Bahtsul Masail

Hukum Trading Forex, Emas, dan Indeks di Pasar Berjangka

Sab, 3 Maret 2018 | 12:00 WIB

Hukum Trading Forex, Emas, dan Indeks di Pasar Berjangka

(Foto: pinterest)

Assalamu alaikum wr.wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya mau bertanya mengenai hukum trading produk sistem perdagangan alternatif (forex, emas, indeks) di perdagangan berjangka, yang  banyak ditawarkan kepada masyarakat oleh perusahaan futures. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. (Dermawan).

Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudara penanya yang budiman, terima kasih telah berkirim pertanyaan kepada redaksi kita tercinta ini. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua di jalan yang diridhai-Nya.

Trading forex, emas, dan indeks berjangka bisa dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu perdagangan langsung satu titik dengan perdagangan berjangka (forward, swap, option, dan sebagainya). Untuk perdagangan langsung satu titik, saudara bisa baca pada postingan yang lalu tentang hukum trading forex di media kita tercinta ini.

Kali ini kita akan berbicara soal perdagangan berjangka. Perlu diketahui bahwa hukum asal dari perdagangan berjangka ini adalah haram karena dua sebab, yaitu:
1. Karena ada dua transaksi dalam satu aqad jual beli yang dikenal sebagai hybrid transaction atau al-uqudul murakkabah, yaitu berupa menjual barang yang belum diterima kemudian dijual lagi dalam bentuk efek atau nota kontrak.

2. Jual beli kontrak berjangka itu sama halnya dengan bai’ul ma’dum, yaitu jual-beli barang yang belum diterima oleh penjual namun masih berupa nilai aqad kontrak kemudian dijual lagi ke pembeli yang lain.

Meskipun hukum asal jual beli produk alternatif kontrak berjangka ini adalah haram, namun kalangan fuqaha ‘ashriyah menyatakan boleh karena memperhatikan beberapa alasan (‘illah hukum) sebagai berikut:

1. Latar belakang kontrak berjangka itu dilakukan adalah sebagai langkah hedging oleh negara.

2. Ada UU dan peran pemerintah yang menjamin bahwa harga nota kontrak berjangka saat aqad, dengan sampai waktu barang diterima, adalah bersifat tetap. Peran ini dilaksanakan oleh BAPPETI yang berfungsi melakukan tas’ir jabari. Sifat tetapnya harga ini yang menjadi landasan diperbolehkannya ia diperjualbelikan. Jika harga bersifat tidak tetap dan bisa berubah-ubah serta tidak sesuai dengan nilai kontrak di muka, maka jual beli barang tersebut dihukumi tidak sah karena adanya unsur gharar di dalamnya.

3. Pertimbangan maslahah hajiyah bagi negara dan perusahaan.

Saudara penanya yang budiman. Pasar berjangka adalah sebuah pasar yang terbentuk akibat adanya jual beli kontrak berjangka. Kontrak berjangka adalah sebuah kontrak pembelian atas suatu barang (komoditas) yang sudah dipesan dan dibayar di muka untuk diterimakan di kemudian hari dengan ketetapan harga kontrak di muka. Dalam fiqih, kontrak berjangka ini disebut sebagai aqad salam dengan “obyek salam” (al-muslam fih) berupa komoditas yang acap kali mengalami fluktuasi (naik turun harganya), seperti bahan pangan, emas dan valuta asing. Sebagaimana diketahui bahwa naik turunnya harga komuditas, kurs rupiah terhadap dolar atau sebaliknya, adalah bisa terjadi akibat bencana, situasi politik, dan lain sebagainya. Situasi ini disebut dengan istilah iklim usaha.

Jika terjadi fluktuasi pada harga komoditas tertentu, maka iklim usaha pun juga akan mengalami situasi yang tidak menentu pula. Maka dari itulah dibutuhkan langkah hedging, yaitu suatu langkah yang ditempuh dalam rangka pengendalian harga sehingga tercipta kestabilan ekonomi. Istilah fiqih dari hedging ini adalah tas’ir jabary. Ia merupakan hak dan kewenangan pemerintah dalam melakukannya.

أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا

Artinya, “Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu,” (Lihat Syeikh Zakaria Al-Anshori, Asnal Mathalib Syarah Raudhatut Thalib,  [Al-Mathbu’atul Maimuniyyah], juz II, halaman 26).

Mengapa harga beberapa produk mi instan dan semacamnya selalu tetap, padahal negara pemroduksi gandum tengah dilanda bencana? Jawabnya adalah karena gandum sudah dipesan dan dibayar dengan harga tetap di awal oleh perusahaan futures, yaitu perusahaan yang melakukan kontrak berjangka dengan petani gandum. Dengan demikian, tas’ir jabary atau hedging ini memang merupakan hal yang dibutuhkan (maslahah hajiyah) oleh suatu negara. Dengan demikian, berlaku qaidah:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Artinya: “Peran seorang imam terhadap rakyat adalah mengikut dengan maslahah,” (Lihat Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan Nadhair, [Darul Kutubil Ilmiyah], halaman 124).

Nota kesepakatan kontrak berjangka ini sifatnya adalah tetap karena jaminan undang-undang sehingga berlaku sebagai efek (surat berharga) bagi perusahaan futures. Nilai tetapnya dilindungi oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 dengan badan pelaksananya yaitu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Kondisi harga barang jatuh atau harga barang naik di pasaran bebas, tidak akan berpengaruh terhadap nilai efek ini. Dengan demikian, kedudukan nota kontrak ini dalam fiqih disebut sebagai harta yang bisa diambil manfaatnya (al-malul muntafa’ bih). Dalam Hanafiyah, nota kontrak ini disebut sebagai mutamawwal, yaitu sesuatu yang diserupakan dengan harta.

وَعَرَّفَ الزَّرْكَشِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ الْمَال بِأَنَّهُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ، أَيْ مُسْتَعِدًّا لأِنْ يُنْتَفَعَ بِهِ

Artinya, “Imam Az-Zarkasyi dari kalangan Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa harta adalah barang yang bisa diambil manfaatnya atau siap jika diambil manfaatnya,” (Departemen Wakaf dan Keislaman Kuwait, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Darus Shafwah], halaman 36).

Karena ia berkedudukan sebagai barang yang bisa diambil manfaatnya, maka ia bisa diperjualbelikan. Aqad jual belinya disebut bai’ul manfaat (jual beli manfaat). Nah, sekarang bayangkan bila nota kontrak itu adalah terdiri atas valuta asing, maka status nota kontrak adalah bukan lagi al-malul muntafa’ bih, melainkan juga ia merupakan barang mutaqawwam karena banyak dibutuhkan oleh perusahaan secara khusus dan negara pada umumnya untuk stabilitas kurs rupiah (hedging) terhadap mata uang yang lain.

Demikian jawaban singkat ini. Jawaban hanya bersifat pendekatan menurut literatur fiqih syafi’iyah. Semoga jawaban ini bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu al muwafiq ilaa aqwami al-thariq
Wassalamu alaikum wr. wb.



(Muhammad Syamsudin)