Bahtsul Masail

Benarkah Puasa Syawal Penanda Maqbulnya Puasa Ramadhan?

Sel, 27 Juni 2017 | 03:03 WIB

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Dalam kesempatan yang baik ini kami ingin menanyakan yang terkait dengan faidah atau manfaat puasa enam hari di bulan Syawal. Konon katanya puasa enam hari tersebut sering dikaitkan dengan pertanda diterimanya ibadah puasa Ramadhan kita. Apakah memang demikian dan bagaimana penjelasannya? Mohon jawabannya dan disertai rujukan yang jelas. Demikian pertanyaan kami. Atas jawaban yang diberikan kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nama dirahasiakan/Jakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa puasa enam hari di bulan Syawal yang dilakukan setelah setelah Idul Fitri hukumnya adalah sunah.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang tahun.”

ذَهَبَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ سُنَّةٌ لِحَدِيثِ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya, “Sebagian pakar hukum Islam (fuqaha`) berpendapat bahwa hukum puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah karena didasarkan pada hadits, ‘Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang tahun,’” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Mesir, Darus Shafwah, cetakan pertama, juz XXVI, halaman 287).

Sedang pertanyaan mengenai puasa enam hari di bulan Syawal dan keterkaitannya dengan penanda diterimanya puasa Ramdhan kita, maka dalam hal ini ada baiknya kami akan menyuguhkan pandangan Ibnu Rajab Al-Hanbali.

Menurutnya, setidaknya ada beberapa faedah dari menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal, yang salah satunya adalah sebagai salah satu indikasi diterimanya puasa Ramadhan kita.

Logika sederhana yang digunakan untuk meneguhkan pandangan ini adalah bahwa apabila Allah SWT menerima amal kebajikan yang dilakukan hamba-Nya, maka Allah SWT akan memberikan taufik kepadanya untuk berbuat kebajikan yang lain. Menjalankan ibadah puasa Ramadhan sudah barang tentu merupakan kebajikan.

وَ مِنْهَا : أَنَّ مُعَاوَدَةَ الصِّيَامِ بَعْدَ صِيَامِ رَمَضَانَ عَلَامَةٌ عَلَى قَبُولِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَإِنَّ اللهَ إِذَا تَقَبَّلَ عَمَلَ عَبْدٍ وَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ بَعْدَهُ

Artinya, “Salah satu faidah puasa enam hari di bulan Syawal adalah bahwa kembali menjalankan puasa (puasa enam hari di bulan Syawaal, pent) setelah puasa Ramadhan adalah menjadi salah satu penanda diterimanya ibadah puasa Ramadhan karena sesungguhnya apabila Allah menerima amal kebajikan seorang hamba, maka ia akan memberikan taufik kepadanya untuk menjalankan amal kebajikan setelahnya,” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, Lathaiful Ma’arif fi Ma li Mawasimil ‘Am wal Wazha`if, Kairo, Darul Hadits, 1426 H/2005 M, halaman 301).

Karena itu, ketika kita kembali melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, yaitu berpuasa selama enam hari di bulan Syawal yang notabenenya adalah suatu kebajikan lain juga, maka bisa jadi hal tersebut menjadi penanda bahwa puasa Ramadhan kita diterima di sisi Allah SWT.

Pandangan ini selaras dengan pernyataan sebagian ulama yang menyatakan, “Ganjaran kebaikan adalah kebaikan (lain) yang dilakukan setelahnya.” Barangsiapa yang melakukan amal kebajikan kemudian mengiringinya dengan kebajikan yang lain, maka hal ini bisa jadi menjadi salah satu indikasi bahwa amal kebajikan sebelumnya diterima di sisi Allah.

Begitu sebaliknya, apabila kita melakukan suatu amal kebajikan kemudian kita setelahnya melakukan amal kejelekan, maka hal ini bisa menjadi indikasi bahwa amal kebajikan yang kita lakukan tersebut tidak diterima di sisi Allah SWT.

كَمَا قَالَ بَعْضُهمْ : ثَوَابُ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اَتْبَعَهَا بَعْدَهَا بِحَسَنَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُولِ الْحَسَنَةِ الأُولَى كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اَتْبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الْحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُولِهَا

Artinya, “Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama, ‘Ganjaran kebajikan adalah kebajikan setelahnya’ sehingga barangsiapa yang menjalankan kebajikan kemudian mengiringinya dengan kebajikan yang lain, maka hal itu menjadi salah satu penanda penerimaan kebajikan sebelumnya. Demikian pula orang yang melakukan kebajikan kemudian mengiringinya dengan kejelekan, maka hal itu menjadi salah satu penanda penolakan kebajikan yang ia lakukan dan tidak diterimnya (di sisi Allah, pent),” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, Lathaiful Ma’arif fi Ma li Mawasimil ‘Am wal Wazha`if, halaman 301).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thrariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.



(Mahbub Maafi Ramdlan)