Bunuh Diri karena Tak Ingin Berbuat Dosa, Bolehkah?
NU Online · Kamis, 24 Juli 2025 | 07:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb. Halo admin NU Online, saya ingin bertanya, apa sebenarnya makna hidup sebagai manusia? Saya merasa hidup manusia hanya soal makan, berkembang biak, dan memenuhi kebutuhan. Tidak jauh berbeda dengan hewan. Agama pun seolah mengajarkan hidup hanya untuk mengumpulkan "skor pahala" agar selamat setelah mati. Kalau begitu, bukankah mati lebih bermakna? Lalu, mengapa bunuh diri justru dilarang? (Hamba Allah)
Jawaban:
Waalaikumsalam Wr. Wb. Penanya yang budiman, terima kasih atas pertanyaannya. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan kelancaran rezeki. Pertanyaan yang diajukan sangat bagus sekali. Barangkali ada banyak orang ingin menanyakan hal serupa, namun belum sempat tersampaikan.
Pertama, penting untuk dipahami, pada dasarnya manusia dan hewan memang memiliki banyak kesamaan. Sama-sama makan, berkembang biak, bahkan memiliki daya ingat dan kemampuan berpikir. Namun, manusia diberi keistimewaan berupa akal yang mampu berpikir secara sempurna dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Inilah potensi utama yang menjadikan manusia lebih mulia dari hewan, selama akal tersebut digunakan untuk mengenali kebenaran dan mengamalkan kebaikan. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Mafatihul Ghaib menjelaskan:
أنَّ الإنْسانَ وسائِرَ الحَيَواناتِ مُتَشارِكَةٌ في قُوى الطَّبِيعَةِ الغاذِيَةِ والنّامِيَةِ والمُوَلِّدَةِ، ومُتَشارِكَةٌ أيْضًا في مَنافِعِ الحَواسِّ الخَمْسِ الباطِنَةِ والظّاهِرَةِ وفي أحْوالِ التَّخَيُّلِ والتَّفَكُّرِ والتَّذَكُّرِ، وإنَّما حَصَلَ الِامْتِيازُ بَيْنَ الإنْسانِ وبَيْنَ سائِرِ الحَيَواناتِ في القُوَّةِ العَقْلِيَّةِ والفِكْرِيَّةِ الَّتِي تَهْدِيهِ إلى مَعْرِفَةِ الحَقِّ لِذاتِهِ، والخَيْرِ لِأجْلِ العَمَلِ بِهِ
Artinya, "Manusia dan seluruh hewan memiliki kesamaan dalam kekuatan alami seperti kekuatan makan, tumbuh, dan berkembang biak. Mereka juga sama-sama menikmati manfaat dari pancaindra, baik yang lahiriah maupun batiniah, serta memiliki kemampuan membayangkan, berpikir, dan mengingat. Namun, yang membedakan manusia dari hewan lainnya adalah kekuatan akal dan nalar yang mampu menuntunnya untuk mengenal kebenaran karena kebenaran itu sendiri, dan mengenali kebaikan agar dapat diamalkan." (Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Fikr, 1981], juz XV, hlm. 68)
Karena keistimewaan tersebut, manusia kemudian mendapatkan tanggung jawab di dunia untuk beribadah dan berbuat baik. Jika ia taat pada aturan yang sudah diajarkan oleh Islam, maka ia akan mendapat pahala. Sebaliknya, jika ia melanggar perintah Allah SWT, ia akan memperoleh dosa dan siksa-Nya di akhirat kelak. Jika muncul pertanyaan, misalkan manusia memilih bunuh diri agar tidak melakukan dosa yang akan dilakukannya selama hidup, apakah boleh? Bukankah itu membuat dirinya terminimalisir dari segala bentuk dosa?
Logika pertanyaan demikian agaknya keliru. Seolah memandang di dunia ini hanya berisi potensi dosa dan konsekuensi siksa pedih di akhirat kelak. Dalam Islam, adanya konsep dosa bagi orang yang berbuat keburukan bukan untuk menjebak manusia dalam perilaku maksiat yang tidak berkesudahan. Oleh karena itu, Islam juga memberikan konsep tobat. Dosa-dosa yang telah kita perbuat sangat bisa diampuni asalkan kita bertobat dengan sungguh-sungguh. Pendek kata, jika dosa adalah penyakit, maka tobat adalah obatnya. Jadi, Islam sudah memberikan solusi jika manusia melakukan perbuatan dosa, yaitu dengan bertobat.
