Tasawuf/Akhlak

3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad

Senin, 30 Juni 2025 | 09:00 WIB

3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad

Ilustrasi membaca Ratib Al-Haddad. (Foto: NU Online/Canva)

Ratib al-Haddad merupakan wirid atau bacaan yang diamalkan secara rutin oleh Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad. Wirid ini sangat populer di sebagian masyarakat Indonesia hingga sekarang. Di antara mereka, ada yang mengamalkan secara mandiri dan ada pula yang mengamalkan secara berjamaah.

 

Ketika dilaksanakan secara berjamaah, sering kali ditemukan 'kampanye' para pemimpin jamaah ratib ini yang menjanjikan solusi atas masalah-masalah kehidupan. Baik masalah ekonomi, keselamatan, hingga kepangkatan. Pada akhirnya, tidak sedikit di antara mereka yang membuka rekening donasi untuk kepentingan majlis zikirnya.

 

Lalu pertanyaannya, benarkah Ratib Al-Haddad sengaja disusun dan diamalkan untuk tujuan menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas?

 

Habib Alwi bin Ahmad mengawali Syarah Ratib al-Haddad dengan menetapkan ratib sebagai salah satu bentuk zikir. Lantas ia mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa zikir memiliki empat level:

 

Pertama, zikir sebatas lisan. Kedua, zikir lisan dan hati namun masih merasakan beban dan cenderung memaksakan diri. Ketiga, zikir hati dan lisan secara bersamaan tanpa beban. Keempat, penguasaan zikir yang dibaca dan tenggelamnya hati ke dalam zikir tersebut. (Habib Alwi bin Ahmad Al-Haddad, Syarh Ratib Al-Haddad, [Hadramaut, Maqam Al-Imam Al-Haddad: 1993], hal. 18).

 

Dari penjelasan di atas, para pengamal Ratib Al-Haddad diajak untuk membiasakan diri berzikir untuk mengingat Allah SWT dalam berbagai kondisi. Dengan mengingat-Nya, ketenangan hati dan pikiran dapat diraih. Allah SWT berfirman:

 

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 

Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram". (QS. Ar-Ra'd: 28)

 

Zikir secara terus-menerus yang pada akhirnya membuahkan ketengan hati dan pikiran inilah sering kali disebut thariqah atau jalan menuju Allah SWT.

 

Jauh sebelum populer, sang penyusun ratib, Habib Abdullah Al-Haddad, telah menyusun risalah atau panduan penting bagi pengamal Ratib Al-Haddad yang dapat dijadikan pedoman. Di antara hal penting yang harus diperhatikan adalah:

 

1. Meluruskan Niat

Jika seorang ingin menjadikan ratib ini sebagai jalan menuju Allah SWT, maka ia harus memperbaiki dan meluruskan niatnya. Pasalnya, baik atau buruknya amal selalu merujuk pada niat yang dipanjatkan. Jangankan urusan zikir, sekedar makan dan minum, sang penyusun ratib telah menyarankan untuk berniat melaksanakan perintah Allah SWT, tepatnya mengumpulkan kekuatan untuk bekal taat kepada-Nya, menjadikannya sebab untuk bersyukur kepada-Nya atau niat-niat yang dibolehkan oleh agama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya". (QS. Al-Baqarah: 172)

 

Terlebih dalam urusan zikir, penyusun Ratib Al-Haddad telah memberikan anjuran, bahwa segala ucapan, amal, bahkan sekadar rencana, harus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ia tegaskan sebagai berikut:

 

فَعَلَيْكَ أَنْ لَا تَقُوْلَ قَوْلًا وَلَا تَعْمَلُ عَمَلًا وَلَا تَعْزِمُ عَلَى أَمْرٍ إِلَّا وَتَكُوْنَ نَاوِياً بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ وَابْتِغَاءَ الثَّوَابِ الَّذِيْ رَتَّبَهُ عَلَى الْأَمْرِ الْمُنَوَّى

Artinya: "Maka (wajib) atas kamu untuk tidak mengatakan (suatu) perkataan, tidak melakukan sebuah amal dan tidak berencana (melakukan) sesuatu, kecuali engkau adalah orang yang berniat mendekatkan diri kepada Allah serta mencari pahala yang telah Dia atur sesuai perkara yang diniatkan,". (Al-Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, Risalatul Mu'awanah, [Bairut, Darul Hawi: 1994], hal. 25).

