Bahtsul Masail

Hukum Bagikan Daging Kurban kepada Non-Muslim

Ahad, 11 September 2016 | 23:02 WIB

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Tetangga kami ada yang non-Muslim, tetapi kami hidup berdampingan dengan rukun. Bahkan kami selalu saling mengunjungi satu sama lainnya, saling membantu, dan sering berbagi makanan.

Alhamdulillah bulan ini kami berniat untuk kurban. Yang ingin kami tanyakan, bagaimana hukumnya membagikan daging kurban kepada orang non-Muslim? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Nama dirahasiakan/Ciledug)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Idul Adha memang selalu identik dengan hari raya kurban. Kaum muslimin yang mampu biasanya menyisihkan sebagain rezekinya untuk membeli hewan kurban sebagai pengamalan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang berkurban itu sendiri sangat dianjurkan.

Jika seorang Muslim berkurban dan membagikan dagingnya kepada orang miskin dan para tetangga yang sama-sama Muslim, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tidak menjadi persoalan.

Yang menjadi “gegeran” para ulama adalah ketika daging kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim. Pendapat pertama “ngotot” untuk tidak memperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim secara mutlak.

Sedang pendapat kedua menyatakan boleh, bahkan menurut keterangan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, dan pendapat ini dianggap selaras dengan ketentuan dalam Madzhab Syafi’i itu sendiri. Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ

Artinya, “Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141).

Logika yang dibangun untuk mendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka.

Sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim.

Adapun argumentasi yang dibangun untuk meneguhkan pandangan yang memperbolehkan untuk memberikan daging kurban kepada orang non-Muslim adalah bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim.

Namun kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Tetapi harus dibaca dalam konteks non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak memusuhi orang Islam). Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunah.

Dengan kata lain, diperbolehkan memberikan sedekah—termasuk di dalamnya memberikan daging kurban—selain kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi atau memusuhi umat Islam).

فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ

Artinya, “Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).

Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Perbanyak sedekah karena sedekah dapat menghindari bala.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Mahbub Ma’afi Ramdlan)