Bahtsul Masail

Hukum Shalat Makmum saat Imam yang Batal Nekat Lanjutkan Shalat Berjamaah

Jum, 13 Agustus 2021 | 03:00 WIB

Hukum Shalat Makmum saat Imam yang Batal Nekat Lanjutkan Shalat Berjamaah

Dalam kondisi seperti ini, maka kami menyarankan penanya untuk mengikuti pendapat yang lebih hati-hati, yaitu yang lebih terperinci hukumnya sebagaimana pendapat umumnya ulama. 

Assalamu'alaikum wr. wb.

Redaktur NU Online, saya mau bertanya tentang Imam shalat yang batal shalatnya namun tidak diketahui oleh makmum, akan tetapi imam masih melanjutkan shalatnya. Apakah dalam kasus seperti itu shalat makmum juga batal? Demikian pertanyaan dari saya. Mohon jawaban dan penjelasannya. Terima kasih. (Ujang Yusup)


Jawaban

Wa’alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.


Dalam shalat jamaah ada 12 syarat yang harus dipenuhi agar shalat yang dilakukan hukumnya sah. Secara ringkas 12 syarat shalat jamaah tersebut adalah sebagai berikut:


Pertama, kecocokan gerakan antara makmum dan imam. Kedua, makmum mengikuti gerakan Imam dan tidak mendahuluinya. Ketiga, mengetahui gerakan imam. Keempat, berkumpul dalam satu tempat. Kelima, tidak berbeda dengan imam dalam kesunnahan dengan perbedaan yang mencolok. Keenam, posisi berdiri makmum tidak lebih maju daripada imam. 


Ketujuh, niat mengikuti imam atau menjadi makmum. Kedelapan, shalat imam adalah shalat yang sah menurut makmum.  Kesembilan, shalat imam bukan shalat yang harus diulang. Kesepuluh, imam tidak mengikuti atau menjadi makmum pada imam yang lain. Kesebelas, kapasitas  imam (dalam bab jamaah) tidak lebih kurang daripada makmum. Keduabelas, imam bukan orang yang ummi atau tidak cacat bacaan Fatihah-nya. (Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyah al-Bâjuri ‘alâ Ibni Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, halaman 187-198).


Dari 12 syarat jamaah ini, kasus di atas berkaitan dengan syarat yang kedelapan yaitu shalat imam adalah shalat yang sah menurut makmum. Nah dalam hal ini maka ulama memerinci hukumnya sebagaimana berikut.


Apabila batalnya shalat imam karena hadats atau najis yang samar, maka shalat makmum tetap sah, meskipun imam sadar betul bahwa shalatnya batal dan ia nekat meneruskan shalatnya. Karena dalam kondisi seperti ini tidak ada kecerobohan dari makmum, sebab tidak ada tanda-tanda yang dapat diketahuinya saat itu atas batalnya shalat imam. Makmum pun tetap mendapat pahala 27 derajat dari shalat jamaah yang dilakukannya. Sebuah riwayat menyebutkan:


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, sungguh Rasulullah saw bersabda: ‘Shalat jamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat,’” (Muttafaq ‘alaih).


Namun apabila batalnya shalat Imam karena najis yang jelas, maka shalat makmum dihukumi batal dan harus diulangi.


Adapun maksud najis yang jelas adalah yang ada di bagian luar pakaian, atau andaikan makmum menelitinya maka ia dapat melihatnya; sedangkan maksud najis yang tidak jelas adalah sebaliknya. 

Demikian perincian hukum yang disampaikan ulama. Namun demikian Imam An-Nawawi dalam Kitab At-Tahqîq membenarkan hukum yang tidak mewajibkan makmum mengulangi shalatnya, baik najis yang ada pada imam temasuk najis yang jelas maupun yang samar. 