 

2. Menyucikan Diri

Menurut Habib Abdullah Al-Haddad, bagi seseorang yang menjadikan Ratib Al-Haddad sebagai thariqah menuju Allah SWT, maka langkah yang tepat setelah niat adalah menyucikan diri. Ini dapat ditempuh dengan tobat nasuha atau tobat yang sebenarnya. Salah satu ciri tobat nasuha adalah penyesalan atas dosa yang telah diperbuat serta tekad kuat untuk tidak mengulanginya sepanjang hayat.

 

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa dosa akibat maksiat yang dilakukan oleh manusia ibarat racun yang mematikan tubuh manusia dan dosa tersebut dapat mematikan hati. Jika seseorang mati akibat racun dalam tubuhnya, dia hanya kehilangan nyawa. Sedangkan orang yang hatinya mati akibat melalukan dosa, maka dia akan kehilangan akhirat. Padahal Allah SWT berfirman dalam Surat As-Syu’ara ayat 88-89:

 

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ. إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

 

Artinya: "(Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Al-Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, Risalah Adab Sulukil Murid, [Bairut, Darul Hawi: 1994], hal. 10-11).

 

Dalam rangka menjaga kesucian diri, Habib Abdullah Al-Haddad menekankan penjagaan hati dari sifat-sifat tercela, seperti waswas, dengki, dendam, menipu, takabur, su’uzan, dan riya. Bagi para pengamal Ratib Al-Haddad secara berjamaah, riya sering kali menghinggapi hati mereka.

 

Menanggapi hal ini, ia menegaskan, bahwa riya dalam majlis zikir adalah kebodohan dan cinta popularitas duniawi. Maka untuk menanggulanginya, mereka diharapkan menerapkan sikap zuhud atau berpaling dari hal-hal duniawi. Tujuannya jelas, Ratib Al-Haddad tidak menjadi media mencari dunia dengan amal akhirat.

 

Sebagai manusia pada umumnya, pengamal Ratib Al-Haddad juga harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika kebutuhan tersebut sangat mendesak, maka sarannya adalah meminta kepada Allah SWT sebagai pemilik dunia dan isinya. Karena Dia-lah yang mengendalikan hati manusia untuk manusia lainnya. (Risalah Adab Sulukil Murid, hal. 12-13).

 

Dalam melaksanakan Ratib Al-Haddad secara berjamaah, kenyamanan orang-orang di sekitar majlis juga harus diperhatikan. Boleh jadi ada orang yang sedang sakit atau shalat. Maka sebaiknya ratib ini dilaksanakan dengan suara lirih agar tidak mengganggu mereka. (Syarh Ratib Al-Haddad, hal. 76).

 

3. Menghiasi Diri dengan Amal Saleh

Pada kesempatan lain, para pengamal Ratib Al-Haddad harus tetap menjaga amal saleh. Terutama shalat lima waktu secara berjamaah dengan segala kesempurnaan syarat, rukun dan adabnya. Penekanan adab dalam shalat, menurut habib Abdullah Al-Haddad adalah khusyu.  Karena inti ibadah adalah hadirnya hati bersama Allah SWT. Hal ini ia tegaskan:

 

وَاعْلَمْ أَنَّ رُوْحَ جَمَيْعِ العِبَادَاتِ وَمَعْنَاهَا إِنَّمَا هُوَ الحُضُورُ مَعَ اللهِ فِيهَا فَمَنْ خَلَتْ عِبَادَتُهُ عَنِ الْحُضُوْرِ فَعِبَادَتُهُ هَبَاءٌ مَنتُورٌ

 

Artinya: "Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya ruh semua ibadah adalah kehadiran (hati) bersama Allah di dalamnya. Maka barang siapa ibadahnya tidak ada kehadiran (hati bersamaNya), maka ibadahnya (ibarat) debu yang ditebarkan". (Risalah Adab Sulukil Murid, hal. 26).

 

Intinya, Ratib Al-Haddad adalah wirid rutin yang dapat diamalkan oleh setiap muslim dengan tujuan utama mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika seorang muslim sudah dekat, maka bukan hal mustahil jika Allah-lah yang 'membereskan' segala apa yang dia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menjadikan majlis ratib sebagai ladang mengais rezeki. Wallahu a'lam.

 

Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.