Bahtsul Masail

Hukum Penolakan Sembahyang Jenazah Muslim Tanpa Uzur

Sel, 14 Maret 2017 | 23:01 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Belakangan ini banyak spanduk-spanduk berisi penolakan masyarakat untuk menshalatkan jenazah Muslim atau Muslimah yang mendukung orang yang dianggap sebagai penista agama.

Bahkan selain spanduk, penolakan seperti ini juga pernah kejadian di beberapa tempat di Jakarta. Padahal hukum shalat jenazah itu fardhu kifayah. Pertanyaan saya, apa hukumnya umat Islam yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa uzur? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ali/Jakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Kita memaklumi bahwa pilkada Jakarta ini membawa rahmat bagi sebagian orang. Tetapi kita juga turut prihatin karena pilkada ini pula menyita banyak energi sehingga banyak perintah agama terabaikan seperti menyambung silaturahmi, menjaga akhlak dalam bicara, dan menuntut ilmu agama lebih dalam.

Menurut bacaan kami, pernyataan saudara Ali di atas sudah benar, bahwa hukum shalat atas jenazah Muslim atau Muslimah adalah fardhu kifayah. Selain shalat, memandikan, mengafankan, dan memakamkan jenazah Muslim atau Muslimah juga fardhu kifayah.

Sebagaimana kita maklum bahwa fardhu kifayah adalah kewajiban yang ditujukan bagi semua orang. Namun kewajiban itu gugur sebab dikerjakan oleh sejumlah orang. Tetapi kalau semua orang juga tidak melakukannya, tentu mereka berdosa karena mengabaikan kewajiban itu.

Lalu bagaimana kalau ada umat Islam yang dengan nyata dan sengaja menolak kewajibannya itu tanpa uzur? Ada baiknya kita melihat kembali pandangan para ulama yang kami himpun berikut ini terutama perihal penolakan masyarakat untuk menshalatkan jenazah saudaranya yang Muslim atau Muslimah.

 

 

ثم ذكر القسم الثاني وهو فرض الكفاية وبه شرع في أصول الفقه فقال ( وما سوى هذا من الأحكام فرض كفاية على الأنام ) أى ما سوى فرض العين من علو أحكام الله كالتوغل في علم الكلام بحيث يتمكن من إقامة الأدلة وإزالة الشبه فرض كفاية على جميع المكلفين الذين يمكن كلا منهما فعله فكل منهم مخاطب بفعله لكن إذا فعله البعض سقط الحرج عن الباقين فإن امتنع جميعهم من فعله أثم كل من لا عذر له ممن علم ذلك وأمكنه القيام به أو لم يعلم وهو قريب يمكنه العلم به بحيث ينسب إلى التقصير ولا إثم على من لم يتمكن لعدم وجوبه عليه


Artinya, “Kemudian penulis menyebut kewajiban jenis kedua, yaitu fardhu kifayah. Fardhu kifayah ini termasuk hukum syariat seperti pada kajian ushul fiqih. Penulis mengatakan, (Selain hukum yang disebut itu ada juga hukum fardhu kifayah bagi segenap manusia), maksudnya, selain fardhu ain itu sebagai hukum-hukum Allah yang luhur ada juga fardhu kifayah seperti penguasaan mendalam kajian ilmu kalam yang sekiranya dapat membangun argumentasi dan menghilangkan keraguan dalam soal ketuhanan. Penguasaan mendalam ilmu kalam dengan dua kemampuan itu menjadi fardhu kifayah bagi semua orang yang dapat melakukannya. Artinya setiap mukallaf harus membangun argumentasi dan menghilangkan keraguan dalam soal ketuhanan. Tetapi ketika kewajiban ini sudah dilakukan oleh sejumlah orang, maka gugurlah dosa orang di luar mereka yang melakukannya. Namun, ketika semuanya tidak melakukan itu, maka orang-orang yang tanpa uzur, mengetahui hal itu, dan mampu melakukannya berdosa. Kalaupun orang-orang yang tanpa uzur ini tidak mengetahui, tetapi seharusnya mereka mengetahui (karena pesatnya informasi misalnya), maka mereka dinilai telah lalai. Sedangkan orang yang tidak mungkin (mengetahui) tidak berdosa karena tidak ada kewajiban padanya,” (Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli Al-Anshari, Ghayatul Bayan Syarah Zubad ibni Ruslan, Singapura-Jeddah, Al-Haramain, tanpa tahun, halaman 20).

Dari keterangan Syamsuddin Ar-Ramli, kita dapat mengerti bahwa mereka yang memiliki uzur tidak berkewajiban menshalatkan jenazah. Hanya saja mereka yang mengetahui dan tanpa uzur menolak kewajibannya terhadap sesama Muslim yang sudah wafat akan mendapat dosa besar.

