Bahtsul Masail

Hukum Perkawinan antara Anak-Anak Mantan Suami Istri

Sab, 23 Maret 2024 | 20:00 WIB

Hukum Perkawinan antara Anak-Anak Mantan Suami Istri

Ilustrasi hukum pernikahan antara anak-anak mantan suami istri. (Freepik).



Assalamu'alaikum. Maaf saya ada pertanyaan. Jika sebelumnya ada lelaki dan perempuan pernah menikah, lalu bercerai dan tidak punya anak. Kemudian masing-masing sudah menikah lagi dan punya anak.
 

Apakah anak dari masing-masing (dengan pasangan saat ini) termasuk mahram? Apakah di antara mereka boleh menikah? Apakah boleh anak kami menikah dengan anak mantan suami atau istri? Karena sepengetahuan saya tidak boleh menikahi mantan menantu atau mantan mertua.

Mohon jawabannya agar kelak saya bisa mengedukasi anak-anak. Terimakasih.
(Dewi A).
 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr. wb. Terimakasih kami sampaikan kepada penanya. Semoga kita dan seluruh pembaca NU Online senantiasa dalam lindungan Allah swt. 
 

Berkaitan dengan pertanyaan yang telah disampaikan, secara garis besar, masing-masing anak dari dua pasangan suami istri yang telah berpisah tidak memiliki ikatan mahram. Karena itu, jika terjadi pernikahan di antara mereka, maka hukumnya sah dalam pandangan Islam. 
 

Permasalahan ini sama dengan kasus pernikahan antara saudara tiri. Ada dua orang yang tidak memiliki hubungan mahram, kemudian orang tua mereka menikah sehingga menjadi saudara tiri. Dalam pandangan Islam, pernikahan mereka dianggap sah karena tidak ada ikatan mahram, bahkan ketika orang tua mereka berada dalam ikatan pernikahan.
 
Syekh Muhammad Najib Al-Muthi'i dalam kitab Takmilatul Majmu’ menjelaskan:
 

وَإِنْ تَزَوَّجَ رَجُلٌ لَهُ ابْنٌ بِامْرَأَةٍ لَهَا ابْنَةٌ جَازَ لِابْنِ الزَّوْجِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِابْنَةِ الزَّوْجَةِ
 

Artinya, “Jika seorang laki-laki yang mempunyai anak laki-laki, menikah dengan perempuan yang mempunyai anak perempuan, maka diperbolehkan anak laki-laki dari suami tersebut mengawini anak perempuan dari isterinya.” (Muhammad Najib Al-Muthi'i, Takmilatul Majmu' Syarhul Muhaddzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz XVII, Halaman 333).
 

Yang menjadi mahram dalam hubungan pernikahan hanya ada empat, yaitu:

  1. ibu mertua,
  2. anak tiri jika sudah berhubungan badan dengan ibunya,
  3. istri ayah, dan
  4. istri anak.
 

Dalam kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan: 
 

وَأَرْبَعٌ بِالْمُصَاهَرَةِ وَهُنَّ أُمُّ الزَّوْجَةِ وَالرَّبِيْبَةُ إِذَا خَلَا بِالْأُمِّ وَزَوْجَةُ الْأَبِ وَزَوْجَةُ الْاِبْنِ 
 

Artinya, “Berdasarkan perkawinan ada empat orang  (yang menjadi mahram): ibu dari istri, anak tiri jika dia sudah berhubungan badan dengan ibunya, ibu tiri, dan istri dari anak laki-laki.” (Taqiyuddin Abu Bakr Al-Hishni, Kifayatul Akhyar fi Halli  Ghayatil Ikhtisar, [Beirut: Darul Arqam, 2016] , juz II, Halaman 47).
 

Selain empat orang di atas, maka tidak termasuk dalam hubungan mahram, termasuk di antaranya saudara tiri, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Raudhatuth Thalibin:
 

‎فَرْعٌ لَاتَحْرُمُ بِنْتُ زَوْجِ الْأُمِّ وَلَا أُمُّهُ وَلَا بِنْتُ زَوْجِ الْبِنْتِ وَلَاأُمُّ زَوْجَةِ الْأَبِ وَلَا بِنْتُهَا وَلَا أُمُّ زَوْجَةِ الْإِبْنِ وَلَا بِنْتُهَا وَلَا زَوْجَةُ الرَّبِيْبِ وَلَا زَوْجَةُ الرَّابِ
 

Artinya, “Cabang Masalah: tidak haram menikahi anak perempuan dari ayah tiri, ibu (dari ayah tiri)nya, anak perempuan dari suami anaknya, ibu dari ibu tirinya, anak perempuan (dari ibu tiri)nya, ibu dari istri anak laki-laki, anak perempuannya, istri dari anak tirinya, dan istri dari orang tua tirinya.” (Abu Zakaria bin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2003], ,juz V, Halaman 452)
 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan antara dua anak dari masing-masing orang tua yang dulunya pernah menjadi pasangan suami istri, kemudian berpisah dan masing-masing telah menikah lagi kemudian memiliki anak, hukumnya adalah diperbolehkan dan dianggap sah, karena dua anak tersebut tidak memiliki hubungan mahram. wallahu a’lam.