Bahtsul Masail

Hukum Istri Menikah Lagi sebelum Cerai

Sab, 11 November 2023 | 20:00 WIB

Hukum Istri Menikah Lagi sebelum Cerai

Ilustrasi. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu’alaikum Wr Wb

Salam sejahtera Tuan/Puan,

Saya warganegara Singapura. Saya ada soalan dan menharap jasa baik Tuan Puan untuk menjawab soalan saya. Terlebih dahulu saya memohon maaf atas kekurang saya dalam bahasa Melayu disebabkan saya berasal orang Cina terlah memeluk agama Islam. Jadi tak berapa fasih dalam bahasa.

 

Begini soalan saya:

 

Apakah hukumnya bagi sorang wanita Islam berasal Indonesia-dia sudah berkahwin dengan sorang jejaka wargenagara Singapura berbangsa Cina selama 10 tahun namun kembali balik ke Indonesia dan berkahwin lagi dengan kekasih baru nya di Indonesia, tanpa bercerai dengan suami asal di Singapura?

 

Saya ada jugak email dan tanya pada berapa agensi kerajaan Indonesia tetapi semua tak menjawab soalan saya.

 

Memohon agar Tuan / Puan bole bantu saya dalam perkara ini.
Sekian Terima kasih.

 

Wa’alaikumussalam Wr Wb
Yg Ihklas,

 

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wr Wb, penanya yang semoga selalu dalam lindungan Allah ta’ala. Terimakasih atas pertanyaanya dan mohon maaf kami belum bisa menjawab dengan bahasa Melayu.

 

Dalam Islam, seorang istri dilarang untuk menikah lagi kecuali sudah melalui perceraian dengan suami sebelumnya. Jika istri menikah sebelum bercerai, maka pernikahan kedua dianggap batal, sebagaimana Syekh Wahbah menjelaskan:

 

ومن الأنكحة الباطلة: نكاح المرأة المتزوجة أو المعتدة، أو شبهه، فإذا علم الزوجان التحريم، فهما زانيان، وعليهما الحد، ولا يلحق النسب به.

 

Artinya: “Di antara nikah yang batil adalah nikahnya perempuan yang sudah bersuami, atau perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah, atau sejenisnya, apabila keduanya sama-sama mengetahui bahwa pernikahan tersebut haram, maka keduanya telah melakukan zina dan dikenakan had, serta anak hasil keduanya tidak dinasabkan pada suaminya.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX, hal. 111).

 

Di Indonesia sendiri sebelum melaksanakan pernikahan biasa dilakukan verifikasi mengenai status calon suami dan calon istri. Otomatis apabila statusnya janda, jika ingin menikah lagi harus ada akta cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Agama.

 

Jikalau suami dari istri tersebut adalah non-muslim, maka sebenarnya nikah yang dahulu pernah dilakukan tidak sah dalam Mazhab Syafi’i. Hal ini didukung oleh penjelasan Syekh Wahbah az-Zuhaili ketika menjelaskan macam-macam nikah yang batil, di antaranya adalah nikahnya seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Beliau berkata:

 

زواج المسلمة بكافر وزواج المرتدة: فلا تحل مسلمة لكافر بالإجماع، لقوله تعالى: {ولا تُنكحوا المشركين} [البقرة:221/2] ولا تحل مرتدة لأحد، لا لمسلم؛ لأنها كافرة لا تقر على ردتها، ولا لكافر لبقاء تعلق الإسلام بها.

 

Artinya, “[di antara nikah yang batil, yaitu] Pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim dan pernikahan perempuan yang murtad: maka tidak boleh seorang muslimah nikah dengan non-muslim sesuai ijma’, sebab adanya firman Allah, {Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman)}, dan perempuan murtad tidak bisa menikah dengan siapa pun, tidak dengan laki-laki muslim sebab dia kafir dan tidak mengikrarkan kekafirannya, juga tidak dengan laki-laki non-muslim karena ada sisa keterkaitannya dengan Islam.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 100).

 

Dengan kondisi suami yang non-muslim, maka pernikahan dahulu adalah tidak sah dan menyebabkan pernikahan sekarang dengan seorang muslim menjadi sah.

 

Namun apabila suami dari istri tersebut adalah seorang muslim, maka pernikahan yang kedua otomatis rusak (fasakh nikah).

 

Adapun apabila si istri sudah bercerai, maka ia harus melaksanakan masa ‘iddah, dan melakukan akad baru dengan suami yang baru.

 

Ketika masa ‘iddah pun, tidak boleh seorang istri melakukan akad. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

 

لا يجوز للأجنبي إجماعاً نكاح المعتدة ، لقوله تعالى : {ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله}

 

Artinya, “Tidak boleh orang asing menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah secara ijma’, sebab adanya firman Allah ta’ala: {Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa idah}.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX, hal. 618).

 

Dalam kitab Ahkamul Fuqaha, halaman 657 disebutkan, apabila fakta yang terjadi adalah suami pertama menghilang, masa tangguh atas suaminya untuk boleh menikah dengan laki-laki lain adalah:

 
  1. Sampai mendapat kepastian si suami yang hilang telah meninggal dunia
  2. Melewati masa 4 tahun ditambah 4 bulan 10 hari
  3. Sesuai keputusan hakim, baik karena faskh maupun pelanggaran ta'liq thalaq.
 

Menurut Mazhab Syafi’i, jika si suami dapat diketahui keberadaannya, maka seorang hakim atau pemerintah yang bersangkutan harus menyampaikan kepada suaminya bahwa ia wajib memberikan nafkah.

 

Namun dalam Mazhab Maliki dan Hanbali boleh pemisahan nikah (fasakh nikah) antara keduanya jika suami tidak kunjung datang dalam jangka waktu yang lama, serta si istri mendapatkan kemudaratan akibat kepergian suami. (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX, hal. 500).

 

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah jika pernikahan dengan suami pertama sah, maka hukum istri menikah lagi sebelum bercerai adalah haram. Jika ingin menikah dengan orang lain, si istri harus ditalak suaminya, kemudian melewati masa ‘iddah dan melakukan akad baru.

 

Jika si istri memaksa melakukan pernikahan lagi sebelum bercerai, maka pernikahannya otomatis tidak sah dan batal, sebagaimana Syekh Wahbah az-Zuhaili menyebut:

 

ومن الأنكحة الباطلة: نكاح المرأة المتزوجة أو المعتدة أو شبهه

 

Artinya, “Di antara nikah yang batil adalah nikahnya perempuan yang sudah bersuami, atau perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah, atau sejenisnya." (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX, hal. 111).

 

Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.