Bahtsul Masail

Hukum Sembelih Dam Haji Tamattu’ dan Distribusikan Dagingnya di Luar Tanah Haram (1)

Jum, 2 September 2016 | 02:10 WIB

Assalamu ’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Jamaah haji Indonesia mayoritas memilih haji tamattu’, di mana mereka diwajibkan membayar dam yaitu berupa kambing yang disembelih serta dibagikan untuk fakir-miskin tanah Mekkah. Padahal jika dilihat sepintas, kita lebih membutuhkan ketimbang mereka sehingga jika disembelih di sini dan dibagikan kepada fakir-miskin sekitar kita lebih bermanfaat.

Pertanyaan yang ingin kami ajukan adalah bolehkah menyembelih dam tamattu’ di luar tanah haram? Yang kedua, bolehkah mendistribusikan sembelihannya di luar tanah haram? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Haidar/Blitar)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada dua pertanyaan diajukan kepada kami. Pertama menyangkut soal tempat penyembelihan dam atau hadyu haji tamattu’. Kedua menyangkut soal pendistribusiannya. Karena keterbatasan ruang waktu kami akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu. Sedangkan untuk jawaban pertanyaan kedua insya Allah akan segera menyusul.

Apa yang dimaksud dengan hadyu menurut para ulama—sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi—adalah hewan persembahan atau yang lainnya untuk tanah haram. Namun dalam konteks ini dibatasi hanya hewan ternak (bahimatul an’am) berupa unta, sapi, atau kambing. Pembatasan ini menjadi sangat penting karena kata ‘hadyu’ acapkali digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan.

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَالْهَدْيُ مَا يُهْدَى إِلَى الْحَرَمِ مِنْ حَيَوَانٍ وَغَيْرِهِ وَالْمُرَادُ هُنَا مَا يُجْزِئُ فِي الْاُضْحِيَّةِ مِنَ الْاِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ خَاصَّةً وَلِهَذَا قَيَّدَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ أَنْ يُهْدِيَ إِلَيْهَا مِنْ بَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ فَخَصَّهُ بِبَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ لِكَوْنِهِ يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ مَا يُهْدَى

Artinya, “Menurut para ulama, hadyu adalah sesuatu yang dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan atau yang lainnya. Sedangkan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah khusus hewan yang bisa dijadikan kurban yaitu unta, sapi atau kambing. Atas dasar ini pengarang (Abu Ishaq As-Syirazi) membatasinya dengan perkataan, ‘hendaknya dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan ternak (bahimatul an’am/unta, sapi atau kambing)’. Pengkhususan dengan kalimat bahimatul an’am karena hadyu digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz VIII, halaman 320).

Hukum hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ itu sendiri—sebagaimana yang kita ketahui bersama—menurut kesepakatan (ittifaq) para fuqaha` adalah wajib. Pandangan tersebut mengacu kepada firman Allah swt dalam Al-Baqarah ayat 196. Menurut mereka, hadyu yang wajib, bisa berupa seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi maupun unta. Namun dalam hal ini Imam Malik berbeda pandangan dengan pendapat jumhurul ulama. Menurutnya, hadyu yang wajib adalah seeokor unta yang gemuk (badanah) sehingga tidak sah jika hanya dengan sepertujuh unta atau sapi.

إِتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْهَدْيُ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ وَذَلِكَ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ قَال تَعَالَى : { فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ } وَالْهَدْيُ الْوَاجِبُ شَاةٌ أَوْ بَقَرَةٌ أَوْ بَعِيرٌ أَوْ سُبْعُ الْبَقَرَةِ أَوِ الْبَعِيرِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ . وَقَال مَالِكٌ هُوَ بَدَنَةٌ وَلاَ يَصِحُّ سُبُعُ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ

Artinya, “Para fuqaha` sepakat bahwa wajib menyembelih hadyu bagi orang yang berhaji tamattu’. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur`anul Karim: ‘Barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat’, (QS Al-Baqarah [2]: 196). Hadyu yang wajib menurut jumhurul ulama adalah seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi atau unta. Sedangkan menurut Imam Malik, dam itu adalah badanah (unta yang gemuk) dan hadyu tidak sah dengan sepertujuh unta atau sapi,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Beirut, Darus Salasil, juz XIV, halaman 12).

