Bahtsul Masail

Hukum Tarik Mahar karena Batal Nikah setelah Lamaran

Sab, 7 Juli 2018 | 07:00 WIB

Hukum Tarik Mahar karena Batal Nikah setelah Lamaran

(Foto: hipwee.com)

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, sebagian orang menjadikan lamaran sebagai saat penentuan tanggal, tempat, dan mahar. Bahkan sebagian pihak laki-laki menyerahkan mahar perkawinan secara utuh atau sebagian saat lamaran. Bagaimana kalau di tengah rencana perkawinan dibatalkan. Bagaimana dengan mahar? Mohon penjelasan. Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Muh Yasin/Sleman).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Lamaran merupakan upacara pendahuluan jauh hari sebelum akad nikah. Sering juga sebagian atau seutuh mahar diserahkan pada saat lamaran ini.

Pada prinsipnya, pemberian seserahan berupa aneka hadiah saat lamaran baik-baik saja sebagai penguat hubungan dan perekat jalinan baru. Hanya saja ketika salah satu kedua pihak membatalkan rencana perkawinan setelah sekian hari sesudah lamaran, apakah pihak laki-laki berhak menarik mahar yang sudah diserahkan kepada pihak perempuan?

Sebelum sampai ke sana, pertama kita perjelas lebih dahulu kedudukan lamaran. Dari sini kita dapat beralih ke pertanyaan. Untuk itu, kita kutip kedudukan lamaran dalam hukum Islam berikut ini:

إن الخطبة مجرد وعد بالزواج، وليست عقدا ملزما، والعدول عن إنجازه حق من الحقوق التي يملكها كل من المتواعدين. ولم يجعل الشارع لإخلاف الوعد عقوبة مادية يجازي بمقتضاها المخلف وإن عد ذلك خلقا ذميما، ووصفه بأنه من صفات المنافقين، إلا إذا كانت هناك ضرورة ملزمة تقتضي عدم الوفاء

Artinya, “Lamaran itu hanya janji perkawinan, bukan akad yang mengikat. Masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berhak untuk mengurungkan rencananya yang telah disepakati. Pembuat syariat (Allah) tidak menetapkan sanksi material bagi pihak yang menyalahi janji karena pembatalannya meskipun tindakan demikian dianggap sebagai akhlak tercela dan pelakunya disifatkan sebagai orang munafik kecuali jika ada sejumlah hal situasi darurat yang memaksanya untuk menyalahi janji tersebut,” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, [Kairo, Al-Fathu lil I‘lam Al-Arabi: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 20).

Dari keterangan ini, kita mendapat informasi yang jelas bahwa lamaran hanya bermakna pertemuan dua keluarga untuk merencanakan perkawinan. Lamaran bukan ikatan yang mengikat dan berkonsekuensi hukum sehingga mahar yang diserahkan terlebih dahulu saat lamaran bisa ditarik kembali bila perkawinan dibatalkan.

وأما ما قدمه الخاطب من مهر: فله أن يسترده، سواء أكان قائماً أم هالكاً أم مستهلكاً، وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً، أياً كان سبب العدول، من جانب الخاطب أو من جانب المخطوبة. وهذا متفق عليه فقهاً

Artinya, “Sedangkan (utuh atau sebagian) mahar yang diserahkan lebih dulu saat lamaran (sebelum akad nikah) oleh pihak laki-laki yang melamar, boleh diminta kembali apakah mahar itu masih ada, rusak, atau sudah digunakan. Kalau sudah habis atau sudah digunakan, maka mahar itu dikembalikan dalam bentuk nilainya jika barang itu dapat dinilai dengan nominal, dan dikembalikan dengan barang sejenis bila barang serupa itu mudah ditemukan, apapun sebabnya baik dari pihak laki-laki yang melamar maupun dari pihak perempuan yang dilamar. Hukum ini disepakati secara fiqih,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 26).

Dengan kata lain, hak kepemilikan mahar dapat beralih dari pihak laki-laki ke pihak perempuan setelah akad perkawinan berlangsung. Selagi belum ada akad perkawinan, maka mahar itu murni hak milik pihak laki-laki meskipun mahar itu (baik sebagian maupun seluruhnya) diserahkan terlebih dahulu sebelum akad perkawinan.

وما قدمه الخاطب من المهر فله الحق في استرداده، لانه دفع في مقابل الزواج، وعوضا عنه. وما دام الزواج لم يوجد، فإن المهر لا يستحق شئ منه، ويجب رده إلى صاحبه، إذ أنه حق خالص له

Artinya, “Pihak laki-laki berhak meminta kembali mahar yang diberikan lebih dahulu (saat lamaran) karena mahar diberikan untuk perkawinan dan sebagai imbalan darinya (pihak laki-laki). Selama perkawinan tidak terwujud, maka kepemilikan mahar sedikit pun tidak sah dan wajib dikembalikan kepada pemiliknya karena mahar itu murni hak pihak laki-laki,” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, [Kairo, Al-Fathu lil I‘lam Al-Arabi: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 21).

Syekh Wahbah Az-Zuhayli lebih jelas mengatakan bahwa rencana perkawinan yang gagal di tengah jalan sesudah proses lamaran tidak memiliki konsekuensi hukum apapun, soal kepemilikan mahar dalam konteks ini sebagai keterangan berikut:

لا يترتب على انفساخ الخطبة أي أثر ما دام لم يحصل عقد

Artinya, “Tidak ada apapun atas rusaknya lamaran, yaitu tiada konsekuensi hukum apapun selama belum ada akad nikah,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 25).

Semua ini berlaku bagi barang seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar saat lamaran yang mempertemukan dua keluarga. Sedangkan soal kedudukan barang seserahan yang tidak dimaksudkan sebagai mahar, ulama berbeda pendapat terutama perihal kepemilikan dan penarikan kembali ketika rencana perkawinan keduanya gagal.

Kami menyarankan pihak laki-laki dan pihak perempuan yang karena suatu sebab tertentu membatalkan perkawinan dapat menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik dan kekeluargaan dengan semangat persaudaraan. Sedangkan hak kepemilikan mahar sudah jelas berdasarkan pelbagai keterangan di atas.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)