Tasawuf/Akhlak

Akhlak Rasulullah Membuat Yahudi Masuk Islam

Sel, 2 November 2021 | 00:00 WIB

Akhlak Rasulullah Membuat Yahudi Masuk Islam

Akhlak Rasulullah saw membuat Yahudi masuk Islam.

Islam yang di bangun atas dasar rahmat, memperlakukan semua makhluk dengan baik dan terhormat, sesuai dengan posisi masing-masing. Misalnya, Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk memberikan ruang mulia dan luhur dalam bersosialisasi dan membangun hubungan baik dengan sesama manusia. Orang yang berbeda agama juga memiliki posisi khusus, agar diperlakukan dengan baik pula. Demikianlah Islam yang semestinya dipraktikkan oleh para pemeluknya, sebagaimana akhlak yang diteladankan Rasulullah saw. Bahkan akhlak Rasulullah saw tidak jarang membuat orang lain tertarik dengan Islam, sebagaimana keindahan akhlak Rasulullah saw membuat seorang Yahudi masuk Islam.

 


Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, tidak menutup mata dari keberadaan tetangga. Anjuran berbuat baik kepada mereka berlaku secara umum, baik kepada orang Islam maupun pemeluk agama lain. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:

 

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ 

 

Artinya, “Malaikat Jibril senantiasa menasihatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapatkan bagian harta warits.” (Muttafaqun ‘alaih).

 


Syekh Badruddin al-‘Aini (wafat 855 H), dalam kitabnya ‘Umdatul Qari memaknai kata “al-jar atau tetangga” menggunakan makna secara umum. Artinya, semua tetangga yang berdekatan memiliki hak-hak yang harus diberlakukan dengan baik, sopan, bijak dan kebajikan lainnya, mulai dari yang beragama Islam, non muslim, ahli ibadah, orang fasiq, teman, musuh, pendatang, pribumi, hingga yang memberi menfaat dan tidak yang memberi menfaat sekali pun. (Abu Muhammad bin Ahmad bin Musa Badruddin al-‘Aini, Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Bairut, Darul Ihya, cetakan ketiga: 2006], juz XX, h. 197).


Selain itu, ada banyak hadits yang menunjukkan Rasulullah saw juga menghargai dan memberlakukan tetangga meski berbeda agama. Baginya, perbedaan tidak lantas merusak hubungan tetangga dan menghilangkan hak-hak mereka. 

 


Rasulullah saw Menerima Undangan Seorang Yahudi

Kisah ini disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, tepatnya dalam Musnad-nya. Demikan pula disebutkan oleh Syekh Badruddin al-‘Aini dalam Umdatul Qari, dan Syekh Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadi. Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra, beliau menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah diundang oleh orang Yahudi untuk makan, dan beliau memenuhi undangan tersebut:


عَنْ أَنَسٍ أَنَّ يَهُودِيًّا دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ فَأَجَابَهُ

 

Artinya, “Diriwayatakan dari Anas bin Malik قش, sungguh seorang Yahudi telah mengundang Nabi Muhammad saw untuk menyantap roti gandum dengan acar hangat, dan beliau pun memenuhi undangan tersebut. (HR Ahmad).

 


Hadits di atas menjadi salah satu bukti bahwa Rasulullah saw merupakan potret tetangga yang baik bagi tetangga lainnya. Bahkan, pemeluk agama lain dengan keyakinan yang berbeda dan tidak sepaham dengannya saja berkenan mengundang makan bersama di rumahnya. Semua ini tidak mungkin terjadi jika Rasulullah saw memperlakukan tetangganya dengan buruk, kurang bergaul, enggan untuk menyapa.


Keindahan Akhlak Rasulullah saw Membuat Yahudi Masuk Islam

Sebagaimana penjelasan di atas, Rasulullah saw merupakan teladan keabadian, perlakuannya yang baik menjadi contoh bagi umat Islam setelahnya. Misalnya, perhatian Rasulullah saw dan kasih sayangnya kepada para pelayannya yang beragama Yahudi. Sikap mulia ini justru menjadi penyebab pelayan tersebut masuk Islam. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra:


كَانَ غُلامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرَضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ، فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ


Artinya, “Ada seorang anak kecil Yahudi yang membantu melayani Nabi Muhammad menderita sakit. Lalu beliau menjenguknya dan duduk di samping kepalanya, kemudian bersabda: ‘Masuklah Islam’. Anak kecil itu memandang kepada bapaknya yang sedang berada di sampingnya, lalu bapaknya berkata, ‘Taatilah Abul Qasim (Rasulullah).’ Lalu anak kecil itu masuk Islam. Kemudian Rasulullah keluar dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.’” (HR al-Bukhari).

 

 

Ada poin penting menurut penulis yang patut dipahami dari hadits di atas, bahwa agama merupakan identitas setiap diri manusia, siapapun dia pasti akan membela agamanya jika dihina, dan siapapun dia pasti akan marah jika disuruh untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Akan tetapi, jika dilihat bagaimana relanya seorang ayah yang beragama Yahudi membiarkan anaknya melepaskan agama dan kepercayaan nenek moyangnya hanya karena seorang Nabi Muhammad, tentu hal itu terjadi di antaranya karena kesan baik atas keindahan akhlak Rasulullah saw, sehingga membuat seorang Yahudi masuk Islam.


Urgensi Menjaga Akhlak

Andaikan Rasulullah saw bersikap keras, bengis, asal hantam, menghina, menghujat, menganggap hina dan lainnya, tentu dalam kisah di atas Sang Ayah tidak akan membiarkan anaknya mengikuti ajaran yang dibawanya. Karenanya, dalam salah satu haditsnya, pesan beliau kepada umat Islam adalah perihal bagaimana caranya bergaul dengan manusia, yaitu dengan akhlak yang baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:

 

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

 

Artinya, “Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kalian berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR at-Tirmidzi).


Pesan Rasulullah saw kepada umat Islam untuk berbudi pekerti yang baik tidak disampaikan secara terbatas, semuanya umum menggunakan kata “nas-manusia”. Hal ini tentunya untuk memberikan pengertian, bahwa yang patut untuk diberlakukan dengan baik tidak hanya umat Islam saja, non muslim pun demikian. Sebab, Islam tidak melarang umat Islam untuk bergaul dan berbuat baik kepada pemeluk agama lain. Wall’ahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.