Lantas bagaimana dengan tempat penyembelihannya? Pendapat pertama menyatakan bahwa penyembelihan dam atau hadyu mesti dilakukan di tanah haram, tentunya termasuk di dalamnya adalah hadyu haji tamattu’. Alasannya adalah bahwa penyembelihan adalah hak yang terkait dengan hadyu karenanya ia khusus disembelih di tanah haram.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hadyu atau dam boleh saja disembelih di luar tanah haram tetapi dengan syarat dagingnya dikirim atau didistribuksikan ke tanah haram sebelum mengalami perubahan. Karena yang dimaksud dari sembelihan tersebut adalah dagingnya sehingga ketika telah didistribusikan kepada orang-orang miskin di tanah haram maka dianggap telah memenuhi tujuan tersebut.

( وَيَخْتَصُّ ذَبْحُهُ ) بِأَيِّ مَكَان ( بِالْحَرَمِ فِي الْأَظْهَرِ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى { هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ } وَلِخَبَرِ { نَحَرْتُ هَهُنَا } وَأَشَارَ إلَى مَوْضِعِ النَّحْرِ مِنْ مِنًى { وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ } ؛ وَلِأَنَّ الذَّبْحَ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِالْهَدْيِ فَيَخْتَصُّ بِالْحَرَمِ كَالتَّصَدُّقِ .وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَذْبَحَ خَارِجَ الْحَرَمِ بِشَرْطِ أَنْ يُنْقَلَ وَيُفَرَّقَ لَحْمُهُ فِيهِ قَبْلَ تَغَيُّرِهِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ اللَّحْمُ فَإِذَا وَقَعَتْ تَفْرِقَتُهُ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ حَصَلَ الْغَرَضُ.

Artinya, “Menurut pendapat yang azhhar, penyembelihan hadyu khusus di tanah haram berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah (tanah haram)’ (QS Al-Maidah [5]: 95) dan riwayat yang menyatakan, ‘Aku (Nabi saw) menyembelih hadyu di sini—beliau menunjuk tempat menyembelih di Mina—dan setiap tanah di Mekkah adalah tempat penyembelihan’. Karena penyembelihan adalah hak yang berkaitkelindan dengan hadyu maka penyembelihan tersebut khusus dilakukan di tanah haram sebagai sedekah. Sedang pendapat kedua menyatakan boleh menyembelih hadyu di luar tanah haram dengan syarat daging ditransfer dan dibagikan di tanah haram sebelum mengalami perubahan. Sebab, tujuan utamanya adalah daging sehingga apabila telah dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah haram, maka tujuan tersebut sudah tercapai,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz III, halaman 359).

Namun ada sedikit pandangan yang berbeda yang dikemukakan Ath-Thabari—jika kami tidak keliru memahami—menurutnya, hadyu atau dam boleh disembelih di mana saja kecuali dam atau hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buran (dalam kondisi ihram). Alasan yang dikemukakan beliau adalah bahwa keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram (Mekkah).

وَقَالَ الطَّبَرِيُّ: يَجُوزُ نَحْرُ الْهَدْيِ حَيْثُ شَاءَ الْمُهْدِي إِلَّا هَدْيَ الْقِرَانِ وَجَزَاءَ الصَّيْدِ فَإِنَّهُمَا لَا يُنْحَرَانِ إِلَّا بِالْحَرَمِ.

Artinya, “Ath-Thabari berkata, ‘boleh menyembelih hadyu di mana saja yang dikehendaki orang yang berhadyu kecuali hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buruan (dalam kondisi ihram) karena keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram,” (Lihat Ibnu Abd Al-Barr, Al-Istidzkar Al-Jami’ li Fuqaha`i Madzahibil Amshar, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2000 M, juz IV, halaman 272).

Pandangan Ath-Thabari tampak menarik untuk dicermati. Jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka menurut Ath-Thabari boleh saja menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram.

Tetapi pandangan ini jelas sangat kontroversial. Kami sampai saat ini belum menemukan pandangan yang mendukungnya. Di samping itu, hadyu atau dam itu sendiri mengandung pengertian iraqatud dam fil haram atau mengalirkan darah (menyembelih) di tanah haram.

Konsekuensinya adalah bahwa pada dasarnya hadyu atau dam tidak bisa disembelih di luar tanah haram. Sehingga hemat kami pandangan Ath-Thabari di atas perlu ditelisik lebih dalam lagi terutama oleh para pakar hukum Islam, sehingga dapat diketahui sejauh mana pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Berangkat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak boleh menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram (Mekkah). Tetapi ada juga yang mengatakan boleh dengan syarat daging dikirim ke tanah haram. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan boleh disembelih di luar tanah. Namun pendapat ketiga ini hemat kami masih harus diteliti lebih dalam lagi agar dapat diketahui sejauh mana dapat diterima.

Bagi para jamaah haji Indonesia agar berhati-hati terhadap oknum-oknum yang ditengarai kerap melakukan penipuan atas nama dam.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb



(Mahbub Ma’afi Ramdlan)