Bahkan, dalam sejumlah ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi sudah ditegaskan bahwa tobat merupakan perbuatan yang sangat disukai dan diridhai oleh Allah SWT. Dalam sebuah analogi, Nabi Muhammad menjelaskan betapa tobat merupakan perbuatan yang sangat dicintai-Nya. Beliau bersabda:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ، وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، وَقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ هِيَ بِهِ، قَائِمَةٌ عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Artinya, "Sungguh Allah lebih bergembira atas tobat hamba-Nya saat ia bertobat kepada-Nya, dibanding kegembiraan salah seorang dari kalian yang kehilangan untanya di padang tandus, sementara di atasnya ada makanan dan minumannya. Lalu ia putus asa mencarinya, hingga ia bersandar di bawah pohon, pasrah karena kehilangan. Tiba-tiba, unta itu muncul kembali di hadapannya. Ia pun langsung memegang talinya, dan karena terlalu gembira, ia berkata: 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu'—ia keliru ucap karena sangat gembira." (HR Bukhari dan Muslim)
Melalui hadits ini, Nabi menggambarkan betapa besar kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang bertobat, melebihi kegembiraan manusia yang menemukan kembali unta dan bekalnya di tengah padang tandus setelah putus asa. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa Allah menyambut tobat hamba-Nya dengan penuh kasih, ampunan, dan kegembiraan, bahkan ketika manusia sendiri telah putus harapan atas keselamatannya di dunia maupun akhirat.
Manusia Terbaik
Sekali lagi, logika bahwa lebih baik meninggal lebih cepat -apalagi dengan bunuh diri- daripada usia panjang tapi punya banyak potensi dosa adalah keliru. Ungkapan ini justru merupakan bentuk keputusasaan atas kasih sayang (rahmat) Allah. Dalam Islam, justru ditegaskan bahwa manusia terbaik adalah mereka yang memiliki usia panjang dan ia gunakan usia tersebut untuk terus berusaha memperbanyak ibadah dan perbuatan baik. Nabi bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
Artinya, "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya." (HR Tirmidzi)
Berkaitan dengan hadits ini, Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir menyampaikan:
أَنَّ مَنْ كَثُرَ خَيْرُهُ، كُلَّمَا ٱمْتَدَّ عُمُرُهُ كَثُرَ أَجْرُهُ، وَضُوعِفَتْ دَرَجَاتُهُ، فَفِي ٱلْحَيَاةِ زِيَادَةُ ٱلْأُجُورِ بِزِيَادَةِ ٱلْأَعْمَالِ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا ٱلِٱسْتِمْرَارُ عَلَى ٱلْإِيمَانِ، فَأَيُّ شَيْءٍ أَعْظَمُ مِنْهُ؟! وَلَيْسَ لَكَ أَنْ تَقُولَ: قَدْ يُسْلَبُ ٱلْإِيمَانُ، لِأَنَّا نَقُولُ: إِنْ سَبَقَ لَهُ فِي عِلْمِ اللهِ خَاتِمَةُ ٱلسُّوءِ، فَلَا بُدَّ مِنْ وُقُوعِ ذٰلِكَ طَالَ عُمُرُهُ أَمْ قَصُرَ، فَزِيَادَةُ عُمُرِهِ زِيَادَةٌ فِي حَسَنَاتِهِ، وَرَفْعٌ فِي دَرَجَاتِهِ، كَثُرَتْ أَوْ قَلَّتْ، كَمَا حَرَّرَهُ ٱلْمُحَقِّقُ أَبُو وَزْعَةَ
Artinya, "Sebab, orang yang banyak kebaikannya akan makin besar pahalanya dan makin tinggi derajatnya setiap kali umurnya bertambah. Dalam hidup ini, pahala terus bertambah seiring bertambahnya amal. Bahkan andai hanya terus berada dalam keimanan, itu saja sudah merupakan nikmat yang luar biasa. Jangan katakan, "Tapi bisa saja imannya tercabut," karena jika dalam ilmu Allah orang itu ditakdirkan su'ul khatimah, maka hal itu pasti terjadi, entah umurnya panjang atau pendek. Jadi, umur yang bertambah tetap berarti tambahan pahala dan peningkatan derajat, sedikit atau banyak, sebagaimana dijelaskan oleh al-Muhaqqiq Abu Waz'ah." (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Kairo: Maktabah Tijariyah, 1939], juz III, hlm. 480).
Dari penjelasan Al-Munawi ini dapat dipahami bahwa panjang umur bukanlah musibah, melainkan peluang berharga untuk menumpuk kebaikan dan meraih derajat tinggi di sisi Allah. Selama seseorang terus berada dalam keimanan, maka setiap hari yang dilalui menjadi ladang pahala, meski hanya dengan mempertahankan iman itu sendiri. Kekhawatiran akan su'ul khatimah tidaklah relevan jika seseorang tetap istiqamah, karena takdir buruk pun tak terhindarkan meski umur pendek.
Selain itu, nyawa atau kehidupan semua makhluk yang ada di muka ini pada hakikatnya adalah milik Allah. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak menghilangkan nyawa orang lain, termasuk dirinya sendiri, kecuali atas kehendak Allah.
Sebagai penutup, penting dipahami bahwa hidup adalah anugerah, bukan sekadar beban. Potensi dosa bukan alasan untuk menghindari hidup, melainkan ajakan untuk memperbaiki diri dan bertumbuh dalam kebaikan. Islam tidak menuntut kesempurnaan, tapi mengajarkan harapan dan perjuangan. Maka, selama nyawa masih dikandung badan, setiap detik adalah kesempatan untuk kembali, bertobat, dan mendekat kepada-Nya. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
3
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
6
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
Terkini
Lihat Semua