Secara lengkap Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan:


... (لَا) إِنِ اقْتَدَى بِمَنْ ظَنَّهُ مُتَطَهِّرًا فَبَانَ (ذَا حَدَثٍ)، وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ، (أَوْ) ذَا ( خَبَثٍ) خَفِيٍّ وَلَوْ فِي جُمْعَةٍ، إِنْ زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِينَ، فَلَا تَجِبُ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ عَالِمًا، لِانْتِفَاءِ تَقْصِيرِ الْمَأْمُومِ. إِذْ لَا أَمَارَةَ عَلَيْهِمَا. وَمِنْ ثَمَّ حَصَلَ لَهُ فَضْلَ الْجَمَاعَةِ. أَمَّا إِذَا بَانَ ذَا خَبَثٍ ظَاهِرٍ فَيَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ عَلَى غَيْرِ الْأَعْمَى لِتَقْصِيرِهِ. وَهُوَ مَا بِظَاهِرِ الثَّوْبِ وَإِنْ حَالَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ حَائِلٌ. وَالْأَوْجَهُ فِي ضَبْطِهِ أَنْ يَكُونَ بِحَيْثَ لَوْ تَأَمَّلَهُ الْمَأْمُومُ رَآهُ وَالْخَفِيُّ بِخِلَافِه. وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيقِ عَدَمَ وُجُوبِ الْإِعَادَةُ مُطْلَقًا. 


Artinya, “Makmum tidak wajib mengulangi shalatnya bila ia makmum pada imam yang diduganya telah bersuci kemudian terbukti mempunyai hadats, meskipun hadats besar; atau terbukti mempunyai najis yang samar, meskipun dalam shalat Jumat asalkan jamaah lebih dari 40 orang, maka dalam dua kondisi tersebut makmum tidak wajib mengulangi shalatnya, meskipun imam mengetahui shalat yang dilakukannya sebenarnya batal. Hal demikian mengingat makmum tidak melakukan kecerobohan sebab tidak ada tanda-tanda yang dapat diketahuinya atas adanya hadats atau najis pada imamnya. Karenanya ia tetap mendapatkan fadilah jamaah yang dilakukan. Adapun bila terbukti pada imam terdapat najis yang jelas, maka makmum wajib mengulangi shalatnya karena kecerobohannya, kecuali orang buta. Maksud najis yang jelas adalah najis yang ada di bagian luar pakaiannya, meskipun ada penghalang antara imam dan makmum. Menurut pendapat al-aujah (yang lebih kuat), batas najis disebut najis yang jelas adalah sekira andaikan makmum mengangan-angannya (menelitinya), maka ia akan melihatnya. Adapun najis yang samar adalah sebaliknya. Sementara itu Imam an-Nawawi menilai shahih ketidakwajiban makmum mengulangi shalatnya secara mutlak.” (Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’anatuth Thâlibîn, [Indonesia, Al-Haramamin: tanpa tahun], juz II, halaman 46).


Pendapat Imam An-Nawawi dalam Kitab At-Tahqîq yang disinggung Syekh Zainuddin Al-Malibari adalah sebagai berikut:


وَلَوْ بَانَ عَلَى الْإِمَامِ نَجَاسَةٌ فَكَمُحْدِثٍ


Artinya, “Andaikan terbukti ada najis pada Imam maka hukumnya seperti orang yang hadats yaitu shalat makmum tetap sah dan tidak wajib mengulanginya”. (An-Nawawi, Kitâb At Tahqîq, [Beirut, Dârul Jîl: 1413 H/1992 M], halaman 270).


Secara ringkas uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kasus shalat jamaah di mana shalat imam batal namun tidak diketahui oleh makmum, maka berkaitan hukum shalat makmumnya terdapat perbedaan pendapat di antara ulama.


Umumnya ulama menyatakan hukumnya diperinci, yaitu (1) bila batalnya shalat imam karena punya hadats atau najis yang samar maka hukum shalat makmum sah; dan (2) sebaliknya bila batalnya shalat imam karena najis yang tampak maka shalatnya makmum tidak sah dan wajib diulangi. Adapun menurut Imam an-Nawawi dalam Kitab At-Tahqîq hukum shalatnya makmum tetap sah secara mutlak.


Dalam kondisi seperti ini, maka kami menyarankan penanya untuk mengikuti pendapat yang lebih hati-hati, yaitu yang lebih terperinci hukumnya sebagaimana pendapat umumnya ulama. 


Semoga jawaban ini dapat dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith thâriq.

Wassalamu ’alaikum wr. wb. 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.