Di samping itu perlu diingat juga bahwa sesekali fardhu kifayah ini dapat berubah status menjadi fardhu ain. Dalam kondisi tertentu kewajiban memandikan, mengafankan, menshalatkan, serta memakamkan jenazah yang mulanya hanya fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu ain khususnya bagi mereka memiliki keterampilan dan kemampuan memandikan, mengafankan, menshalatkan, memakamkan. Hal ini disinggung oleh Jalaluddin Al-Mahalli dalam Syarah Jam‘il Jawami‘ berikut ini.

 

 

 

 

ويتعين) فرض الكفاية (بالشروع) فيه أن يصير بذلك فرض عين في وجوب الإتمام (على الإصح) بجامع الفرضية


Artinya, “Fardhu kifayah (menjadi fardhu ain dengan sebab masuk) di dalamnya sehingga dengan begitu fardhu kifayah menjadi fardhu ain dalam kewajiban menyempurnakannya (menurut qaul paling shahih) karena memandang kesamaan fardhu keduanya,” (Lihat Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Syarah ala Matni Jam‘il Jawami‘, Surabaya, Darun Nasyar Al-Mishriyyah, juz I, halaman 185-186).

Tentu saja fardhu kifayah bukan hanya shalat atas jenazah, tetapi juga penghafalan Al-Quran, penguasaan nahwu dan sharaf, dakwah, kerajinan-kerajinan, keterampilan seperti menjahit dan lain seterusnya, aneka profesi seperti pertanian, perikanan, kelautan, industri, dan lain seterusnya.

Perihal perubahan status fardhu kifayah menjadi fardhu ain itu disebut oleh Syekh Wahbah Zuhayli yang kami kutip berikut ini.

 

 

 

 

كما إذا لم يوجد في البلد إلا طبيب واحد فإن إسعاف المريض يكون واجبا عينيا عليه. وكذلك لو شهد الغريق الذي يستغيث شخص واحد يحسن السباحة، أو لم ير الحادثة إلا واحد ودعي للشهادة، فإن هذين يكون الواجب الكفائي عينيا بالنسبة لهما


Artinya, “Demikian juga bila di sebuah kota hanya terdapat seorang dokter, maka upaya mengobati orang sakit menjadi fardhu ain baginya. Demikian pula bila ada seorang yang pandai berenang melihat seorang tenggelam lalu meminta tolong atau misalnya hanya ada seorang yang menyaksikan peristiwa di TKP lalu ia diminta pengadilan sebagai saksi, maka kewajiban itu yang awalnya adalah fardhu kifayah menjadi fardhu ain bagi keduanya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Ushulul Fiqhil Islami, Beirut, Darul Fikril Mu’ashir, 1434 H/2013 M, juz I, halaman 71).

Dari keterangan di atas jelas bahwa penolakan kewajiban fardhu kifayah tanpa uzur merupakan sebuah tindakan berlebihan yang tidak dikehendaki agama. Alasan penolakan atas shalat jenazah seorang Muslim dengan alasan politis jelas tidak bisa diterima. Karena selagi seseorang mengucapkan syahadat dan tidak melakukan kekufuran secara nyata, maka ia tetap sebagai seorang Muslim yang memiliki hak-hak tertentu sebagaimana Muslim pada umumnya. Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengulas masalah ini dari sudut pandang paham Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab kalam berikut ini.

 

 

 

 

وأما بالنظر إلى أحكام الدنيا فيكفي فيها الإقرار فقط. فمن أقر جرت عليه الأحكام الإسلامية ولم يحكم عليه بالكفر إلا إن اقترن بشئ يقتضى الكفر كالسجود لصنم


Artinya, “Berkaitan dengan hukum duniawi, maka cukup ikrar (dua kalimat syahadat) saja. Siapa saja yang mengikrarkannya, maka berlaku pula hukum Islam padanya dan ia tidak boleh divonis sebagai kafir kecuali jika ia sambil melakukan sesuatu yang membuatnya jatuh menjadi kafir seperti penyembahan terhadap berhala,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyah, tanpa tahun, halaman 22).

Hukum duniawi berlaku baginya. Hukum duniawi yang dimaksud Syekh Al-Baijuri antara lain hak perkawinan sebagai seorang Muslim, halal daging hewan sembelihannya, hak waris, serta dimakamkan di pekuburan umat Islam, (Al-Baijuri [Tuhfatil Murid]: 22).

Sebagai penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah, kita perlu kembali merujuk rambu-rambu dalam hal akidah maupun fikih dari para ulama sebagai pedoman hidup kita dalam beragama. Saran kami, sebaiknya kita menunaikan fardhu kifayah selagi tiada uzur.

Kami juga menyarankan agar kita memberikan hak-hak sesama Muslim seperti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang diterangkan Syekh Al-Baijuri tanpa memandang perbedaan suku, warna kulit, kelompok, kelas sosial, selagi ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Mari kita perkuat ukhuwah Islamiyah yang selama ini renggang karena kepentingan politik jangka pendek karena masih banyak tugas kita yang lain untuk kepentingan jangka panjang dan lebih maslahat.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)