءَ الْجَسَدِ الطَّعَامُ وَمَنْ فَقَدَ الْعِلْمَ فَقَلْبُهُ مَرِيضٌ وَمَوْتُهُ لَازِمٌ
Artinya: “Benar adanya, bahwa ilmu dan hikmah adalah makanan hati, yang membuatnya hidup, sebagaimana makanan bagi jasad. Orang yang kehilangan ilmu, hatinya sakit dan menuju kematian, namun ia tidak menyadarinya karena kecintaannya pada dunia, seperti orang yang tidak merasakan sakit luka karena ketakutan.” (Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma'rifah: t.t.], Juz I, hlm. 8).
Intinya, menuntut ilmu tidak boleh berhenti sepanjang hayat, seperti jasad yang terus membutuhkan makanan. Jika kita berhenti makan dua hari, jasad melemah. Begitu pula hati: tanpa ilmu, ia sakit dan mati.
Imam Nawawi Banten dalam Marah Labid mengutip perkataan Ibnu Mas’ud yang berkaitan dengan ayat ini, yaitu:
قال ابن مسعود: مدح الله العلماء في هذه الآية، والمعنى أن الله تعالى يرفع الذين أوتوا العلم على الذين آمنوا ولم يؤتوا العلم درجات في دينهم إذ فعلوا بما أمروا به. وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Ibnu Mas’ud berkata: ‘Allah memuji para ulama dalam ayat ini. Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu dalam agama mereka di atas mukmin yang tidak berilmu, jika mereka melaksanakan perintah-Nya. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan adalah ancaman bagi yang tidak mematuhinya.’” (Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid II, hlm. 503).
Dengan demikian, pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas di antaranya adalah:
- Kebaikan bersifat universal. Tindakan baik harus terus disuarakan dan diamalkan, karena benih kebaikan akan berbuah di dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.”
- Kebaikan berlandaskan ilmu.Niat baik harus didukung pengetahuan. Misalnya, mengobati orang sakit membutuhkan ilmu tentang obat dan cara yang tepat. Jika tidak tahu, lebih baik menyerahkan kepada ahli agar tidak membahayakan.
- Perpaduan niat baik dan ilmu yang kuat menghasilkan generasi berhati mulia dan berakal cerdas.
- Kecerdasan akal hanya diraih dengan kesungguhan menuntut ilmu.
- Belajar seumur hidup: Menuntut ilmu tidak berhenti hingga ajal menjemput, dan hati kita membutuhkan ilmu seperti halnya jasad membutuhkan makanan.
Semoga kita dianugerahi hati baik untuk menebar kebaikan yang bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakat. Wallahu a’lam.
Syifaul Qulub Amin, Peserta Kelas Menulis Keislaman NU Online Batch 2, Alumni PP Nurul Cholil, dan Editor Website PCNU Bangkalan.