Bahtsul Masail

Hukum Terima Amplop oleh Imam, Khatib, Muazin, dan Guru TPQ

Sab, 21 April 2018 | 04:00 WIB

Hukum Terima Amplop oleh Imam, Khatib, Muazin, dan Guru TPQ

(Foto: iihojp.org)

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Redaksi Bahtsul Masail NU Online, beberapa dasawarsa terakhir khatib dan imam shalat Jumat serta shalat Id diberi amplop berisi uang. Tetapi belakangan masjid juga menyediakan amplop atau sejenis insentif bagi muazin dan imam harian shalat shalat wajib lima waktu. Pertanyaan saya, bagaimana Islam memandang praktik seperti ini? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Fattah/Sleman).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Gejala ini terbilang fenomena baru di mana tidak terjadi di zaman Rasulullah SAW. Gejala ini muncul di zaman kerajaan Islam sepeninggal Rasulullah.

Pada masa kerajaan Islam, negara mengalokasikan anggaran untuk guru Al-Quran, guru pelajaran agama Islam, para imam, khatib Jumat, muazin di masjid-masjid, dan aktivitas keagamaan lainnya.

Dari situ ulama mutaqaddimin memutuskan bahwa mereka itu semua makruh hukumnya menerima insentif atau bisyarah dari masyarakat karena mereka telah menerimanya dari negara. Ulama mutaqaddimin memandang insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan sebagai sejenis gratifikasi yang kita kenal sekarang.

Tetapi ketika kondisi berubah, para ulama mengubah pandangan mereka terhadap insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan seperti imam shalat wajib harian, khatib sembahyang Jumat atau sembahyang Id, muazin, guru Al-Quran, guru agama, atau jenis aktivitas keagamaan lainnya.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam itu tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk imam dan khatib Jumat, ulama muta’akhirin–salah satunya Ibnu Rusyd–membolehkan mereka menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti diangkat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:

أفتى المتأخرون من العلماء بجواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن الكريم وعلى وظائف الإمامة والخطابة والأذان وسائر الطاعات من صلاة وصيام وحج وهو حكم خولف فيه ما كان مقررا سابقا بين العلماء ومنهم أئمة الحنفية وغيرهم نظرا لتغير الزمان وانقطاع عطاءات المعلمين والقائمين بالشعائر الدينية من بيت المال. فلو اشتغل بالاكتساب من زراعة أو تجارة أو صناعة لزم ضياع القرآن إهمال تلك الشعائر

Artinya, “Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Quran, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar kegamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).

Rasulullah SAW sendiri mengizinkan sahabatnya untuk menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Al-Quran. Hadits ini dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari berikut ini:

عن ابن أبي مليكة عن عبد الله بن عباس أن نفراً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغٌ - أو سليم فعرض لهم رجلٌ من أهل الماء فقال هل منكم من راقٍ فإن في الماء رجلاً لديغاً أو سليماً فانطلق رجلٌ منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ فجاء بالشاء إلى أصحابه فكرهوا ذلك وقالوا أخذت على كتاب الله أجراً حتى قدموا المدينة فقالوا يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجراً فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} إن أحق ما أخذتم عليه أجراً كتاب الله

Artinya, “Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah  melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca Surat Al-Fatihah dengan upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya. Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah.’ Tiba di MAdinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Quran?’ rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah,’” (HR Bukhari).

Dari sini kita dapat memahami bahwa guru Al-Quran, khatib, imam, ahli hikmah yang meruqyah boleh menerima amplop, bisyarah, atau insentif dari masyarakat. Tetapi pada suatu masa di mana negara mengalokasikan dana untuk syiar keagamaan, mereka makruh menerima amplop dari masyarakat karena bisa dibilang bahwa mereka itu adalah sejenis PNS sehingga tidak boleh dan tidah perlu menerima insentif dari masyarakat. Sementara ketika kondisi berubah seperti masa Rasulullah, maka mereka boleh menerima pemberian dari masyarakat.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)